Oleh : Daniwiharya Idris, SH
Indonesia merupakan Negara Kesejahteraan (Walfare State), dalam artian penyelenggaraan negara bertujuan untuk pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan umum, yang diwujudkan melalui pelayanan publik. Namun pada kenyataannya pelayanan publik dalam pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan umum tersebut masih jauh dari harapan masyarakat.
Dapat kita lihat dari data yang dirilis oleh KPK sepanjang tahun 2011-2014, yang menunjukkan masih kentalnya korupsi dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publik, mulai dari kasus besar dalam penyuapan, penyalahgunaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, perizinan, hingga kasus kecil seperti pungutan liar dalam pelayanan publik. Seakan korupsi tidak terpengaruh oleh upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi maupun perbaikan pelayanan publik melalui reformasi birokrasi yang hingga kini masih dengan gencar diusahakan.
Dalam kajian yang lebih luas atas korupsi, sehubungan dengan Kebijakan Sosial (Social Policy) selain perbaikan dalam Kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Deffence Policy), dalam perbaikan atas Substansi, Sistem dan Budaya Hukum, perlu pula dibenahi Kebijakan Kesejahteraan Masyarakat (Social Walfere Policy), terutama dalam penyelenggaraan negara dan pelayanan publik.
Menurut UNDP (1994) terdapat 10 prinsip dalam good governence yaitu participation (partisipasi), rule of law (kerangka hukum), transparency (transparansi), equality (kesetaraan), responsiveness (daya tangkap), strategic vission (wawasan ke depan), accountability (akuntabilitas), efficiency and effectiveness (efektif dan efisien), professionalism (profesionalisme), dan consensus orientaton (berorientasi pada konsensus). Prinsip-prinsip good governence pada dasarnya merupakan prinsip yang saling terkait dan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam mewujudkan good governence.[1]
Namun sampai saat ini, belum ada strategi nasional yang menyeluruh dan sistematis bagaimana untuk mewujudkan good governance di Indonesia. Pemerintah menghadapi banyak kesulitan untuk merumuskan kebijakan dan program perbaikan praktik governance. Pertama, praktik governance memiliki dimensi yang cukup luas sehingga terdapat banyak aspek yang harus diintervensi apabila kita ingin memperbaiki praktik governance. Kedua, informasi mengenai aspek strategis yang perlu memperoleh prioritas untuk dijadikan sebagai entry point dalam memperbaiki kinerja governance belum banyak tersedia. Ketiga, kondisi antar daerah di Indonesia yang sangat beragam membuat setiap daerah memiliki kompleksitas masalah governance yang berbeda. Keempat, komitmen dan kepedulian dari berbagai stakeholders mengenai reformasi governance berbeda-beda dan pada umumnya masih rendah, Dwiyanto (2005).[2]
Dari keseluruhan dan kerumitan permasalahan di atas dapat kita simpulkan bahwa usaha pembenahan melalui perbaikan kebijakan sosial tersebut akan memerlukan usaha yang keras dan juga waktu yang tidak singkat. Sementara disisi lain, persoalan korupsi yang menjadi halangan utama dalam mewujudkan kesejahteraan umum (secara umum) maupun pelayanan publik (secara khusus), perlu ditanggulangi sesegera mungkin.
Menurut pendapat penulis dalam permasalahan korupsi ini, yang perlu kita benahi terlebih dahulu adalah pandangan dan pola pikir kita terhadap korupsi itu sendiri. Pandangan dalam hal ini dalam menyadari keadaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahwasanya kita masih, bahkan semakin terpuruk ke dalam keadaan krisis multi dimensi, tidak hanya politik, ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga kepercayaan baik atas sesama stake holder sebagai bagian bangsa dan negara ini, maupun pada diri sendiri yang terlihat dari masyarakat yang tidak lagi hanya bersikap berpangku tangan dan berlarut-larut tenggelam dalam krisis kepercayaan yang selama ini ditunjukkan kepada pemerintah, namun mulai menjurus kearah sikap apatis yang akan memperparah penyelesaian permasalahan korupsi itu sendiri.
Masyarakat bahkan sudah terbiasa melihat ataupun mendengar kasus-kasus yang ditampilkan di berbagai media, maupun terhadap penilaian masyarakat internasional akan parahnya korupsi di negara ini, seperti Indeks Good Governance, Indeks Good Corporate Governance, dan World Competitiveness Rank, daftar negara terkorup di Asia, dimana Indonesia selalu menduduki urutan terbawah. Dimana hal tersebut bahkan memunculkan pameo di masyarakat bahwa korupsi tersebut memang sudah menjadi budaya di negara ini.
Hal ini seharusnya perlu kita tanggapi secara serius, perlu kembali kita ingat tujuan Reformasi yang sempat digadang-gadangkan di negri ini, yang salah satunya adalah pemberantasan korupsi yang kita sepakati bersama telah menjadi prilaku, kebiasaan dan cara hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Dan oleh karena sifat korupsi yang extraordinary (luar biasa), diperlukan usaha yang extaordinary pula dalam menghadapinya.Usaha yang extraordinary tersebut bukan lagi atas kebijakan-kebijakan sosial lagi, namun atas kebulatan dan keseriusan tekad setiap individu dalam bersikap dan berprilaku bebas korupsi, baik aparatur pemerintah, swasta maupun masyarakat umum, hal yang juga senada dengan pandangan Howard J. Berman, dalam jurnal yang berjudul Public Trust and Good Governance : An Essay, yang dimuat dalam The McNerney Forum, Inquiry-Excellus Health Plan, yang menyatakan “Corporate Governance is not simply a matter of task and procedures. Mechanics are certainly an essential part of the governance process, but they are merely the means to an end. At its heart, good governance is about protecting and enchancing the publics confidence in enterprise.................. Good Gevernence, however, cannot legislated or enforced through regulation and rules. It will happen only when corporations stake holders demand it, and when boards of directors adopt it as part of the organizations value and standart practices.”
Oleh karenanya perlu pula pembenahan pola pikir sebagai dasar dan alur tindakan dan prilaku dalam mengahadapi korupsi tersebut. Diperlukan kesadaran dan peran serta keseluruhan stake holder, mulai dari pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat umum dalam bersikap. Dengan kembali menanamkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam diri masing-masing untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi tersebut. Menyatukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lagi untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompok, namun kepentingan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, dengan memulai perubahan tersebut dari diri sendiri masing-masing, dari prilaku yang kecil dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari maupun prilaku dalam bermasyarakat dan dalam penyelenggaraan negara. ***
catatan kaki:
[1] CUI-ITB, Keterkaitan Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pencapaian Good Governence, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 15, No. 1, 2004, hlm. 34.[2] Alwi Hashim Batubara, Pelayanan Publik Sebagai Pintu Masuk dalam Mewujudkan Good Governance, Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, hlm. 1* Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta