Oleh : Dasril Ahmad
Untuk pedoman bagi anda, beberapa kiat menulis cerita pendek yang saya lakukan selama ini adalah sebagai berikut.
1. Paragraf Pertama
Paragraf pertama ini merupakan etalase sebuah cerpen. Bagi anda yang punya minat menulis, pasti punya minat membaca. Kalau kita tertarik menulis, itu konsekuensinya kita tertarik juga untuk membaca karangan orang lain. Ketika sebuah karangan disodorkan kepada kita, ketika paragraf pertamanya kita baca, lantas tidak menarik, maka besar kemungkinkan kita tidak akan melanjutkan membacanya. Hal itu disebabkan mungkin karena paragraf pertama itu terlalu biasa (klise), atau terkesan menggurui pembaca dengan falsafah-falsafah basi dan tidak mengundang selera. Jadi, paragraf pertama itu betul-betul seperti etalase toko, dan sebagai kunci pembuka.
Dikatakan sebagai etalase sebuah toko, karena daya tarik sebuah toko terletak di balik kaca depannya itu yang mamajang barang-barang contoh yang menggiurkan pembeli. Sebagai kunci, paragraf pertama harus dapat segera membuka pintu sehingga segera pula dapat ditelusuri benda apa yang menarik di dalam sebuah rumah. Sedangkan paragraf berikutnya adalah kunci-kunci berikutnya untuk membuka ruang-ruang yang tidak sama (monoton), tapi saling bersentuhan satu sama lainnya hingga memberikan kesan yang utuh.
Sekarang kita lihat paragraf pertama cerpen “Sudah Dua Tahun” karya Tina Savitri yang sudah berada di tangan anda itu. Cerpenis Tina Savitri ini, waktu dia menulis cerpen tersebut juga masih mahasiswa, sama seperti anda sekarang. Jadi kumpulan cerpen yang ditulis mahasiswa UI semester 7 itu, selama beberapa tahun dikumpulkan oleh dosennya, dipilih , lalu diterbitkan jadi buku. Nama bukunya “Jejak Langkah Anak Kampus”. Mungkin ada di antara anda yang sudah pernah membacanya. Jadi pelatihan menulis cerpen ini termasuk dalam kurikulum menulis populer namanya. Nah, paragraf pertama cerpen Tina Savitri ini cukup penarik, yakni sebagai berikut.
“Pagi-pagi dia sudah menyambutku dengan seikat mawar putih dan kuning. Dan kami berpandangan. Sepasang mata yang sudah amat ku kenal itu berbinar-binar, penuh kasih. Aku tersipu-sipu. Jantungku berdegup kencang. Perasaan seperti ini hampir tak pernah lagi kurasakan akhir-akhir ini, sejak aku mulai pacaran dengannya dua tahun silam.”
Ada yang menarik pada paragraf pertama cerpen Tina Savitri di atas. Karena, biasanya orang kalau menulis kisah-kisah cinta, kisah-kisah remaja ini selalu rasa senang, atau rasa yang indah-indah yang diungkapkan. Tetapi tidak demikian dengan Tina Savitri. Pada kalimat terakhir ia mengatakan, “Perasaan seperti ini hampir tak pernah lagi kurasakan akhir-akhir ini, sejak aku mulai pacaran dengannya dua tahun silam.” Jadi ada kebosanan. Kita bandingkan dengan cerpen-cerpen yang ditulis oleh para pemula, para remaja, yang justru mengungkapkan suasana sebaliknya. Misalnya, “Pagi indah sekali. Burung-burung berkicauan. Langit cerah. Aku terbangun pagi itu dengan perasaan yang nyaman.” Sekali-sekali buatlah hal-hal yang mengejutkan orang lain. Misalnya, “Langit cerah, tapi asap membubung di sana. Tampaknya seperti ada yang terbakar.” Jadi ada kejutan. Atau, “Ketika aku terbangun padi tadi, aku ingin masuk penjara.” Artinya, kita berusaha mengantarkan pembaca pada sesuatu yang membuat ia tersentak untuk terus membacanya.
