Menjelang realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat berbagai kalangan baik akademisi maupun pelaku bisnis. MEA merupakan komitmen ASEAN untuk membangun dan mencapai kemakmuran bersama dengan slogan One Vision, One Identity, One Commitment. Kondisi ini akan mendorong terbentuknya pasar tunggal dimana negara anggota ASEAN lebih mudah dalam melakukan pertukaran arus barang dan jasa, termasuk tenaga kerja professional seperti dokter, perawat, guru, pengacara, dsb. MEA menciptakan peluang dan tantangan bagi masyarakat Indonesia, karena bahasa resmi MEA adalah bahasa Inggris yang notabenenya merupakan bahasa asing bagi kita. Namun, jika dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayah, Bahasa Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi bahasa kedua untuk MEA.
Oleh karena itu, sebagai langkah nyata untuk memperkuat posisi Bahasa Indonesia menyambut MEA, maka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) perlu mengadakan Pelatihan Pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Pelatihan ini melibatkan dosen dan mahasiswa seluruh Indonesia yang mengikuti program pertukaran pelajar maupun program internasional ke luar negeri khususnya Jepang dan Korea sebagai Negara yang sedang “digandrungi” kaum muda Indonesia. Kemampuan untuk mengajarkan BIPA, ini menjadi momentum untuk mempromosikan Bahasa Indonesia dan ikut menjunjung harga diri bangsa dan meningkatkan rasa nasionalisme. Program BIPA ini menjadi suatu langkah yang baik untuk mengakomodasi tuntutan pembelajaran Bahasa Indonesia. Sudah saatnya orang asing yang bekerja di Indonesia, belajar bahasa kita juga.
Kegiatan BIPA ini sebaiknya tidak hanya untuk diselenggarakan di perguruan tinggi saja, tetapi hendak diperluas dengan membawa serta pada seniman dan budayawan yang biasa menampilkan atau mementaskan hasil karyanya ke luar negeri atau sebaliknya, sanggar-sanggar mereka yang sering di datangi oleh turis asing yang ingin belajar, baik lewat kesenian maupun budaya Indonesia. Tentunya, orang asing atau turis harus mampu berbahasa Indonesia, bila perlu bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang masih digunakan oleh penuturnya.
Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3) kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Alwasilah, 1996).
Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian beragam.
Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo, 1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA.*** (oleh: Drs. Endut Ahadiat, M.Hum)