“Enjoy your trip to Torino, Signor”, kata resepsionis hotel yang beralamat di Via A. Liri, 29, 16145, sesaat sebelum taksi membawa kami ke Genova Piazza Principe, stasiun kereta api utama kota Genova. Dalam 15 menit taksi pun sampai di stasiun. Dan kami minum kopi dengan croissant di kafe dalam kompleks stasiun terlebih dahulu sebelum menuju peron nomor 14 tempat kereta api yang akan membawa kami ke Torino akan datang dalam waktu 10 menit lagi.
Tepat pada pukul 08:05 kereta api IC 35502 yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Genova menuju Stasiun Torino Porta Nuova. Dalam bilik berkapasitas 6 orang, hanya ada kami berempat. Di luar cuaca cerah, dan ‘ular besi’ itu bergerak menjauhi pantai Laut Tengah. Perjalanan ke Torino memakan waktu 2 jam 37 menit. Berbeda dengan perjalanan kami ke Manaco, di sepanjang rute kereta kami ke Torino tak tampak lagi bibir-bibir pantai yang disaput laut biru.
Di luar jendela kereta, yang beberapa kali menjadi gelap karena memasuki terowongan, yang terlihat hanyalah hijau daun pepohonan dan bentangan ladang-ladang jagung, yang diselingi oleh rumah-rumah penduduk. Kereta kami melewati dan menyinggahi beberapa kota – Rigoroso, Alessandria, Solero, Felizzano, Asti, Monchallieri, Torino Lingotto, untuk sekedar menyebut beberapa nama – sebelum akhirnya berhenti di Stasiun Torino Porta Nuova.
“Arrividerci”, kata kondrektur kereta sebelum kami turun dan pergi ke luar stasiun. Di depan stasiun pusat informasi wisata dengan petugasnya yang ramah menyambut kami dan para pelancong lainnya yang ingin mengetahui informasi tentang wisata kota Torino.
Di zaman berburu Pokemon ini, kiranya tak begitu sulit mencari infomasi di internet mengenai kota yang sedang kami kunjungi ini. Torino atau Turin adalah salah satu kota bisnis dan kota budaya yang penting di wilayah Italia bagian utara. Leaflet wisata segera memberi tahu kami tentang tempat-tempat yang mesti dikunjungi: Piazza Castello, Palazzo Madama, Cappuccini, Piazza Carlo, Università di Torino (yang menjadi kesohor karena Azechia Marco Lombroso [1835-1909], si pencipta teori ‘Criminal Atavism’ yang terkenal itu), …..dan banyak lagi, serta tentunya juga Stadion Sepakbola FC Juventus yang gemanya sampai ke pinggir Kali Ciliwung.
Pemandu wisata elektronik di bus sightseeing menjelaskan semuanya dengan detail, menghadirkan bayangan jelas tentang sejarah kota Torino yang terbentang jauh. Satu hal penting yang dapat dicatat dari penjelasan yang disajikan dalam delapan bahasa itu adalah: bahwa setiap bangunan bersejarah yang kelihatan kokoh itu adalah refleksi dari kekuasaan ganti-berganti di masa lampau yang tak jarang memerintah dengan tirani dan tangan besi. Selebihnya adalah hasil karya para super kaya yang dengan uang dan kekuasaannya membangun rumah-rumah dan kastil-kastil mewah di kaki bukit di seberang Sungai Po (Po River) yang memisahkan pusat kota Torino dengan pinggir kota. Dengan kata lain, keagungan Eropa yang jejaknya masih dapat kita saksikan kini, yang menjadi objek-objek wisata yang mendatangkan dollar, yuan dan yen, adalah bayang-bayang dari penguasaan manusia atas manusia lain, yang bertahan berabad-abad dalam mitos-mitos yang direkayasa dan dipelihara dengan wacana dan pedang oleh golongan ‘darah biru’ yang datang dan pergi di sela-sela kecamuk perang berkisai bertabur darah. Bukankah kekejaman adalah sisi mata uang yang lain dari kemegahan dan keagungan?
Berempat kami menapaki lorong-lorong kota Torino sembari membayangkan Hannibal dengan pasukan gajahnya memasuki arketip kota ini di tahun 218 Sebelum Masehi, setelah tiga hari bertahan dalam kepungan pasukan penakluk dari Magribi itu. Menjelang sore, saat menambah energi di sebuah kafe, terbayang pula oleh kami riuh rendah kota itu dalam derap langkah kuda-kuda perang pasukan Napoleon, sebelum si jenderal mungil dari Perancis itu dijinakkan di tahun 1814, yang memberi jalan kepada Dinasti Piedmont-Sardinia untuk merestorasi Torino dan menjadikannya sebagai ibu kota kerajaan, seolah mengembalikan kejayaan Dinasti Duchy of Savoy di kurun ke-16.
Di hari paling akhir bulan Juli itu, dalam paroh pertama malam musim panas yang panjang, kereta api IC 35521 membawa kami kembali ke Genova. Setelah melewati stasiun Novi Ligure, hawa Laut Tengah sudah tercium lagi. Kami serasa sudah sampai di Stasiun Kuraitaji dalam perjalanan dengan kereta api Ganefo tahun '70-an dari Bukitinggi, kota utama orang darek itu. Ketika makan malam di hotel, kami memesan sepiring kerang hijau berlumur minyak zaitun dan lada hitam dan seekor ikan kerapu goreng. Itu sudah cukup untuk mengobati‘ selera pantai’ kami walau dimasak tidak pakai cabe rawit mengapung dalam kuah santan pekat-berkelintin seperti gulai 'capa' dan 'situhuak' di Pantai Tiram dan Pariaman. ***