Oleh : Dasril Ahmad
Pengantar
Pengarang Harris Effendi Thahar berceramah tentang “Kiat Menulis Cerpen” pada kegiatan Pelatihan Menulis Cerpen yang diadakan Studio Sastra Arab dan Islam, Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, Padang, Sabtu, 12 Desember 1998 lalu. Ceramah cerpenis terkemuka Indonesia yang lahir 5 Januari 1950 di Tembilahan (Riau) dan berdomisili di kota Padang ini, diikuti 20 orang peserta (mahasiswa) yang berasal dari berbagai fakultas (dominan dari Fakultas Adab) di lingkungan IAIN Imam Bonjol Padang. Pada kesempatan itu, dosen FPBS IKIP Padang ini, selain menilai 10 cerpen karya peserta juga memaparkan pengalaman dan/atau proses kreatifnya dalam menulis cerpen selama 25 tahun ini.
Materi ceramah (diluar diskusi) yang disampaikan Harris Effendi Thahar selama 2 jam itu, sempat saya rekam, kemudian setelah disalin dan direvisi seperlunya, maka inilah catatan (dari ceramah) “kiat menulis cerpen” Harris Effendi Thahar tersebut.
***
Sesuai dengan topik pelatihan ini, saya ingin menuliskan beberapa hal yang mungkin berguna, tapi sebetulnya masih banyak persoalan-persoalan menulis cerpen itu kalau kita dalami betul. Namun demikian, saya sudah mencoba menuliskannya dalam bentuk naskah dengan judul “Kiat Menulis Cerita Pendek: Teori dan Aplikasinya” ini, setebal 130 halaman lengkap dengan contoh-contoh. Tapi rasanya setelah 2 tahun saya tulis, masih banyak hal-hal lain yang perlu dimasukkan ke dalamnya. Mudah-mudahan nanti pada suatu kesempatan naskah ini akan terbit jadi buku. Meskipun demikian, buku-buku yang sejenis telah banyak diterbitkan oleh pengarang-pengarang yang berpengalaman, termasuk oleh ahli sastra.Saya mulai dengan mengutip pernyataan seorang sastrawan dan budayawan yang juga seorang pastor, YB. Mangunwijaya, begini: “Esensi cerita pendek yang baik bukan soal pendek panjangnya, akan tetapi bagaimana dalam dan lewat suatu pengisahan peristiwa kecil yang kompak dapat bercahaya suatu pijar pamor kemanusiawian yang menyentuh, yang mengharukan, yang mengimbau pembaca mencicipi setetes madu manis atau racun pahit kemanusiawian.” (Ini dari pengantarnya di dalam sebuah buku kumpulan cerpen pilihan Kompas, 1995).
Jadi maksud pernyataan Mangunwijaya di atas ialah, dalam halaman yang terbatas dari sebuah cerita pendek, bagaimana kita menyikapinya dengan menulis kompak, kata beliau itu. Kalau kita bercerita pada seseorang teman tentang sesuatu, pembukaannya saja sudah habis separoh jalan, mana lagi tempat untuk inti ceritanya?Lalu, menyangkut pamor kemanusiawian yang beliau maksudkan di sini adalah, semua kisah yang ditulis, baik dalam cerita pendek maupun novel yang kita sebut prosa-fiksi itu, tiada lain yang dikisahkan adalah tentang manusia. Hal-hal yang berkenan dengan kemanusiaan (di sini beliau menyebut kemanusiawian). Meskipun kita bercerita tentang binatang, tentang kancil misalnya, tapi sebetulnya kita bercerita tentang manusia juga pada hakikatnya. Karena cerita-cerita fabel itu ‘kan cuma sebagai tamsilan. Orang ingin mencoba menceritakan makhluk lain dari manusia, tapi wujudnya tetap manusia. Karena referensi kita hanya manusia. Kita tidak kenal bagaimana pribadi binatang. Kita tidak kenal bagaimana pribadi malaikat. Jadi, ruang-lingkupnya tetaplah soal manusia.
Nah, kalau cerita tentang manusia, banyak sekali masalahnya, banyak tetek-bengeknya. Dari sejak zaman nabi Adam sampai sekarang sebetulnya itu-itu juga persoalannya. Soal kehidupan manusia di dunia, dan ketika sudah berkembang sastra Islam, baru orang menyentuh kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Lain dari itu ndak ada. Ndak ada yang baru sebetulnya. Kalau tidak ada yang baru, sementara karya kreatif itu adalah bersifat menciptakan sesuatu yang baru, akhirnya kita mencoba mengangkat persoalan yang sudah usang menjadi baru. Masalahnya bukanlah apa yang hendak ditulis, tapi bagaimana cara menulisnya. Kalau apa yang hendak ditulis banyak sekali yang mau kita tulis, tapi yang penting ‘kan bagaimana mengekspresikannya.
Di dalam bagaimana cara mengungkapkannya itulah nanti kita berkenalan dengan masalah teknik, dengan alur, penokohan, pusat pengisahan, dan lain-lain. Namun, hal itu hanya akan diperoleh dengan baik, setelah kita melalui berbagai proses. Artinya kita harus sudah terbiasa menulis. Dengan kata lain, setiap menulis kita anggap saja sebagai latihan. Seperti halnya saya, sampai sekarang saya masih terus melatih diri saya menulis, meskipun sudah 25 tahun saya bergelut dengan menulis fiksi, namun rasanya tidak ada yang final.
Jadi, proses menulis karya kreatif itu tidak seperti orang lari sekitar 100 meter. Kalau sudah 100 meter sampai di finis kita selesai. Tidak demikian halnya dengan menulis kreatif itu. Orang yang kerjanya menulis kreatif sama dengan lari maraton. Sehabis-habis tenaga. Sehabis-habis umur, lari terus sampai pada satu titik kita berhenti ketika maut memanggil. Dalam hal ini, tidak heran kalau kita lihat A.A. Navis yang umurnya sudah 75 tahun, dan Mochtar Lubis sudah 76 tahun, namun sampai sekarang masih tetap menulis.
Inilah keistimewaannya penulis, baik penulis karya kreatif maupun penulis ilmiah adalah orang yang tidak kenal umur, dan juga tidak kenal pensiun. Kalau kita pegawai negeri ada batas pensiunnya, tapi penulis tidak ada batas pensiunnya. Nah, kalau Anda betul-betul berbakat menulis, sebetulnya waktu ke depan ini (bukan mendahului Tuhan, ya!), sepanjang umur kita masih punya kesempatan menulis selagi kita masih bisa menggerakkan tangan. (Bersambung ke: ).
*) Tulisan ini pernah dimuat di ruangan Budaya Minggu Ini, Harian Haluan, Padang, edisi Selasa, 16 Pebruari 1999, halaman VII