Oleh: Darman Moenir
Seperti diberitakan Singgalang (3/3, halaman B-13), Walikota H. Mahyeldi Ansharullah, S.P., Datuak Marajo akan mendata warga Kota Padang yang memiliki penghasilan berlebih. “Kalau biasanya warga kurang mampu yang kita data, besok tidak lagi. Justru orang kaya yang kita data.”
Mengesankan!
Mahyeldi yang menjalani masa kecil dan sekolah di Bukittinggi punya ide cerdas. Ia adalah kakak dari enam adiknya, lahir dari keluarga sederhana dengan ayah yang bekerja sebagai buruh angkat. Mahyeldi harus bekerja keras untuk mendapatkan uang sejak masih kelas tiga SD. Ia sekolah sambil menjajakan kue milik orang lain, menjual ikan di pasar, dan berjualan koran.
Dengan latar pernah menderita, kemudian Mahyeldi mungkin sempat menghayati penderitaan itu. Mahyeldi juga punya pemahaman dan tindak beragama yang konkret dan taat. Mahyeldi lantas (terpilih) menjadi walikota. Dengan (tangan dan pikiran) dingin dia menjalankan obsesi dan keinginan-keinginannya bila menjadi walikota. Betapa lagi selama satu periode (lima tahun), dengan Walikota Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si., Mahyeldi pernah menjadi Wakil Walikota Padang.
orang kaya padang Darman MoenirMendata orang kaya, ini adalah satu di antara sejumlah kerja mengesankan yang dilakukan Pemda Padang dengan konduktur (saya pakai istilah musik, menggantikan diksi komando) Mahyeldi Ansharullah. Penataan dan pemilihan SDM (sumber daya manusia) ASN (aparat sipil negara) melalui lelang jabatan, peningkatan disiplin kerja (ada kantor camat yang “menghapus” jam istirahat), pemberian santunan kepada warga yang wafat (sekarang tidak lagi?), penertiban PKL (pedagang kaki lima), terutama di Pantai Padang sehingga taplaw (tapi lawik, pinggir laut) itu kembali alami, pengurangan untuk selanjutnya penghapusan pelacuran alias praktik prostitusi seksual, penangkapan pemakai narkoba, adalah beberapa contoh kerja positif, sangat bernilai positif, yang dilakukan Walikota Mahyeldi dengan Wakil Walikota Ir. H. Emzalmi, M.Si. Tentu saja tidak mungkin diabaikan ribuan ASN yang setiap hari mengabdi di Pemko Padang. Betapa lagi, partisipasi sebagian besar warga juga hebat.
Kini, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, bersama instansi terkait (pajak, pendapatan), camat dan lurah, harus kerja keras dan mati-matian untuk merumuskan format kaya, setengah kaya, dan tidak kaya alias miskin warga. Kepala DKCS diminta segera murumuskan dan mengonkretkan keinginan walikota.
Apa ukuran setengah kaya, sering disebut kelas menengah, seorang warga? Apakah patokan mesti diambil dari kekayaan orang terkaya di Indonesia (urutan 141 dunia), R. Budi Hartono (Forbes 2/3/16)? Kekayaan Hartono US$8,1 miliar (Rp105,3 triliun). Tidak mungkin tolok ukur dipatok dari orang terkaya di Indonesia. Ini seperti siang dengan malam, seperti permukaan bumi dengan tingkat langit ke tujuh: amat sangat jauh. Cari dan temukan saja orang terkaya di Kota Padang. Umumkan, dan patokan dimulai dari sini. (Baca juga Orang Terkaya Di Dunia dan Indonesia)
Namun, ya, bagaimana?
Mungkinkah satu keluarga yang sudah punya satu rumah pribadi dengan satu kendaraan roda empat, dua kendaraan roda dua, dan sekali enam bulan berlibur ke luar Kota Padang, disebut kaya atau setengah kaya? Patutkah kemacetan lalu-lintas di kota sebagai akibat jumlah kendaraan bermesin yang kian hari kian membanyak dijadikan indikator, bahwa warga kota sudah kaya? Pada tempatnyakah untuk menyebut antrean bertahun-tahun untuk mendapatkan giliran naik haji adalah ukuran, bahwa sesungguhnya sebagian besar warga sudah berpenghasilan memadai?
Lalu, bagaimana pula mengukur kaya atau tidak kaya seorang ASN? Pada eselon, pangkat, ijazah, lama dinas, atau “kesuksesan” melakukan kerja sampingan di luar jam dinas? Pada sertifikasi untuk dosen dan guru? Ada, memang, pejabat yang di rumah beternak lele, jadi supir ojek, berjualan kue-kue. (Di sini tidak dibicarakan pejabat yang bergelimang, dulu disebut, proyek. Juga tidak dibicarakan eksekutor, legislator dan pejabat yang koruptif.) Bagaimana mengukur kekayaan orang-orang yang bekerja di bank, BUMN, TNI, Polri? Bagaimana menghitung kekayaan gubernur yang punya KTP Padang, walikota, camat, lurah, direktur, rektor, Kepala SKPD, pengusaha tambang, pemilik hotel, tuan tanah, wartawan, sastrawan, seniman, nelayan?
Mengukur kekayaan seorang warga bukan tidak mungkin. Tetapi untuk mengukur itu memang diperlukan kriteria, patokan, atau apa pun rumusnya.
Dengan terdata sebutlah 10.000 (sepuluh seribu) orang kaya di antara hampir sejuta warga Kota Padang, lalu Pak Mahyeldi bisa mengabil kebijakan dan kebijaksanaan yang berada di koridor hukum. Pengumpulan pajak secara lebih rasional dan proporsional menjadi mungkin. Kepada warga yang beragama Islam, tentu pemberian/pembayaran zakat bisa lebih operasional. Dan orang-orang kaya itu mudah-mudahan (sebagian, selama ini selalu) bermurah hati untuk memberikan sumbangan, memberikan sedekah, kepada orang miskin.
Bukan maksudku mau berbagi nasib, tulis panyair.
Dengan demikian terjadi sinergi positif antarwarga: pemerintah mendorong dan memotivasi.
Tentu saja sungguh-sungguh tidak pada tempatnya bila orang-orang kaya yang sudah terdata itu dijadikan bilik ATM oleh siapa pun. Apalagi oleh Walikota Padang.Tahniah, Pak Mahyeldi! (***)(Dimuat Singgalang, Sabtu, 5 Maret 2016)