Tapi kalau hal-hal yang biasa dan yang ideal saja kita ceritakan pada paragraf pertama, tentu tidak mengantarkan pembaca pada suatu persoalan yang unik. Unik artinya tidak ada duanya. Mungkin ada duanya, tapi belum pernah ditulis orang. Saya pernah menulis cerpen pada tahun 1980-an dengan paragraf pertamanya begini: “Ketika terbangun pagi, lelaki itu ingin masuk penjara.” Saya sudah langsung mengantarkan pembaca bahwa lelaki itu koruptor sebetulnya. Tapi dalam batinnya ada rasa menyesal bahwa dia punya dosa besar. Jadi, di paragraf pertama ini, pembaca sudah kita antarkan dengan permasalahan sedikit.
Kita lanjutkan pada paragraf kedua cerpen karya Tina Savitri tersebut, begini: “Yang pasti, ini bukan apa yang disebut cinta pada pandangan pertama. Sebelum pacaran dengannya, aku sudah cukup baik mengenalnya, tanpa perasaan istimewa sedikit pun. Karena, dia pun tidak istimewa. Mana ada cowok sastra yang istimewa. Kalau tidak aneh bak seniman tanggung, tentu agak feminimlah. Untunglah dia termasuk kategori yang pertama. Tak apa-apalah.”
Kalau kita menulis cerpen ‘kan ndak begitu, langsung perasaan istimewa pada seseorang itu yang kita ungkapkan. Tapi Tina Savitri ini ndak. Dia mulai dengan perasaan tidak ada apa-apa. Di sana terasa nilai barunya. Padahal masalahnya itu-itu juga ‘kan? Masalah kita ‘kan ndak ada yang baru, tapi karena dia menyikapi secara kreatif, sadar betul bahwa mencipta itu ada sesuatu yang baru, maka dia mengatakan tidak punya perasaan istimewa sedikit pun, karena dia pun tidak istimewa. Lagi pula, dia tidak mengatakan bahwa pacarnya itu gagah, cuma tidak istimewa. Hal ini wajar, karena cerpen tidaklah menghendaki kewajaran.
Jadi, anggaplah kita itu mengongeng. Bercerita itu ‘kan mendongeng. Waktu kecil kita didongengkan ibu kita yang aneh-aneh. Yang baru, tapi kita bercaya. Kenapa kita percaya? Karena ibu kita menceritakan sesuatu itu runtut dan punya kausalitas, punya sebab-akibat. Mengapa kancil selalu dikejar hariman? Karena kancil nakal pada hariman. Kenapa kancil nakal pada harimau? Karena harimau selalu memangsa kancil. Jadi ada kausalitasnya, hubungan timbal-baliknya. Itu kita percaya, meskipun sebenarnya itu tidak pernah terjadi, tapi seakan-akan pernah terjadi.
Dalam cerpen, persoalan yang kita tulis mungkin tidak pernah terjadi, tapi seakan-akan terjadi. Begitu juga, kalau dia pernah terjadi ditulis seperti tidak pernah terjadi. Misalnya kisah nyata yang kita tulis, ndak juga percaya orang. Kenapa? Karena kita tidak menguasai teknik bagaimana menceritakannya. Kalau hal-hal nyata kita ceritakan sebagaimana adanya, dia tidak lagi menjadi fiksi, melainkan jadi laporan jurnalistik. Tapi kalau laporan jurnalistik kita beri fiksi, dia bisa jadi cerpen, dan bisa juga menjadi news-story, feature. Akan tetapi harus hati-hati, feature yang dimaksudkan dalam news-story atau berita yang bercerita itu tidaklah fiksi sebagaimana yang dikehendaki oleh prosa-fiksi. Ia sebetulnya tidak fiksi, karena ada opini di dalamnya. Misalnya, untuk mengatakan bahwa seseorang jelek dan bagus. Itu ‘kan opini. Kita mengatakan seseorang cantik, itu ‘kan opini kita. Sementara orang lain belum tentu mengatakannya begitu. *** (Bersambung ke: Sangat Penting Mempertimbangkan Pembaca : Mencatat “Kiat Menulis Cerpen” Harris Effendi Thahar ).
*) Tulisan ini telah pernah dimuat di ruangan Budaya Minggu Ini, Harian Haluan, Padang, edisi Selasa, 16 Pebruari 1999, halaman VII.