Oleh Boy Yendra Tamin
Class action di Indonesia, pada mulanya disebut dengan “gugatan perwakilan” dan kemudian dalam PERMA No.1 Tahun 2002 dipergunakan istilah “Gugatan Perwakilan Kelompok”. Berbeda dengan legal standing yang subjeknya adalah organisasi, maka pada gugatan secara class action hanya dapat diajukan oleh sekelompok orang yang diwakili oleh satu atau beberapa orang yang dirugikan secara lansung dan pada umumnya tuntutan yang diajukan adalah ganti rugi materil.
Ketentuan, bahwa class action hanya dapat diajukan oleh sekelompok orang yang dirugikan lansung itu tentu belum memberikan penyelesaian terhadap pelaksanaan class action di Indonesia, terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUPLH. Dalam konteks ini, instansi pemerintah bukanlah termasuk ke dalam sekelompok orang yang dirugikan secara langsung. Tidak masuknya keberadaan instansi pemerintah dalam kriteria sebagai subjek class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 sebenarnya sudah tepat, karena keikut-sertaan pemerintah sebagai subjek class action merupakan suatu penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan keperdataan untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan (Suparto Wijaya;1999:48). Keberadaan instansi pemerintah yang berwenang menangani bidang lingkungan hidup dapat sebagai penggugat dalam class action menjadi tidak relevan apabila dipahami, bahwa instansi pemerintah dimaksud yang berwenang memberikan atau menerbitkan izin lingkungan. Tetapi, sayangnya ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUPLH itu masih berlaku sampai sekarang.
Apabila Subjek (Penggugat) dalam class action adalah sekelompok orang atau badan hukum , maka tergugat dalam class action adalah setiap orang, badan hukum atau pemerintah yang dipandang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap sejumlah besar orang/masyarakat luas. Dalam hubungan ini, maka suatu gugatan yang dilakukan secara class action bukanlah perkara mudah. Dalam PERMA No.1 Tahun 2002, dinyatakan, bahwa hakimlah yang menentukan, apakah suatu gugatan itu merupakan gugatan perwakilan (class action) atau tidak dengan mempertimbangkan beberapa criteria sebagaimana dimaksud Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002. Artinya, sekalipun setiap orang atau sekelompok orang atau badan hukum dapat mengajukan gugutan secara class action, tetapi hakimlah yang menentukannya pada awal proses pemeriksaan persidangan sah atau tidaknya gugatan perwakilan. Apabila gugatan perwakilan dinyatakan sah, maka hakim akan menuangkannya dalam suatu penetapan pengadilan. Dan apabila hakim memutuskan, bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
Di Amerika Serikat mekanisme dalam menentukan suatu gugatan ditempuh melalui prosedur class action lebih rumit di banding di Indonesia. Mekanisme sertifikasi diatur Rule 23 Federal Rule Court melalui “Preliminary Certification Test” dalam prakteknya melalui hearing yang menyita waktu yang mensyaratkan seluruh class members harus sudah teridentifikasi pada awal proses class action. Kewajiban ini seringkali menjadi mustahil karena bahan-bahan serta informasi yang diperlukan untuk melakukan identifikasi yang akurat masih terdapat pada tergugat. Berbeda dengan di Australia yang tidak serumit di Amerika Serikat, dimana proses sertifikasi seperti itu tidak dikenal dalam mengesahkan gugatan secara class action. Hakim Australia cukup berpegang pada pasal 33 (1) Federal Court Act, yaitu cukup menentukan suatu cammon Issue yang substansial, maka penggunaan prosedur class action dapat dikabulkan.Class action di Indonesia meskipun mirip model Amerika Serikat, tetapi untuk dapat dikabulkan menempuh prosedur perwakilan kelompok tidaklah begitu rumit. Tergugat hanya dipersyaratkan menunjukkan jumlah anggota kelompok sedemikian banyak. Tidak ada ukuran kuantitas dari anggota kelompok yang sedemikian banyak itu. Artinya sekelompok orang dalam jumlah banyak itu harus dipulangkan pada pengertian kepantasan dan kepatutan yang dapat diterima hakim sebagai sekelompok orang.
