Catatan: Dasril Ahmad
Menulis sejarah jelas berbeda dengan menulis karya sastra, seperti cerpen dan novel, yang bisa sesuka hati penulis menampilkan berbagai peristiwa dan watak tokoh-tokohnya secara imajinatif. Tetapi untuk karya sejarah tidaklah demikian. Kunci penelitian dan penulisan sejarah adalah dokumen. Penulisan sejarah harus tunduk pada dokumen masa lampau yang ditemukan waktu kita melakukan penelitian.
Demikian antara lain dikemukakan sejarawan yang juga dosen ilmu sejarah di FIB Unand, Padang, Dr. Wannofri Samry, ketika tampil menyajikan materi tentang “Penulisan Sejarah” di depan 30 peserta “Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah-2016”, yang digelar Direktorat Sejarah Kemendikbud RI, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar, di Padang, Rabu (11/5).
Menurut Wannofri, setiap masa lampau adalah sejarah. Menulis sejarah adalah menulis sesuatu yang berkesan di masa lampau, terutama kesan yang ada dan tinggal dalam memori masyarakat; kesan yang berpengaruh luas terhadap kehidupan di tengah masyarakat tersebut, bukan semata kesan yang (hanya) tinggal dalam memori pribadi. Jadi, setiap peneliti dan penulis sejarah harus tahu batas-batas masalah apa yang pantas diteliti dan ditulis sebagai karya sejarah, yang bersumber dari dokumen masa lampau itu.
Baca juga: Kalimat Efektif Mutlak Dalam Penulisan Sejarah
Oleh karena itu, tambah Wannofri Samry yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar ini, setiap penulisan sejarah mempunyai fungsi tersendiri sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, malah sejarah dapat juga dipandang sebagai medium dialog masyarakat masa lalu dan masyarakat sekarang. Hal ini juga terkait dengan studi sejarah yaitu studi mengenai perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dalam lintasan waktu. Dalam hal ini, metodologi dan sumber/dokumen, termasuk sumber bacaan sangat penting, karena akan menentukan kualitas dari penulisan karya sejarah tersebut.
Wannofri menegaskan bahwa posisi penulisan sejarah (historiografi) dalam metodologi sejarah sangatlah penting, yakni sebagai puncak karya sejarah, setelah sebelumnya melalui metode heuristik (menemukan sumber), kritik sejarah, dan interpretasi. “Namun perlu diingat, interpretasi dalam metode sejarah bukanlah imajinasi, tetapi harus menghubungkan satu sumber dengan sumber yang lain. Jangan melakukan interpretasi mengada-ada, tapi harus tunduk kepada sumber/dokumen yang ada. Artinya kita mesti mengungkapkan fakta sejarah secara objektif, apa adanya,” ujar sejarawan yang juga penyair dengan buku puisinya “Menunggu Matahari” (2010) ini.
Lebih jauh sejarawan kelahiran Payakumbuh, Sumbar, pada 28 Nopember 1967 ini menyatakan bahwa setiap zaman dapat saja melahirkan corak penulisan sejarah yang berbeda, tapi yang menentukan bobot penulisan sejarah itu adalah sumber/dokumen yang kita gunakan, dan cara pemilihan sumber tersebut. “Namun, corak/model penulisan kita terkadang juga ditentukan oleh pandangan-pandangan kita terhadap masyarakat itu sendiri, yang juga dapat memperkaya tulisan kita,” tuturnya. *** (Padang, 18 Mei 2016)