Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Aspek Hukum dan Kelembagaan Dalam Pengelolaan SDK di Daerah Dalam Konteks Global

Oleh: Boy Yendra Tamin

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta

Bisakah Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara maritim yang mampu memanfaatkan sumber daya kelautan yang dimiliki dengan optimal ? Ketika kita membicarakan pemanfaatan sumber daya kelautan (SDK) maka pada saat yang sama persoalan aspek hukum dan kelembagaan yang memuat perihal kebijakan, sistem dan dengan cara seperti apa SDK itu dapat didayagunakan menjadi tidak terelakkan untuk dibahas. Hal ini terutama bila kita menganggap soal regulasi menghambat proses desentralisasi kelautan.

Regulasi yang dulunya dianggap bermasalah adalah UU No 22/1999 (pasal 3, pasal 10 ayat (2) dan (3)). Hal itu karena memungkinkan penafsiran yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini menurut pengamat ekonomi dan Direktur CIDES, Umar Juoro (Republika Online, 03 Juli 2002), peran yang lebih penting dari pemerintah itu adalah memberikan leadership pengembangan kelautan tersebut, juga mempromosikan, dan memasarkan. Kalau yang diributkan hanya masalah regulasi, maka tujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat tidak akan tercapai. Masalah pertentangan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah lebih mengemukakan. Hal itu karena masyarakat ikut terlibat dalam pertentangan regulasi, sehingga investor enggan. Namun setelah UU No 22 Tahun 1999 direvisi atau diubah dengan UU No 32 Tahun 2004  tentu seharusnya tidak jadi masalah lagi dalam upaya pengelolaan dan pengembangan SDK di daerah.

Dan kalau kita amati kebijakan pengembangan SDK di beberapa daerah, termasuk di Sumatera Barat, sector kelautan perikanan masih dipandang setengah hati untuk dikembangkan. Pemda. Dan Pengembangan SDK masih berorientasi pada pola pengembangan yang memberikan keuntungan finansial (baca: PAD) jangka pendek. Masih sedikit dijumpai adanya kebijakan pemda yang mendorong tumbuhnya sektor kelautan dan perikanan dari sisi pengembangan kawasan untuk tujuan jangka panjang yang multi aspek. Sehingga pembangunan sektor kelautan dan perikanan hanya dipersiapkan sebagai sasaran pembangunan alternatif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akibatnya jelas, soal kelembagaan dalam pengembangan SDK menjadi tidak terperhatikan dengan sungguh-sungguh. Meskipun sejak beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah memberikan cukup banyak pembiayaan yang disalurkan kepada Pemda, namun dalam aspek hukum dan kelembagaan dalam pengembangan SDK di Daerah belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Dari sejumlah dana yang telah dikucurkan ke Pemda bagi pembangunan sector kelautan dan perikan, misalnya untuk TA 2001, 50 persen dari total anggaran sekitar Rp 495 miliar dan TA 2002, sekitar 80 persen dana sebesar Rp 693 miliar dari APBN dan Rp 310 miliar bantuan luar negeri, juga akan dialirkan ke daerah, seberapa besar pendanaan yang dipergunakan daerah untuk pengembangan bidang hukum dan kelembagaan di sektor ini, sesuatu yang masih memerrlukan kejelasan.

Padahal di dalam pembangunan sector kelautan dan perikan, aspek hukum dan kelembagaan merupakan hal yang menjadi sisi lemah dan salah satu masalah pokok dalam pengelolaan dan pengembangan SDK. Selain pengaturan hukum dalam sector kelautan dan perikanan selama ini sangat sentralistik, lalu muncul UU No.22 Tahun 1999 dengan paradigma baru otonomi daerah. Disisi lain pembentukan peraturan hukum di bidang kelautan dan perikanan di daerah membutuhkan suatu ahli hukum bidang kelautan, yang dalam kenyataannya di Indonesia masih tergolong minim. Bahkan ada daerah yang tidak memiliki ahli hukum dibidang kelautan. Dan jadilah peraturan hukum dibidang keluatan dan perikanan di buat ahli-ahli hukum yang tidak mengenal sector kelautan dan perikanan dan kemudian dijadikan sebagai pedoman di dalam pengembangan SDK di daerah. Hasilnya ?.