Setelah persyaratan sekolompok orang terpenuhi, maka hal yang perlu diperhitungkan dalam class action yang diajukan adalah akan adanya kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. Sementara soal persyaratan akan kejujuran dan kesungguhan Wakil kelompok untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang dilindunginya merupakan suatu persyaratan yang bersifat relatif.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal yang dinyatakan dalam Pasal 2 PERMA No.1 Tahun 2002, maka gugatan yang diajukan secara class action, selain harus memenuhi persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata, pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002 menentukan bahwa surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat;
Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok
- Defenisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
- Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
- Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan rinci;
- Dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
- Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Berbeda dengan di Amerika Serikat, di Indonesia berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2002 tidak dikenal “Preliminary certification Test” sebelum hakim menetapkan apakah sebuah gugutan termasuk gugatan class action atau gugatan biasa. Di Indonesia “Preliminary certification Test“ dilakukan setelah gugatan yang didaftarkan dinyatakan hakim sah sebagai gugatan kelompok (class action). Dan “Preliminary certification Test“ yang diterapkan di Amerika Serikat ditujukan agar anggota kelompok dapat melakukan “opt in” dan “opt out” (sebelum prosedur dimulai dan tidak terpisahkan dari pemenuhan persyaratan “adequacy of representation” agar suatu gugatan dapat dilakukan secara class action. Di Indonesia “opt in dan opt out” terhadap anggota kelompok dilakukan melalui suatu pembertahuan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim pada tahap setelah gugatan dinyatakan sah sebagai gugatan kelompok oleh hakim dan pada tahap penyelesaian dan pendistrubusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
Apabila anggota kelompok berkeinginan untuk bergabung cukup dengan berdiam diri dan tidak perlu membuat pernyataan tertulis apapun dan putusan yang akan diberikan kelak oleh hakim akan berlaku serta mengikat anggota kelompok yang bergabung. Dan apabila anggota kelompok tidak ingin bergabung dan terikat dengan gugatan dan putusan dari gugatan yang diajukan wakil kelompok, maka anggota kelompok dapat menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang telah disediakan bersamaan dengan pemberitahuan.
Mencermati tata cara pengajuan class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 tahun 2002, pada satu sisi tampak tidak begitu sulit, dibanding yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Persoalannya pentingnya adalah bagaimana wakil kelompok mampu dan cermat mendudukan suatu akibat perbuatan melawan hukum yang merugikan sekelompok orang dalam jumlah banyak, serta cermat dalam menentukan akan adanya kesamaan fakta dan peristiwa, dan beberapa hal lainnya yang disebut dalam Pasal 2 huruf b PERMA No.1 Tahun 2002.
V. Pengunaan Class Action dan Gugatan Hak Uji Materil di Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pada umumnya perbincangan mengenai class action cenderung dipahami dalam konteks prosedur pengajuan gugatan keperdataan. Kecenderungan tersebut terutama dilatar belakangi penggunaan class action pada umumnya dalam penanganan sengketa perdata akibat suatu perbuatan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi sekelompok orang dalam jumlah banyak. Penanganan perbuatan melawan hukum dengan eskes demikian, tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugutan.
Di dalam perkembangannya, ternyata pengunaan prosedur class action melampaui batasan-batasan pemikiran klasik yang menempatkan class action sebagai suatu prosedur dari pengajuan gugatan keperdataan. Hal ini setidaknya ditandai dengan adanya kasus gugutan atas Pembangunan Sport mall Kelapa Gading, Jakarta No.28/G.TUN/2002/PTUN-JKT, dimana PTUN Jakarta menyatakan berwenang dan menerima gugatan ini dengan menggunakan ketentuan Pasal 27 UU No.14 tahun 1970 dan PERMA No.1 Tahun 2002. Dengan demikian, fakta tersebut merupakan indikasi, bahwa prosedur class action bukanlah semata-mata prosedur pengajuan gugatan perdata, melainkan class action merupakan kebutuhan akan prosedur pengajuan gugatan yang universal dan tidak senantiasa terikat dengan ada atau tidak adanya tuntutan ganti kerugian sebagaimana layaknya dalam gugatan perdata. Pertanyaannya kemudian, apakah dalam pengajuan gugatan Hak Uji Materil (HUM) di Indonesia juga dapat tempuh atau menggunakan prosedur class action ?
