Fasal 1.1. Asal Adat
Asal Adat itu dari pada Tuhan Seru Sekalian Alam, yaitu lembaga yang diturunkan Allah, Patut dari pada Jibril As. Adat (tuntunan prilaku, akhlak) dari Muhammad, dan Nur itu kejadian sekalian alam. Semua berada pada sisi Iman, Islam, Tauhid, dan Makrifat. Bahwa Adat itu berdiri di atas alam, yang dikatakan lembaga ialah yang pertama dijadikan Tuhan. Karena itu terbagilah Adat itu atas tiga perkara :
1.1.a. Adat Muthlak,1.1.b. Adat Mukayyat, dan1.1.c. Adat Muthanik.1.1.a. Adat MuthlakYang dikatakan adat muthlak yakni wajib bagi kita mengetahuinya dan tidak wajib memakainya, yaitu Adatullah, Sunatullah, yakni hukum-hukum alam semesta. Sang Khaliqul Alam yang kuasa menciptakan, mengadakan, menghidupkan, mewujudkan, membentuk, membangun, merusak dan menghancurkannya, yang kuasa meniadakan yang hidup kepada yang mati. Wajib kita ketahui dengan aqaidah, yakni pakaian atau sifat nan badiri ateh dzat Tuhan, ialah sifat-sifat-Nya yang Duapuluh, supaya iktiqad jangan tersalah.
1.1.b. Adat Mukayyat
Yang dikatakan adat mukayyat, wajib kita mengetahuinya dan wajib pula kita memakainya, yaitu adat dan adab yang diterima dari Rasul Allah, (Sunnah Rasul) yang sampai sekarang dike nal sebagai pusaka yang diwariskan Nabi Muhammad Saw. Beru pa Al-Qur’an dan Sunnah-Nya. Diwajibkan untuk mempelajari setinggi-tingginya, seluas-luasnya Dan sekiranya tidak mampu, wajib mempelajari hukum-hukum pelaksanaan syariat yang ber kenaan dengan tugas dan kewajiban sehari-hari, sebagai seorang penganut agama Islam yang taat. Dan seburuk-buruknya kaji tidak dicampuri yang haram dan makruh, ialah adat Islamiyah berupa aturan adat dan sebagai bimbingan dalam melaksanakan ibadah dan amal-amal saleh berdasarkan syariat agama Islam, sesuai dengan aturan yang diuraikan dalam kitab Ushul Fiqih, Tauhid dan Tasawuf seperti rukun Islam, rukun Iman, dan lain-lain untuk kepentingan syarat sahnya beragama Islam. (lihat juga : Cupak Usali dan Cupak Buatan)
1.1.c. Adat Muthanik
Yang dikatakan adat muthanik, ialah adat yang tergagah, adat yang memiliki kekuatan, adat nan kawi, sebaik-baiknya hingga yang harus. Dan seburuk-buruknya dicampuri haram dan makruh. Adat ini diterima dari empat orang niniek pendiri Adat Alam Minangkabau yakni niniek Datuk Katumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sebatang, Datuk Sari Maharajo Nan Banego-nego, dan Datuk Suri Dirajo. Yang terakhir ini adalah mamak kan dung dari ketiga tokoh datuk bersaudara di atas.
Adat ini telah diperturun dipernaikkan (dipakai dan terpakai) dalam Laras Nan Duo dan Luak Nan Tigo di Alam Minangkabau dari masa ke masa sejak dahulu sampai sekarang kini, sehingga timbul berbagai “langgam adat” dengan penafsiran yang bercampur aduk, antara penafsiran tersurat dengan tersirat, sampai kepada hal-hal yang tersuruk. Diperturun dipernaikkan, artinya diperbincangkan, dipakatoan, diajarkan, disampaikan untuk diamalkan dalam kehidupan, menjadi Adat Alam Minangkabau (AAM). ( Lihat juga: Sandi Adat :
Karena itu selalu muncul hujah dalam pengkajian nilai-nilainya. Bagi yang belum paham biasa timbul perdebatan bahkan dapat memancing emosi yang pada gilirannya bermuara kepada konflik. Apabila tidak terkendali bisa-bisa menimbulkan konflik berkepanjangan, apa lagi bila “yang tersuruk” diperbincangkan secara “terbuka”. Kemudian dalam rentangan pancaroba dan tantangan zaman global yang panjang, adat itu masih dan terus saja sama-sama dipakai dan terpakai dengan “bersalah-salahan”, sampai sekarang ini. (Catatan: Tuanku Mudo H Emral Djamal Dt Rajo Mudo)