Dalam permasalahan yang timbul sekarang ini seperti kewenangan batas wilayah pantai yang menjadi permasalahan antara kabupaten dan provinsi. Kemudian cakupan hasil tangkapan dan perizinan kapal. Sementara itu pengaturan pada sector kelautan dan perikanan sampai hari ini masih tumpang tindih. Wilayah maritime Indonesia yang sangat luas ditangani banyak pihak/lembaga antara lain seperti AL, Polair, Airud, Departemen Kelautan, Pertambangan, Perhubungan, dan lain-lain. Sehiggga untuk menangani persoalan pencurian ikan yang makin marak saja dan dikeluhkan nelayan tradisisional di berbegai daerah di Indonesia sepertinya tidak terlesaikan dan sangat sulit diproses secara hukum. Kita tidak memiliki mahkamah kemaritiman yang menyidangkan pencuri ikan.

Masalah lain dalam bidang hukum dan kelembagaan dalam pengembangan SDK ditunjukan pula oleh adanya konflik antar nelayan. Pada satu sisi boleh jadi sebagai akibat dari kurangnya sosialisasi hukum perikanan dan rendahnya kesadaran hukum nelayan akan hukum. Tetapi disisi lain, konflik antar nelayan tidak terlepas dari adanya kecemburuan sosial antara nelayan yang berpenghasilan rendah dengan nelayan yang berpenghasilan besar. Keadaan ini sesungguhnya menunjuk kepada betapa penting membangun kelembagaan yang terpadu dalam pengelolaan SDK, terutama di daerah. Terjadi kondisi yang demikian tidak sepenuhnya sebagai akibat dari tumbuhnya makna demokrasi di kalangan nelayan menuruf terjemahan mereka untuk menyatakan mengapa mereka tidak mematuhi norma hukum. Persoalan yang sebenarnya adalah sudah seberapa jauh dilakukan pengaturan hukum yang memberikan insentif kepada nelayan dan sosialisasikan hukum dilakukan kepada nelayan secara induvidual maupun kelompok. Seberapa banyak dikembangkan dan dibina lembaga-lembaga masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam supaya pengembangan SDK.

Peran penting pembentukan hukum dan pembentukan kelembagaan di sector kelautan dan perikanan bukanlah masalah sederhana. Masalah menumbuhkan kesadaran hukum nelayan bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak factor yang menyebabkan terjadi setiap upaya peningkatan kesadaran hukum nelayan antara lain, kondisi sosial ekonomi nelayan yang berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pendidikan, yang selanjutnya berakibat pada kurangnya tingkat pemahaman.

Kondisi social ekonomi nelayan yang demikian, maka pembentukan hukum dalam bidang kelautan dan perikanan, terutama peraturan daerah mengenai pemanfaatan SDK lebih banyak meresahkan masyarakat nelayan dari pada memudahkannya dalam melakukan kegiatan usahanya, ia menjadikan pengaturan hukum menjadi tidak efektif. Walaupun arti meresahkan itu tidak selalu berkaitan dengan materi pertauran, tetapi tidak adanya sosialisasi hukum yang efektif termasuk dalam pengertian meresahkan. Bahkan mungkin suatu peraturan yang sebenarnya baik, tetapi malah menimbulkan konflik.

Sebagaimana terjadi pada UU No.22 tahun 1999, bahwa kabupaten dan kota mempunyai wewenang hingga empat mil ke arah laut, sedangkan provinsi sejauh 12 mil. Adakalanya nelayan menterjemahkan itu sebagai batas yang tidak boleh dilewati oleh nelayan daerah lain. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dikalangan pemda sendiri muncul persepsi serupa. Penyebab lain lagi muncul konflik antar nelayan bermula dari ketentuan peraturan perundang-undang sendiri. Sebagai contoh Keputusan Presiden (Keppres) No 39/ 1980 yang mengatur tentang Penghapusan Jaring Trawl. Dalam perkembangannya, mini-trawl malah berkembang pada kapal berukuran 15 gross ton (GT) dengan kecepatan 10-15 PK.

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

UU mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil telah diundangkan tahun 2007 yang lalu yang sebelumnya dalam proses penyusunanannya oleh banyak pihak dipandang akan sia-sia jika sekedar dilaksanakan begitu saja. Pandangan ini dilatar belakangi pemikiran, bahwa yang lebih penting adalah pengawasan terhadap kondisi nelayan dan perairan di Indonesia yang selama ini sering terbaikan.

