Oleh : Dasril Ahmad
Kalau kita menulis cerpen itu untuk diri kita sendiri, ya, ndak perlu dipertimbangkan pembaca. Misalnya menulis di buku harian, tulis sajalah apa yang mau ditulis. Tulis sepuluh kali aku kesal, aku kesal, misalnya, ndak ada orang yang marah. Akan tetapi, kalau kita mempertimbangkan menulis itu untuk dibaca orang lain, berarti kita memproduksi barang yang nanti konsumennya itu adalah pembaca. Barang yang tidak baru dan bermutu rendah, sebaiknya tidak usah disuguhkan kepada pembeli (pembaca). Namun kalau kita sedang belajar, ndak apalah kita mencoba-coba. Entah kelak orang suka. Tapi kita pasti sudah mempertimbangkan bahwa orang akan membacanya.
Saya masih ingat ketika pertama kali (tahun 1971) saya menulis cerpen dan saya kirim diam-diam ke surat kabar Aman Makmur. Cerpen saya itu dimuat pada hari Minggu. Jadi waktu pulang naik oplet, saya melihat orang membaca cerpen itu di atas oplet. Hati saya waktu itu gedebak-gedebur. Orang itu senang ndak dengan cerpen saya itu. Tampaknya dia membaca terus. Pingin sekali rasanya saya menanyakan sama dia, “Bagaimana bu? (perempuan, ya), bagus ndak ceritanya?” Mau saya bertanya begitu, tapi saya malu. Saya diam saja. Terus pada kesempatan lain, saya lihat koran itu dijadikan orang untuk membungkus cabe. Dia membeli cabe di pasar, dibungkusnya dengan koran yang berisi cerpen saya. Perasaan saya tiba-tiba jadi down, jatuh. Ternyata yang saya tulis itu cuma untuk pembungkus cabe, karena ndak ada yang baca. Mungkin sebelumnya ada orang yang membacanya. Tapi begitulah hakekatnya. Kalau dia menarik dibaca orang, akan banyak orang yang baca. Kalau cerpen itu tidak menarik, dia akan jadi pembungkus kacang atau cabe, tanpa dibaca sebelumnya, terus saja dijual ke loak dan dibungkuskan ke barang. Itu hakikat sastra koran. Kalau sastra buku, begitu terbit buku itu berdebu di almari buku, dan tidak terjual di toko buku. Cobalah anda lihat buku puisi yang ditulis orang, bertahun-tahun ndak ada orang yang menyentuh, karena orang memang tidak tertarik.
Kalau cerita itu cerita pendek, maka persoalan pokoknya cuma satu. Kalau cerita itu novel, persoalannya banyak. Persoalan-persoalannya itu berangkai-rangkai. Jadi, untuk mengungkapkan satu persoalan saja dalam batas yang relatif singkat, mungkin dalam 5 sampai 10 halaman kertas quarto, kita harus membatasi keinginan kita dalam menulis cerpen. Paragraf ini, ini yang dikemukakan. Paragraf ini, ini lagi yang dikemukakan. Nanti, klimaksnya di sini, dan langsung penutup. Dengan demikian, alur ceritanya terjaga. Artinya, tidak semuanya yang kita ceritakan. Yang penting-penting saja yang kita ceritakan. Maksudnya, penggalan-penggalan itu kita rem-remlah. Kalau yang satu ini sudah tahu orang, bagian itu tak usah kita ceritakan lagi. Kalau pada bagian ini sudah kita ceritakan, pada bagian bawah ndak perlu diceritakan lagi. Tapi ada memang hal-hal yang perlu kita kemukakan berulang-ulang dengan maksud untuk membuat jebakan atau kesan.
Misalnya, lelaki berkumis dan suka tersenyum itu, berulang kali kita sebut. Lelaki berkumis yang tidak suka tersenyum itu. Jadi ada dua lelaki, yang satu berkumis suka tersenyum, dan yang satu lagi berkumis tidak suka tersenyum. Ini kita sebut berulang-ulang. Memang, kadang-kadang pembaca bosan juga, tapi sebetulnya tujuan kita memang ingin membuat pembaca itu sebal, tapi pingin terus membacanya. Akan tetapi, kalau cuma untuk menceritakan suatu peristiwa saja sudah terlalu panjang, maka cerita yang sebetulnya bagus akan hilang puncaknya/klimaksnya.
