Sejarahwan Indonesia yang juga guru besar ilmu sejarah Universitas Andalas, Padang, Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan menyatakan, telah ada semacam ketidakpercayaan terhadap sejarah nasional. Kajian-kajian historiografi yang muncul di beberapa daerah membuktikan betapa banyaknya hasil penelitian, penulisan dan publikasi sejarah lokal yang dilakukan oleh pemerintah daerah di era reformasi ini.
“Penelitian dan penulisan sejarah lokal betul-betul mendapat tempat dan booming pada saat sekarang, di era reformasi ini, era yang oleh sebagian pengamat disebut dengan zaman penguasa lokal (raja-raja lokal). Malah ada daerah yang melakukan lebih 1.000 hasil penelitian, penulisan, dan publikasi sejarah lokalnya sejak tahun 1999,” ungkap Gusti Asnan di depan 30 peserta “Bimbingan Teknis Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan bagi Penulis Sejarah – 2016” yang ditaja Direktorat Sejarah, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud RI, bekerja sama dengan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumbar, di Padang, Rabu (11/5).
Hingga sekarang pun, tambah Gusti, penelitian dan penulisan sejarah lokal masih menjadi prioritas oleh banyak daerah atau kepala daerah. Ironisnya, setiap pergantian kepala daerah berganti pula penulisan sejarah lokalnya. Hal ini tak diherankan, karena penelitian, dan penulisan sejarah lokal itu “disponsori” oleh pemerintah daerah. Malah, topik atau tema penelitian ada yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Kita bekerja atas izin dan dikontrol oleh pemerintah daerah, sehingga ada tema/topik tertentu yang tidak boleh diteliti. “Kalau tidak ikut “kebijakan” pemerintah daerah maka penelitian tidak disetujui, tidak diberi dana, dan bahkan tidak diizinkan pelaksanaan penelitiannya,” jelas putra Lubuk Sikaping, Pasaman, Sumbar, kelahiran 12 Agustus 1962 ini memelas.
Baca juga: Penulisan Sejarah Harus Tunduk Pada Dokumen
Justru itu, tidaklah diherankan, jika dari segi corak penulisan sejarah lokal yang tengah booming itu, Gusti Asnan menilai masih bersifat daerah sentris, yang dalam kadar tertentu bersifat disintegratif. Ia menyebutkan contoh penulisan sejarah lokal Riau dalam buku “Membentuk Provinsi Riau” (2000), yang dalam banyak narasi dinyatakan bahwa Riau “hebat”, narasi yang membenturkan diri dengan pemerintah pusat dan Sumatera Barat, Melayunisasi Riau! Begitu juga, penulisan buku sejarah Rao dalam buku “Sejarah Rao” (2003) muncul narasi yang melihat (dan menyatakan) bahwa Rao bukan bagian dari daerah Minangkabau, Rao lebih tua dari Minangkabau. Ini semua, menurut Gusti, ditulis untuk tujuan kepentingan politik, seperti pengusulan pemekaran wilayah, penempatan/legitimasi daerah dalam sejarah, legitimasi etnis/keluarga masyarakat tertentu dalam sejarah. “Memang, tidak ada penulisan sejarah yang objektif seratus persen, selalu ada unsur subjektif yang menonjol untuk kepentingan-kepentingan tertentu,” tegasnya.
Namun demikian, menurut Gusti Asnan, pemerintah pusat pun selalu mendukung dan mengapresiasi kegiatan-kegiatan penelitian, penulisan serta publikasi sejarah lokal tersebut. Beberapa waktu belakangan, misalnya, pemerintah pusat mengadakan kegiatan Lomba Karya Tulis Sejarah (LKTS), dan Lomba Penulisan Buku Sejarah Lokal. “Ini merupakan kesempatan besar bagi sejarawan untuk berperan serta, namun haruslah dengan pemahaman (sejarah) yang utuh,” ujar penyusun buku “Kamus Sejarah Minangkabau” (2003) ini optimistis.
Lebih jauh tentang pengertian sejarah lokal, Gusti Asnan yang meraih gelar Doktor di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Bremen, Jerman, tahun 1998 ini sependapat dengan apa yang diajukan oleh Taufik Abdullah (2005 : 15), bahwa sejarah lokal adalah sejarah suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’ yang batasannya ditentukan oleh perjanjian yang diajukan oleh penulis sejarah, termasuk juga batasan spasial dari objek penelitian tersebut. Namun batasan spasial (daerah yang terbatas) itu juga sering diintervensi oleh elit lokal (kepala daerah), yang oleh sebagian pengamat dinamakan “raja-raja lokal”, elit atau pejabat yang “daerah-minded”.
Baca juga: Kalimat Efektif Mutlak Dalan Penulisan Sejarah
Kepada peserta Bimtek Penulis Sejarah 2016 ini, sejarawan Indonesia penulis buku “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera” (2007) ini mengingatkan, bahwa semakin sempit lokalitas penelitian yang kita lakukan, semakin baik hasilnya, karena sejarah kemunculan sejarah lokal ini memang diawali dari studi mengenai sebuah kampung. Dalam lokalitas yang sempit memberi kesempatan kepada kita untuk lebih dekat dengan objek. Namun, objek yang paling utama adalah manusia (warga) lokalitas yang dipilih, bukan hanya tokoh besar atau elit yang dikaji, tetapi manusia biasa yang bergumul dengan berbagai masalah keseharian. Begitu juga, peran sosial, politik, ekonomi, budaya (manusia biasa) yang diteliti itu, akan tampak bila spasial (lokalitas) kajian disempitkan. “Di saat booming-nya penulisan sejarah lokal ini, agar tak membosankan, perlu dilakukan rekonstruksi media penyajiannya dalam bentuk baru, seperti lewat film dokumenter, museum, historical site, novel sejarah, web-site dan lain sebagainya. Media sosial seperti internet sangat efektif sebagai rekonstruksi bentuk penyajian sejarah lokal tersebut dewasa ini,” paparnya. *** (Catatan: Dasril Ahmad, Padang, 17 Mai 2016)