by Eri Pebriko, SH
Sejak berlakunya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat maka semua istilah yang diberikan kepada profesi praktisi hukum, seperti: Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum atau pun istilah lain, seperti kuasa hukum dan pembela menjadi satu istilah, yaitu Advokat.
Sebagai advokat yang telah diangkat oleh organisasi Advokat dan telah pula dilantik dan diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan sebagai sebuah profesi yang di istilahkan oleh para ahli hukum sebagai profesi yang mulia (officium nobile), Advokat haruslah selalu berpegang teguh pada aturan perundang-undangan yang berlaku, dan selalu bersikap dan bertindak sesuai dengan etika profesi. Hubungan antara etika dan profesi hukum sangatlah erat, sebab dengan etika inilah para Advokat dapat melaksanakan tugas (pengabdian) profesinya dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya akan melahirkan keadilan ditengah-tengah masyarakat.
Sikap profesionalisme Advokat haruslah tercermin pada dirinya sendiri dalam berbuat dan bertindak terhadap klien yang dibelanya, yang didalam melakukan pembelaannya Advokat tidak boleh melakukan perbuatan yang tercela yang tentunya disatu sisi merugikan kepentingan hukum Kliennya, pada sisi lain merupakan perbuatan yang bertentangan dengan etika profesi (dalam hal ini Kode Etik Advokat Indonesia), sebagai contoh, Advokat yang menjanjikan atau mengiming-imingi dan/atau memberi janji, harapan kepada kliennya bahwa perkara klien yang sedang ditangani/dibelanya akan dimenangkannya di pengadilan.
Pemberian jaminan, harapan, janji-janji dan iming-iming tersebut diatas, merupakan salah satu contoh dari berbagai fenomena yang terjadi pada prakteknya di lapangan, dan perbuatan tersebut tentunya tidak mencerminkan sikap professional seorang Advokat. Akibat dari perbuatan tersebut bisa dilakukan penindakkan oleh organisasi Advokat bersangkutan kepada si Advokat.
Advokat juga adalah manusia dan bukan malaikat, namun dalam setiap gerak, sikap dan perbuatannya terikat dengan etika profesi. Honorarium yang diterima oleh Advokat dari kliennya merupakan hak Advokat untuk menentukan besarannya, sekalipun tidak ada tolok ukur yang menjadi batasan atas besaran jumlahnya, akan tetapi dalam batas-batas yang layak dengan mengingat kemampuan kliennya.
Uang yang diterima oleh Advokat dari Kliennya berdasarkan jaminannya untuk memenangkan perkara, merupakan sebuah bentuk kejahatan bisnis yang bertopeng dengan hukum, bukan lagi mengedepankan ketentuan dan prosedur hukum, akan tetapi mengedepankan nilai-nilai materi untuk membuat seolah-olah suatu perkara tersebut bisa diatur saja dengan uang. Ironis bila uang dijadikan segala-galanya sebagai penentu dan pengambil keputusan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan kepentingan masyarakat.
Pembelaan yang dilakukan secara professional oleh Advokat terhadap kliennya, haruslah sarat dengan segala alat-alat bukti yang cukup kuat untuk dapat disampaikan di persidangan, sang klien menyerahkan seluruh alat-alat bukti yang ada padanya kepada Advokat, yang kemudian oleh si Advokat dipelajarinya secara cermat dan seksama, dan kemudian memutuskan menurut pengetahuan hukum yang dimilikinya, apakah perkara yang nantinya dibelanya didasarkan oleh alat-alat bukti yang telah dipelajarinya tersebut cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat pembuktian di persidangan nantinya.
Berangkat dari hal tersebut diatas merupakan salah satu bentuk pola dan sistem yang dilakukan oleh Advokat dalam memanejemen perkara yang akan dibelanya, yang tentunya akan berarti positif dan akuntabel dalam pembelaan nantinya. Persoalan apakah perkara yang ditanganinya tersebut diterima atau ditolak maka pembuktian di Pengadilan lah yang akan menentukan dan memutuskannya. Inilah sebagai sikap profesional Advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh etika profesi.
Bilamana kiranya alat-alat bukti yang telah dipelajari secara seksama oleh Advokat dan menurut keyakinannya perkara yang akan diurus atau akan dibelanya tidak mempunyai dasar hukum, maka sepatutnya secara etika profesi, perkara tersebut harus ditolaknya, karena disatu sisi kalau perkara tersebut tidak ditolaknya, maka akibat hukum yang ditimbulkannya adalah ; terjadinya ketidak percayaan klien atau masyarakat atas profesi yang disandangnya, terjadi kerugian materil dan immaterial terhadap perkara klien yang diurusnya dan mungkin juga terjadi asumsi-asumsi lainnya ditengah-tengah masyarakat.
Profesionalisme Advokat tidak terlepas dari etika profesi, batasan-batasan perlakuan dan tindak perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat diatur oleh kode etik, sehingga keprofesionalan advokat akan tetap terjaga bila para Advokat dalam praktiknya baik melakukan pembelaan didalam dan diluar pengadilan tetap komit dan berbuat sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Sikap professional Advokat akan tetap terjaga dan tercermin bilamana;
Etika profesi yang menjadi landasan berpijak Advokat untuk mengurus kepentingan hukum kliennya, selalu dipegang teguh.
- Mengedepankan hukum dan aturan perundang-undangan, dan bukan sebaliknya materi adalah segala-segalanya.
- Aturan hukum lebih diutamakan untuk menyelesaikan suatu persoalan hukum daripada kehendak pribadi klien.
Mudah-mudahan artikel ini sedikit banyaknya ada manfaatnya bagi diri penulis dan pembaca.*