Oleh: Dr. Badrul Mustafa. DEA
Beberapa hari belakangan ini gencar pemberitaan dan pembicaraan tentang seorang guru yang dihukum penjara gara-gara mencubit seorang anak muridnya. Di media massa, terutama medsos, pembicaraan lebih banyak berpihak kepada si guru dan menyayangkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kuat dugaan saya, apa yang dilakukan si guru adalah dalam rangka pendidikan kepada murid-muridnya, yang merupakan bagian dari pendidikan karakter.
Namun barangkali saja ada yang menilai bahwa apa yang dilakukan si guru sebagai sebuah metode, adalah salah. Meskipun demikian, ganjaran yang diterima si guru yakni penjara, menurut saya sangat berlebihan. Istilah anak-anak sekarang (istilah gaul): "lebai".
Pola Zaman Dulu dan Sekarang
Di zaman dulu, sebelum tahun 1980-an, banyak guru (juga guru mengaji) menghukum muridnya yang melakukan kesalahan, dengan misalnya: berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat satu, dipukul pakai penggaris atau rotan, serta cubitan. Selama itu tidak pernah ada masalah. Artinya aman-aman saja, baik bagi murid maupun orangtua. Bahkan bila si anak yang kena hukum di sekolah mengadu kepada orangtuanya, atau dilaporkan oleh temannya kepada orangtuanya, si anak malah mendapat hukuman lagi dari orangtuanya. Bagi orangtua, apabila anaknya mendapat hukuman di sekolah, dianggap anaknya membuat malu orangtuanya sendiri. Dianggap si anak tidak menghargai orangtuanya sendiri. Sebab, ketika si anak dimasukkan ke sebuah sekolah oleh orangtuanya, kepada si anak dipesankan agar menghargai guru-gurunya. Diingatkan oleh orangtuanya bahwa guru di sekolah sama dengan orangtuanya yang harus dihormatinya. Melawan atau membangkang kepada guru berarti juga melawan orangtua sendiri.
Waktu berlalu.....
Terjadilah perubahan besar. Akhir tahun 1970-an di sebuah sekolah di pulau Jawa terjadi peristiwa seorang aparat mendatangi sebuah sekolah dan langsung menuju kelas anaknya. Si Bapak aparat ini marah-marah kepada si guru, kemudian ia mengeluarkan senjata dan menembakannya ke loteng kelas. Si Bapak ini mendatangi sekolah setelah mendapat laporan dari anaknya bahwa ia dihukum oleh gurunya.
Di sekolah lainnya ada pula kejadian, seorang guru didatangi oleh seorang Bapak yang anaknya dihukum dengan marah-marah sambil berkata dan tidak terima anaknya dihukum :"Jangan coba-coba memarahi anak saya. Anda tidak ikut memberi makan dia kan??"
Baca juga: Prilaku Anak: Kepedulian Pada Keluarga
Kejadian seperti ini berdampak kepada hilangnya wibawa guru di depan murid-muridnya. Akibat selanjutnya, si guru menjadi apatis. Ia tidak mau lagi menghukum murid-muridnya yang sangat nakal/bandel. Maka banyaklah pelajar yang berkarakter kurang bagus. Selanjutnya, anak-anak di periode ini ketika menjadi guru ada yang tidak menjalankan fungsinya sebagai pendidik yang membangun karakter anak bangsa. Ia hanya melaksanakan fungsi sebagai pengajar. Bukan pendidik.
Kalau kita dengar berita ada beberapa guru yang melakukan pelecehan atau pencabulan kepada murid-muridnya, apakah ini ada hubungannya dengan pergeseran yang terjadi sejak sekitar tahun 1970-an itu??
Beginilah potret masyarakat kita saat ini. Diperlukan upaya yang besar dan serius untuk mengembalikan jati diri bangsa kita melalui pendidikan yang berkarakter seperti dulu. ***
Baja juga: Sebuah Esai Tentang Pendidikan: Agar Guru tidak Menjadi Agar-agar