Pandangan tadi, sebenarnya mengindikasikan lemahnya pengaturan hukum dan kelembagaan di sector keluatan dan perikanan. Walaupun pemberlakuan UU tersebut mempunyai beberapa sasaran utama sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Widi Agoes Pratikto (Kompas,12 Agustus 2002),. yaitu terlindunginya sumber daya laut, pengelolaan pesisir yang lebih baik, kesempatan pemberdayaan masyarakat, keseimbangan wewenang pusat, provinsi, dan daerah, serta adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan di wilayah pesisir. Namun hal ini belum sepenuhnya memberikan jawaban dan solusi bagi permasalahan-permasalahan dibidang kelautan.

Apabila tujuan pelaksanaan UU itu di antaranya untuk melindungi, mengonservasi, memanfaatkan, dan merehabilitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologinya. Kemudian memperbaiki mekanisme pengelolaan sumber daya pesisir, serta memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat local, maka pembetukan hukum dan kelembagaan dalam pengembangan SDK di daerah baru ada kepastian sampai UU ini diberlakukan. Lalu apa yang harus diperbuat daerah semasa UU tersebut belum diperlakukan ? Apakah pembedayaan SDK akan diupayakan dengan setenga hati oleh daerah ?

Pengaturan Hukum dan Kelembagaan Pengelolaan SDK di Daerah.

Dengan diundangkannya UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hal ini sesungguhnya merupakan supporting bagi pemda didalam penangan aspek hukum dan kelembagaan dalam pengembangan SDK di daerah. Artinya, kebijakan yang telah dituangkan daerah dalam peraturan daerah dan kebijakan yang diambil dalam pembetukan kelembagaan tampaknya harus ditangani dengan sangat hati-hati dan teliti.

Suka atau tidak suka, dengan adanya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir itu, maka akan sangat berpengaruh besar bagi pembentukan hukum dan kelembagaan dalam bidang kelautan dan perikanan. Tetapi hal ini tidak lantas menjadikan pemerintah daerah mengabaikan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Setidaknya untuk mengantisipasi terjadi benturan antara kebijakan yang diambil daerah dengan kebijakan yang ditetapkan UU tersebut, pemda harus berpijak pada UU No.32 tahun 2004, sehingga kebijakan pemerintah daerah dalam bidang keluatan dan perikanan tidak akan berbenturan dengan kuat dengan ketentuan UU yang baru. Hal ini tentu saja, selain daerah mencermati UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dengan berpijak pada segala ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah dapat menyusun format hukum dan kelembagaan pengembangan kelautan dan perikanan di daerah.

Sebagaimana dikemukakan Luky Adrianto (Media Indonesia, 07/08/01), bahwa semangat pengelolaan SDK adalah semangat otonomi yang meletakkan daerah (baca local stakeholders) sebagai sumbu utama dari lokomotif pelaksanaannya. Dalam konteks ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDK-nya dengan tujuan utama tentunya pada kesejahteraan daerah dan masyarakat yang ada di dalamnya. Terlepas dari potensi permasalahan dan kelemahan yang ada pada konsepsi ini, secara teori dan empiris keberhasilan konsep ini pun bukan suatu impian. Salah satu akselerator munculnya konsep otonomi (desentralisasi), khususnya di bidang pengelolaan SDK, adalah ketika para pemikir teori pembangunan mengemukakan gagalnya pendekatan centralized development plan yang banyak dipraktekkan pada era 1960 atau 1970-an. Salah satunya adalah Wiarda (1983) yang mengeritik bahwa the role of traditional institutions has been ignored, or worse, derided. Dengan kata lain, pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks SDK, sering kali meniadakan keberadaan organisasi lokal.

Lebih jauh dikemukakan, bahwa secara empiris, tren menuju otonomisasi pengelolaan SDK ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6,200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme coastal fishery right-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan basic guidelines dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi (ken) atau kota (machi; shi; tou) melalui FCA (fishebry cooperative assocation). Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-specific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.