Apabila yang dikedepankan adanya perbuatan melawan hukum yang menilbulkan kerugian bagi sekelompok orang dalam jumlah besar dan menuntut ganti kerugian sejumlah uang sebagaimana dimaksud dalam class action pada gugatan perdata, maka jelas dalam pengajuan gugatan HUM tidak dikenal class action. Tetapi sebagaimana telah disinggung, bahwa class action tampaknya bukan lagi semata-mata sebagai suatu prosedur beracara pada peradilan perdata. Class action menjadi suatu kebutuhan yang universal dalam proses acara peradilan yang titik tolaknya terdapatnya kepentingan sekelompok orang dalam jumlah besar yang harus mendapat perlindungan dan jaminan hukum. Motif tuntutan berupa ganti kerugian sebenarnya dapat lebih luas dari pada sekedar dalam bentuk uang. Kehilangan kesempatan untuk berusaha misalnya, karena diterbitkannya suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajatnya, sesunguhnya adalah juga suatu kerugian bagi banyak orang dalam jumlah besar. Atau pencabutan izin usaha suatu perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah besar, menimbulkan kerugian bagi karyawan perusahaan bersangkutan yakni hilangnya sumber pendapatannya guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di pihak lain, jika diikuti jalan pikiran PERMA No.1 Tahun 2002, bahwa suatu gugatan dapat dilakukan secara class action apabila memenuhi criteria sebagaimana diatur dalam pasal 2, maka dalam pengajuan gugatan HUM jelas dapat ditempuh secara class action. Namun perbenturan terjadi, dimana Pasal 3 PERMA No.1 Tahun 2002 mengharuskan surat gugatan perwakilan kelompok memuat petitum yang dimintakan berupa ganti rugi, sedangkan dalam gugatan HUM petitum yang dimintakan adalah berupa pernyataan
Gugatan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dinilai bertentangan dengan peraturan yang dejatnya lebih tinggi dikenal dengan Hak uji materil. Uji materil atas suatu peraturan perundang-undangan itu adalah suatu hak yang menjadi wewenang MA untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tingggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Dalam konteks ini, maka yang lebih dikedepankan dalam HUM adalah bekenaan dengan isi, materi muatan atau substansial dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Dalam arti yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa apabila suatu peraturan pemerintah (PP) isinya bertentangan dengan UU, misalnya, maka PP tersebut harus dinyatakan inskonsitusional dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi atau batal demi hukum.
Gugatan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi itu dapat dilakukan oleh perseorangan, badan hukum atau oleh sekelompok orang. Dalam hubungan ini Pasal 1 angka (5) PERMA No.1 Tahun 1999 tentang HUM (HUM) disebutkan; Penggugat adalah seseorang, badan hukum, kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan HUM kepada Mahkamah Agung. Dalam konteksnya dengan rumusan Perma No.1 Tahun 1999 itu, pertanyaannya adalah, apakah benar dalam HUM dikenal prosedur gugatan secara class action ?
Dalam pandangan sebagian kita, bahwa terhadap gugatan HUM juga dapat dilakukan secara class action dengan berpegang pada siapa penggugat dalam gugatan HUM sebagaimana ditentukan PERMA No.1 Tahun 1999, yang salah satunya adalah “sekelompok orang”. Dengan diperbolehkannya “sekelompok orang” melakukan gugatan, maka sebagian kita meklasifikasikan gugatan HUM dapat ditempuh secara class action. Pandangan ini lebih dipengaruhi oleh terjemahan class action itu sebagai “gugatan kelompok”, sehingga terhadap suatu gugatan yang dilakukan sejumlah orang dengan serta merta dipahami sebagai class action.
Secara konsepsional, belum tentu suatu gugatan yang dilakukan sekelompok orang akan berupa class action. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa gugatan secara class action atau gugatan biasa ditentukan oleh criteria dan bukan ditentukkan oleh pencantuman subjek penggugat “sekelompok orang”. Berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2002 dapat dipahami, bahwa suatu gugatan class action apabila satu orang atau lebih mewakili mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang dalam jumlah banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Jika dalam class action yang dipraktek dalam lapangan hukum acara perdata, komponen utamanya adanya perwakilan kelompok (class representatives) dan anggota kelompok (class members), maka dalam gugatan HUM tidak disebutkan apakah sekelompok orang yang berperan sebagai Penggugat sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak. Meskipun TAP MPR No.III Tahun 2000 telah mempertegas kewenangan MA untuk melakukan hak uji materil, namun dalam ketetapan tersebut tidak mengatur hukum acaranya, sehingga dalam pelaksanaan HUM masih mempergunakan PERMA No. 1 Tahun 1999 yang tidak menjelaskan apa-apa soal pemberian kesempatan kepada sekelompok orang untuk melakukan gugatan HUM sebagai gugatan class action. Di sisi lain, kehadiran PERMA No.1 Tahun 2002 tidak dapat pula diterapkan pada gugatan HUM yang dilakukan sekelompok orang karena mengatur tata cara pengajuan gugatan dalam lapangan hukum yang berbeda dengan HUM.
