Oleh : Dasril Ahmad
Sebenarnya sebagai warga negara terpelajar, wajib bagi kita menguasai tatabahasa tulis yang berlaku umum, meliputi ejaan, bangun kalimat, paragraf dan lain-lain. Mustahil seseorang dapat mengekspresikan maksudnya dengan efektif melalui bahasa tulis, tanpa ia menguasai tatacaranya. Apalagi, seseorang pengarang dituntut menguasai bahasa tulis melebihi kemampuan rata-rata orang awam. Bagaimana kalau sekarang rasanya bahasa kita sama saja dengan orang awam? Makanya kita harus membaca terus. Apa pun prestasi yang kita capai, mustahil tanpa proses, tanpa latihan. Kalau ada orang yang tiba-tiba jadi pengarang terkenal, itu nonsen..! Semuanya melalui proses. Kalau malas mengikuti proses, ya, terimalah prestasi apa adanya. Jadi tanya diri kita. Apa kita memang punya keinginan sungguh-sungguh atau sekadar orang tahu bahwa saya pengarang. Jadi buat apa kalau orang tahu kita pengarang, tapi pengarang yang jelek. Seharusnya kita menjadi pengarang yang bagus.
Lalu, proses itu gimana, ya? Seumur-umur, saya masih merasa berproses terus. Kalau sudah mandeq karena usia saya sudah lanjut, itu memang sebegitu yang bisa saya capai. Tapi kalau dari usia dini seperti usia anda sekarang, merupakan usia yang sangat bagus untuk menyemai bakat mengarang itu. Saya pikir, waktu untuk berproses itu sangat terbuka. Pusatkanlah perhatian anda untuk menulis. Berlatihlah memaksakan diri menulis itu selesai, tidak disambung besok. Kalau disambung besok, tentu besok akan lain lagi ceritanya. Apalagi kalau menulis novel. Tapi kalau menulis cerpen, sekarang ditulis selesaikan langsung. Kalau tidak selesai bisa disimpan saja atau dibuang, dan kapan-kapan tulis lagi yang lain.
Percayalah, apa yang rasanya ingin kita tulis menggebu-gebu sekarang, besok belum tentu itu yang bagus. Ketika saya menulis sebuah cerpen hari ini, setelah selesai cepat-cepat saya mengoreksinya dengan baik, lalu melipatnya dan menyimpan arsipnya, dimasukkan ke dalam amplop dan langsung saya kirim. Saya lupakan. Sebab, kalau saya baca lagi, wah, rasanya tidak bagus. Tapi ketika beberapa minggu kemudian dimuat di koran atau majalah, saya merasakan, bagus juga, ya? Artinya, latihan kita berhasil. Tidak mungkin sekaligus latihan itu sudah jadi. Tak mungkin pula tanpa latihan, tanpa mencoba tulis-menulis (apa saja), kita akan berhasil. Setidak-tidaknya dengan tekun melakukan latihan itu, maka makin lama bahasa kita semakin halus, dan teknik-teknik penulisan kita semakin baik.
4. Menghidupkan Tokoh
Tokoh-tokoh dalam cerita pendek itu adalah manusia. Justru itu, tokoh-tokoh itu haruslah diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai malaikat, atau iblis dan bukan pula sebagai benda mati. Kalau kita meletakkan tokoh, maka letakkanlah dia dalam batas-batas dunia yang mungkin, yang logis dan wajar, sesuai dengan karakter yang dikehendaki pengarangnya.
Misalnya begini, mustahil seorang gelandangan minta sedekah kepada seseorang dengan bahasa yang filosofis, “Cobalah Bapak merenung sejenak bahwa hidup kita ini tidak lama. Jadi, harta yang Bapak kumpulkan itu tidak akan selamanya kekal. Apa salahnya kalau Bapak beramal, menyedekahkannya pada kami-kami. Toch, kami ‘kan juga butuh hidup, tapi kami bernasib malang!” Jelas ndak mungkin seorang gelandangan minta sedekah dengan kata-kata yang seperti itu. Itu berarti kita sudah memberikan karakter yang salah. Maksudnya, memasangkan “baju” yang salah kepada tokoh kita.