3.Menguasai Bahasa
Kemampuan berbahasa seorang pengarang melebihi kemampuan berbahasa rata-rata orang awam. Itu jelas. Kalau tukang ota kosa-katanya terbatas, sedangkan yang diotanya itu orang yang kosakatanya banyak, ndak laku dia. Tukang dendang atau tukang kaba di kampung-kampung itu (sastrawan lisan itu), penguasaan bahasanya bagus sekali. Pengetahuannya secara utuh juga luas sekali. Cobalah kita dengar tukang dendang, semua hari pasar tahu dia. Misalnya didendangkannya, “Salasa balainyo Lubuak Alung.” Kita saja ndak tahu kapan hari pasar di Lubuk Alung itu. Kemudian, “Padang Panjang balainyo Jumat”. Tahu dia kalau hari pasar di Padang Panjang adalah hari Jumat. Banyak pengetahuannya tukang dendang itu, karena penguasaan bahasanya juga bagus.
Nah, seorang pengarang mau tidak mau harus menguasai bahasa sebaik-baiknya, dan yang paling penting adalah menguasai bahasa untuk mengarang sastra tulis, tatacara bahasa tulis harus dikuasai betul. Artinya, kapan kita menggunakan tanda baca titik, dan kapan menggunakan tanda baca koma yang betul menurut kaidahnya, harus telah dikuasai. Sebab, kalau menggunakan bahasa tidak bersistem, maka bahasa itu akan kacau. Malah, para sarjana pun banyak yang kacau bahasanya. Mereka tidak bisa membedakan, misalnya penulisan /di/ dan /ke/ sebagai kata depan dan sebagai awalan. Kalau awalan dia lengket dan kalau kata depan dia terpisah.
Kemudian mana yang dikatakan satu kalimat? Apakah karena sudah terlalu panjang, itu sudah kalimat? Apakah karena masih pendek dikatakan tidak kalimat? Misalnya begini, “Tempat berwudhuk laki-laki yang muslim di sebelah kiri masuk samping gang ini.” Panjang ‘kan? Tapi itu tidak kalimat, baru klausa. Hal seperti ini sering ditemui, sudah panjang lalu diberi titik. Padahal dia belum kalimat. Kita harus sudah menguasai betul satu paragraf. Artinya apa, satu paragraf adalah satu pokok pikiran. Kalau sudah harus berpindah, pindah lagi ke paragraf baru. Juga harus dikuasai bahwa sesudah tanda koma, lanjutannya dijarakkan satu ketukan, dan sesudah tanda titik dijarakkan dua ketukan mesin tik.
Saya katakan tadi bahwa bagi seorang pengarang bahasanya harus melebihi kemampuan rata-rata bahasa orang awam. Artinya dengan konsekuensi dia harus banyak membaca. Bagi orang awam kegiatan membaca adalah kegiatan pasif. Sedangkan bagi (calon) pengarang kegiatan membaca adalah kegiatan aktif. Kita pilih bacaan kita sesuai dengan keinginan dan tujuan kita membaca itu. Misalnya, untuk mempelajari bahasanya, kalimatnya, temanya, teknik mengarang dan diksinya. Jadi kita membaca itu aktif. Dalam hal ini, kita tidak terpusat hanya kepada apa yang diceritakannya, tapi kita juga terpusat bagaimana dia menceritakan. Itu proses membaca calon pengarang. *** (Bersambung ke : Mencatat “Kiat Menulis Cerpen” Harris Effendi Thahar: Menghidupkan Tokoh dan Fokus Cerita ).
• Dicatat dari ceramah pengarang Harris Effendi Thahar tentang “Kiat Menulis Cerpen”, disampaikan dalam Pelatihan Menulis Cerpen di Studio Sastra Arab dan Islam, Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Sabtu, 12 Desember 1998 lalu.
• Tulisan ini telah pernah dimuat di Ruangan Budaya Minggu Ini (BMI) Harian Haluan, Padang, edisi Selasa, 16 Pebruari 1999, halaman VII