Beberapa waktu belakangan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada potret buram penegakan hukum. Fakta-fakta menggenaskan tersaji dihadapan masyarakat. mulai dari makelar kasus, mafia peradilan tumbuh dan berkembang sedemikian rupa. Ulah dari para makelar kasus dan mafia peradilan, disadari atau tidak, pada akhirnya akan merobohkan pondasi tatanan hukum yang sedang dibangun negeri ini. Dampaknya, masyarakat menjadi apriori, bahkan tidak percaya sama sekali dengan hukum dan peradilan di Indonesia. Banyak faktor yang menjadikan masyarakat tidak percaya hukum dan peradilan, dan salah satunya berkaitan dengan soal ketidakadilan
Bercermin dari beberapa kasus besar yang terjadi, sepertinya penegak hukum menjunjung tinggi kode etik profesi dan moral profesi makin langka. Ini setidaknya terlihat dari selalu saja muncul kasus-kasus penegak hukum yang menampar wajah hukum di negeri ini. Ulah segelintir penegak hukum yang jauh dari tuntutan kodek etik profesi, pada akhirnya menciderai kredibilitas institusi peradilan, terutama hakim sebagai bagian terpenting dari peradilan. Masyarakat pesimis terhadap kemampuan peradilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam penegakan hukum.
Kita tentu masih ingat sejumlah penegak hukum terjaring dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK atau kasus-kasus lainya yang dilakukan penegak hukum. Hal itu mengindikasikan masih kuatnya suap yang berjaya di lingkungan peradilan. Hukum dan rasa keadilan masyarakat diselewengkan yang pada prinsipnya bermula diabaikanya kodek etik profesi yang menjadi dasar penuntun seorang penegak hukum dalam melakukan tugas profesinya.
Dalam Kode Etik Hakim yang disahkan dalam Musyawarah Nasional IKAHI XIII misalnya, secara jelas dan gamblang mengatur sifat-sifat yang harus dimiliki seorang hakim dan pegangan tingkah laku yang harus dipedomani. Diantaranya adalah seorang hakim dalam memutuskan perkara, putusan dijatuhkan secara objektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain dengan menjunjung tinggi prinsip serta bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Kemudian, Kode Etik Jaksa diatur dalam Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. 5 Kep-052/JA/S/1979 ttg Doktrin Adhyaksa Trikarma Adhyaksa. Kode Etik Advokat yang disahkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002, dalam BAB II Pasal 3 (b) ditegaskan bahwa advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. Kode Etik Polisi, diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002.
( Baca juga : Sikap Profesional Advokat Dalam Memegang Teguh Kode Etik Profesi )
(baca juga : Kode Etik dan Prilaku Hakim )Namun, meski perilaku penegak hukum sudah diatur sedemikian rupa, faktanya masih banyak para penegak hukum yang bermasalah dalam menjalankan profesinya yang tidak hanya sebatas melanggar kode etik, tetapi sekaligus melakukan tindak pidana korupsi. Mengapa ?
Thomas Aquinas mengatakan bahwa akal budi manusia akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang didambakan. Akal budi menjadi asas pertama perbuatan manusia, dan hukum merupakan aturan dan ukurannya, yang sudah seharusnya hukum memang bersumber dari akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan. Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan hukum sebagai penegak tata sosial yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum melanggar kode etik.
Oleh karenanya, penegakan hukum akan berjalan sebagaimana mestinya tidak dapat dilepaskan dari moralitas penegak hukumnya. Moralitas penegak hukum bisa tumbuh dengan baik apabila secara terus menerus dibangunkan kesadaran akan moralitas dalam dirinya. Dalam pandangan Aquinas, kesadaran diri merupakan potensi yang harus ditafsirkan secara kritis, sehingga akan melahirkan gagasan yang segar dan mencerahkan. Makhluq yang “sadar diri” pastilah akan membuka jalan baru kehidupan yang mencerahkan dan membahagiakan.
Dalam konteks moralitas itu, maka fakta rusaknya penegakan hukum di Indonesia bisa ditafsirkan sebagai ambruknya nilai “sadar diri” dan moralitas profesi, sehingga jatuhlah nilai dan hekekat hukum sebagai alat untuk mewujudkan masyarat yang berkeadilan. (catatan Dheka Arya Sasmita Suir-editing dh-1).