Apabila dalam class action yang diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 yang menjadi tuntutan adalah ganti rugi, maka tidak demikian halnya dengan gugatan hak uji materil baik yang dilakukan orang perorangan, badan hukum maupun sekelompok orang adalah berupa;
(1) Tuntutan kepada badan atau pejabat tata usaha terhadap keabsahan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.(2) Keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Atas suatu gugatan hak uji materil yang diajukan penggugat, maka apabila MA menilai suatu peraturan perundang-undangan yang digugat itu benar bertentang dengan peraturan yang lebih tinggi, maka MA akan menyatakan peraturan perundang-undangan bersangkutan tidak sah. Meskipun MA sudah menyatakan, suatu peraturan perundang-undangan yang digugat itu tidak sah, tetapi pencabutannya dilakukan oleh isntansi yang bersangkutan.
Membandingkan antara petitum class action pada sengketa perdata dengan HUM, ia memperlihatkan kepada kita, bahwa suatu gugatan class action itu dapat dikembangkan dalam berberbagai proses penyelesaian sengketa, termasuk dalam persoalan HUM. Hal ini sejalan dengan laporan Harvard Law Review (1976), bahwa Gugatan kelas (class suit) dianggap berguna dalam siatusi dimana suatu tindakan hukum akan mempengaruhi kepentingan hukum non-pihak atau kemungkinan akan menciptakan potensi lahirnya kewajiban hukum yang bertentangan dengan kepentingan salah satu pihak tersebut. Kemudian disebutkan pula, bahwa dari segi keadilan terhadap mereka yang absen (bertindak sebagai penggugat pasif) atau menjadi lawan kelas tersebut, gugatan class action menyediakan forum yang tepat dan ekonomis untuk menyelesaikan perkara hukum yang telah berkembang menjadi teori gugatan konsumen, adalah bahwa gugatan class action menyediakan alat untuk menyatukan klaim-klaim yang secara substansial sama, dari situ mengurangi ongkos proses pengadilan diantara banyak penggugat dan menjadikan gugata layak dilakukan.
Di bagian lain Harvard Law Review menyebutkan, bahwa prosedur class action akan dapat membantu pengadilan mewujudkan keadilan substanttif. Prosedur class action lebih memungkinkan pengadilan untuk melihat signifikansi klaim penggugat maupun konsekuensi menjatuhkan kewajiban terhadap tergugat, dan dengan demikian lebih mungkin untuk mencapai kesimpulan secara substantif adil. Selain itu melalui prosedur class action, kepentingan para pihak yang absen, yang mungkin dipengaruhi oleh proses pengadilan terlepas dari kelompoknya, terwakili dalam proses pengadilan dan dengan demikian lebih dimungkinkan diberikan haknya.
Mencermati substansi class action sebagai sebuah prosedur, maka penggunaan prosedur class action dalam HUM sebenarnya suatu prosedur yang sudah dengan sendirinya dapat diterapkan dalam gugatan HUM. Landasan konsepsional pemikiran ini adalah, bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat ditujukan kepada publik dan karena menyangkut kepentingan orang banyak. Dan apabila suatu gugatan HUM yang diajukan seseorang terhadap suatu peraturan perundang-undangan dikabulkan MA, maka putusan MA akan mengikat publik, meskipun dalam gugatan HUM yang dipraktekkan di Indonesia tidak mengenal “opt in” dan “opt out” agar suatu gugatan HUM dapat dilakukan secara class action. Disisi lain hal itu dimungkinan, dalam gugatan HUM di Indonesia sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 1999 memberi tempat kepada perseorang, badan hukum untuk bertindak sebagai Penggugat selain dari sekelompok orang, sehingga dalam gugatan HUM tidak terdapat suatu ketegasan, apa makna pemberian kesempatan mengajukan gugatan HUM kepada sekelompok orang sebagai Penggugat. Artinya, dapatnya sekelompok orang bertindak sebagai penggugat dalam gugatan HUM disamping orang perseorangan tidaklah mencerminkan sebuat prosedur class action, dimana keberadaan sekolompok orang itu sebagai penggugat tidaklah dalam kapasitas mewakili sekelompok orang dalam jumlah banyak. Ini setidaknya dapat dipahami dengan mengedepankan syarat-syarat class action sebagaimana diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2002 sebagai berikut;
(1). Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak, sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
(2). Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;(3). Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;(4). Tuntutan yang diajukan oleh penggugat adalah berupa ganti kerugian dalam bentuk yang atau tindakan tertentu baik secara induvidu maupun komunal.Meskipun demikian, mengingat eksistensi suatu peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat hukum bagi publik, maka dalam gugatan HUM seharusnya ditegaskan gugutan yang diajukan dengan satu-satunya prosedur, yakni gugatan secara class action. Artinya, gugatan yang diajukan oleh perseorang harus ditiadakan, karena gugatan yang diajukan perseorang belum tentu mencerminkan kepentingan publik atau sejumlah orang dalam jumlah banyak, dan belum tentu pula merugikan kepentingan hukum banyak orang. Dalam hubungan ini, atas gugatan perorangan dalam HUM, bisa jadi MA dalam menilai peraturan perundang-undangan dihadapkan pada alasan yang terbatas sesuai kepentingan si Penggugat perorangan, tetapi mengambil putusan yang mengikat publik. Karena itu, perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan bahwa dalam gugatan HUM hanya dapat dilakukan dengan prosedur class action yang disesuaikan dengan tujuan dan maksud HUM.
