Dalam pergaulan hidup masyarakat, seorang pribadi dapat menghibahkan harta benda (bergerak atau tidak bergerak) miliknya. Meskipun demikian, aturan dan syarat agar suatu perbuatan menghibahkan itu sah haruslah memperhatikan ketentuannya, baik ketentuan hukum perdata, hukum agama, dan juga dalam hukum adat yang hidup pada satu masyarakat hukum adat yang dipegang teguh di pemberi hibah.
Seperti diketahui, hibah dikenal dan diatur dalam berbagai lapangan hukum. Karena itu agar suatu hibah sah, maka seseorang yang bermaksud akan menghibahkan harta bendanya harus memperhatikan ketentuan hukum yang mana yang berlaku baginya. Apakah yang dimaksudkan dengan hibah itu secara hukum ? Dalam ketentuan KUHPerdata BW, dalam Pasal 1666 disebutkan bahwa hibah merupakan pemberian oleh seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali.
Karena itu sebelum menghibahkan sesuatu barang/benda bergerak maupun tidak bergerak pemberi hibah harus berfikir matang dan memantapkan hati dan pikirannya sebelum menghibahkan harta bendanya. Dan apabila tekad atau kehendak untuk mengibahkan suatu harta benda sudah kuat, maka si Pemberi hibah harus memperhatikan syarat-syaratnya, sehingga perbuatan menghibahkan tersebut sah menurut hukum dan tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Meskipun hibah itu merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan hartanya baik seluruhnya atau sebagian saja, perbuatan menghibahkan harta itu harus dilakukan menurut cara dan syarat yang telah ditentukan hukum. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah besaran atau jumlah harta yang boleh dihibahkan, dan kedua hibah yang dilakukan dilakukan sebaiknya dengan akta atau surat tertulis, sehingga tidak muncul gugatan dari pihak lain dikemudian hari dan penerima ada pegangan apabila ada gugatan dari pihak lain.
Dan seperti telah dikemukan, hibah merupakan kehendak bebas dari si pemilik harta, tetapi kehendak bebas itu tidaklah dalam arti bebas tanpa batas. Artinya seseorang hanya dapat menghibahkan harta bendanya yang benar-benar bebas dari hak orang lain, baik hak langsung maupun tidak langsung. Misalnya, seorang ayah atau Ibu tidak bebas menghibahkan harta benda yang dipunyainya jika si pemberi hibah mempunyai anak sebagai ahli warisnya. Dalam hal ini, dalam harta orang tua ada hak anak yang dalam hukum perdata disebut hak bagian mutlak (legitieme portie). Demikian pula dalam hukum adat, misalnya dalam hukum adat Minangkabau, seorang anggota kaum tidak dapat menghibahkan sebidang tanah kaum yang ada dalam penguasaannya, kecuali apabila seluruh anggota kaumnya menyetujuinya. Kemudian dalam hukum waris Islam, seorang ayah atau ibu yang memiliki anak hanya dapat menghibahkan maksimun 1/3 hartanya. Jika terjadi lebih dari 1/3 hartanya yang dihibahkan jelas melanggar hak anak, sekalipun anak tidak mempermasalahkannya. Dalam hal ini yang harus digaris bawahi adalah bahwa anak tidak mempermasalahkan itu haruslah dalam arti si-anak memberikan persetujuannya dan bukan dalam arti si anak diam karena sungkan atau takut pada orangtuanya.
Jadi, suatu hibah yang besaran sudah ditentukan harus dimulai dengan meminta persetujuan dari ahli waris pemberi hibah. Persetujuan dari ahli waris dari Si Pemberi hibah itu diperlukan selain untuk melindungi hak ahli waris si pemberi hibah, disisi lain sebagai jaminan bagi yang menerima hibah. Karena itu penerima hibah pun semestinya memastikan, apakah hibah yang diberikan kepadanya sudah atas persetujuan dari ahli waris dari si Pemberi Hibah. ***