Begitu juga, janganlah tokoh yang kita ceritakan itu bagaikan malaikat, baik sekali, atau ndak pernah salah (mungkin karena dia pacar kita), dan alim, misalnya. Dengan demikian, maka dia sebetulnya telah kita beri karakter tidak manusia, dia jadi malaikat. Begitulah yang sering tindak-laku tokoh dalam kisah-kisah cinta yang ditulis para pemula. Misalnya, seorang pemuda dan seorang gadis (karena duduk berdekatan) berkenalan di atas bus Padang – Bukittinggi. Baru sampai di Kayutanam langsung saja si pemuda bilang, “I Love You”. Itu bukanlah karakter manusia, mungkin iblis. Tapi kalau anda juga mengatakan, itu ‘kan realitas, Pak? Memang, namun tidak mungkin diceritakan seperti itu. Dalam bahasa tulis, mungkin bisa diceritakan dalam bentuk lain seperti, “Dari sinar matanya kulihat dia punya perhatian.” Nah, itu wajar. Jadi berilah kewajaran-kewajaran. Berilah tokoh-tokoh itu karakter manusia plus-minus. Tidak terlalu baik dan tidak pula terlalu jelek. Tampilkanlah tokoh yang betul-betul hidup di dunia, bukan di alam lain. Kecuali kalau kita menulis dalam bentuk-bentuk absurd. Itu lain lagi masalahnya.
Pengarang itu memang tidak dilarang membuat peran apa saja terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Namun yang penting, yang diceritakan itu harus cocok tingkah-lakunya dengan hukum kausalitas (sebab-akibat), dan dapat diterima secara logis oleh pembaca, meskipun dalam kategori cerita absurd.
5. Fokus Cerita
Fokus cerita ini merupakan titik sentral di dalam sebuah cerita pendek. Fokus itu sama dengan kita memotret. Kalau kita mengambil potret seseorang di tengah orang banyak, maka fokus pemotretan itu kita hadapkan kepada dia. Yang menjadi fokus ini nanti akan tajam dan jelas gambarnya. Sementara yang di luar dia mungkin agak kabur.
Begitu juga kalau kita menulis cerita tentang sesuatu masalah, maka kita fokuskan cerita kepada masalah tersebut, sehingga masalah itulah yang menonjol. Sementara masalah-masalah yang lain hanya penunjang saja. Untuk itu, kita janganlah terlena menceritakan masalah penunjang ini, yang menyebabkan fokusnya menjadi hilang. Kalau ceritanya tentang seorang yang sedang jatuh cinta, maka sang tokoh mestilah dihadapkan pada suatu masalah yang menjadi fokus cerita. Tanpa ada masalah, cerita akan berjalan datar. Dalam sebuah cerpen hanya ada satu persoalan pokok, persoalan-persoalan lain hanya berfungsi sebagai pendukung. Lain halnya dengan novel yang persoalannya majemuk dan saling kait-mengait.
***Demikianlah beberapa kiat praktis saya dalam menulis cerita pendek telah saya sampaikan pada kesempatan ini. Lima kiat ini mudah-mudahan ada manfaatnya bagi anda. Untuk selanjutnya, waktu kita pergunakan untuk tanya jawab seluas-luasnya, dan sejauh yang bisa saja jawab, akan saya jawab sebaik-baiknya. Insya Allah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.***
(Padang, Desember 1998).• Dicatat dari ceramah pengarang Harris Effendi Thahar tentang “Kiat Menulis Cerpen”, disampaikan dalam Pelatihan Menulis Cerpen di Studio Sastra Arab dan Islam, Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Sabtu, 12 Desember 1998.
• Tulisan ini telah pernah dimuat di Ruangan Budaya Minggu Ini (BMI) Harian Haluan, Padang, edisi Selasa, 16 Pebruari 1999, halaman VII.Riwayat Singkat
Harris Effendi Thahar, lahir di Tembilahan, Riau, 4 Januari 1950. Guru Besar Pendidikan Sastra Indonesia, pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang sejak 1 Nopember 2009. Selain menjadi staf pengajar, ia juga seorang cerpenis. Buku kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan adalah : “Si Padang” (Buku Kompas, Jakarta, 2003), dan “Anjing Bagus” (Buku Kompas, Jakarta, 2005). Di samping itu, beberapa cerpennya dimuat dalam antologi, di antaranya, cerpen “Ngarai” dalam “Kado Istimewa” (kumpulan cerpen pilihan Kompas 1992); “Burung-Burung Pulang ke Sarang” dalam “Pelajaran Mengarang” (kumpulan cerpen pilihan Kompas 1993); “Dari Paris” dalam “Lampor” (kumpulan cerpen pilihan Kompas 1994); “Rampok” dalam “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri” (kumpulan cerpen pilihan Kompas 1995); dan cerpen “Lurus” dimuat dalam antologi Indonesia-Malaysia “Titian Laut” (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1984). Buku lainnya adalah, “Kiat Menulis Cerpen” (Angkasa, Bandung, 1999, 2008); “Menulis Kreatif” (UNP Press, Padang, 2009). Kumpulan puisinya, “Lagu Sederhana Merdeka (Yayasan Indonesia, Jakarta, 1978); dan cerita anak-anaknya “Bendera Kertas dan Daun Jati” (Ilemandiri, Jakarta, 1999)