Hal yang kita kemukakan di atas menjadi penting, apabila kita pahami pengajuan gugatan dalam HUM terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Berdasarkan Perma No.1 Tahun 1999, permohonan (gugatan) HUM dapat dilakukan melalui dua cara, yakni: Pertama, melalui lembaga peradilan dan ; Kedua, dengan mengajukan lansung ke MA sesuai dengan prosedur ketanegaraan. Sementara itu bagi peraturan perundang-undangan dari Undang-Undang Keatas diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena dalam pengajuan gugatan HUM disyarakatkan harus dilakukan oleh semua orang (sekelompok orang) atau badan hukum yang terkena dampak peraturan perundang tersebut, sehingga kalau ada satu orang atau badan hukum yang tidak setuju melakukan gugata HUM, maka gugatan HUM tidak dapat dilakukan. Bahkan yang akan muncul ialah adanya gugatan HUM tandingan untuk meng-counter gugatan HUM yang telah diajukan yang diajukan sekelompok orang atau masyarakat. Dalam persoalan ini, maka apabila dalam HUM akan dilakukan dengan prosedur class action, maka setidaknya harus dikembangkan “opt in” dan “opt out” dan persyaratan lainnya sebagaimana dalam class action dibidang hukum keperdataan. Kecuali itu, tentu dalam HUM penerapan class action dimulai dari adanya suatu “kepentingan yang dirugikan” oleh terbitnya suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana layaknya pula pada class action dalam lapangan hukum perdata “adanya hak yang dilanggar dan menimbulkan kerugian”. Dalam hubungan ini class action terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
PENUTUP.
Class Action pada prinsipnya adalah suatu prosedur pengajuan gugatan. Jika dipahami esensi dan dan mafaat pengajuan gugatan secara class action tersebut, maka ruang lingkup class action tidaklah hanya terbatas pada hukum keperdataan, bidang-bidang lingkungan, kehutanan, perlindungan konsumen, hak-hak civil, saham atau bursa efek, kecelakaan massal, tetapi class action juga dapat diterapkan dalam HUM atau dalam perkara-perkara yang menyangkut tata usaha negara. Persoalannya dalam bidang HUM, perlu diatur lebih lanjut mekanisme penerapan class action, karena penerapan prosedur class action dalam lapangan hukum perdata nuansanya berbeda dengan HUM.(***) [Baca juga Bagian sebelumnya]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adriyanto & Trimedya Panjaitan (Penyunting), Reformasi Mahakamah Agung, SPI-IRRI-Pact, Jakarta 1999
Asmar Ismail, Suatu Tinjauan Mengenai Gugatan Perwakilan (Class Action), Seminar Sosialisasi Rakernas Mahkamah Agung RI, di Padang 5 April 2003,E.Sundari, , Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Universitas Atma Jaya-Yogjakarta, 2002Hendry. P.Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praketek Sehari-hari, Sinar Harapan-Jakarta 2001Mas Achamad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan ( Class Action), ICEL-1997Mas Achamad Santosa, Class Action: Sekedar Trend atau Senjata Ampuh (Refleksi Atas Putusan Pengadilan), Buletin Informasi Hukum dan Advokasi Lingkungan-ICEL, No.04-Tahun VII, September 2002.Marsudin Nainggolan, Beberapa Masalah Yang Perlu di Atur Dalam Gugatan Perwakilan (Class Action), Varia Peradilan, 183-126.Michel G.Cochrane, Class Action : A Guide to The Class Proceedings Act 1992, Canada law Book Inc-Ontorio, 1993.Suparto Wijaya, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settement Of Enviromental Disputes), Airlangga University Press, 1999UUD 1945 (setelah Perubuahan).UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan HidupPeraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1999Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002