Mencermati pandangan di atas, maka tidak cukup alasan bagi daerah untuk tidak membentuk peraturan hukum dan kelembagaan di dalam pengembangan SDK dengan sebaik-baiknya. Bagi pengusaha atau dunia investasi mungkin persoalan adanya ketidak pastian hukum dalam pengelolaan SDK di Indonesia menjadi masalah mendasar, tetapi kegamanangan dunia investasi itu menurut hemat saya dapat diminimalisasi oleh pemerintah daerah sepajang kebijakan bagi dunia investasi itu berpijak pada ketentuan peraturan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Disisi lain, dengan pijakan pada peraturan penyelenggaraan otonomi daerah itu pula pemda membentuk peraturan daerah dan kelembagaan dalam hal pengembangan dan pengelolaan SDK. Apalagi bila UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil itu dibuat untuk memberikan hak khusus kepada masyarakat dan mendorong mereka berinisiatif melindungi wilayah tersebut. Masyarakat atau pemerintah kabupaten/kota yang mengelola ekosistem maka merekalah yang akan memperoleh keuntungan. Karena dengan menjaga ekosistem, seperti menjaga mangrove dan terumbu karang yang hidup di pesisir maka ikan-ikan akan senang tinggal di situ

Ia tentu saja jika dipahami, bahwa ada dua regulasi dalam pengelolaan SDK yaitu peraturan akses terbuka dan akses terkontrol. Peraturan yang pertama membiarkan para nelayan menangkap ikan kapan saja dan di mana saja, berapa pun jumlah dan dengan alat apa saja, sehingga regulasi ini mirip hukum rimba dan pasar bebas. Secara empiris regulasi ini menimbulkan dampak negatif baik berupa kerusakan sumber daya perikanan maupun konflik antar nelayan. (baca juga Kompas, 30/04/2001)

Gagalnya regulasi tersebut mendorong munculnya regulasi lain, yakni peraturan akses terkontrol. Dalam regulasi tersebut, diatur soal pembatasan masukan (input) dan keluaran (output). Pembatasan output membatasi jumlah tangkapan berdasarkan kuota. Sedangkan pembatasan input yang menyangkut jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap, selama ini merupakan instrumen kebijakan yang masih sering digunakan oleh negara Asia dan negara berkembang lainnya. Salah satu formulasi pembatasan input menekankan pada penggunaan fishing right (hak pemanfaatan sumber daya perikanan) pada suatu wilayah tertentu dalam batas yurisdiksi yang jelas. Dalam sistem ini, hanya pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara pihak yang tidak memiliki hak tersebut tidak diizinkan beroperasi di sana. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur waktu dan alat yang digunakan.

Pengaplingan itu dianggap penting untuk menjaga kepentingan nelayan kecil yang hanya beroperasi di wilayah pantai pesisir serta kepentingan kelestarian sumber daya. Hal yang diatur dalam UU No 22/1999 yang telah diubah dengan UU No 32 Tahun 2004 sebenarnya merupakan entry point bagi ditetapkannya sistem hak pemanfaatan wilayah teritorial tersebut, meskipun dalam undang-undang itu beserta peraturan turunannya., pelaksanaannya belum diatur secara detail. Menyinggung soal traditional fishing right, ada yang berpendapat penerapannya di Indonesia harus dilakukan secara gradual dan berbeda satu daerah dengan daerah lain, karena kondisi sosial dan ekosistem masing-masing memang berbeda.

Oleh sebab itu, sukar dipungkiri, bahwa pembangunan kelautan dan perikanan memang harus berbasis daerah apabila tujuannya untuk menggerakkan pembangunan ekonomi daerah. Dengan pembangunan yang berbasis daerah akan memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan pengelolaan perikanan melalui peningkatan efektivitas pengawasan sehingga usaha perikanan bisa berjalan optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian, maka daerah dalam pengelolaan SDK tidak menghindarkan diri untuk mengaturnya melalui suatu produk hukum dan membangun kelembagaannya secara terpadu.

Walaupun di lain pihak semangat otonomi dalam pengelolaan SDK bukan berarti tanpa kelemahan dan masalah. Seperti yang akhir-akhir ini dikhawatirkan oleh beberapa pengamat, potensi out of control mechanism dari para pengambil kebijakan di daerah sebagai akibat dari euforia desentralisasi berpeluang menghambat tercapainya tujuan otonomisasi pengelolaan SDK. Selain itu, kekhawatirkan praktik-praktik chauvinism berlebihan juga memiliki potensi kontribusi kegagalan yang sama. Padahal, pengelolaan SDK tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan lokal saja melainkan juga harus dilihat dari dimensi global khususnya untuk sumber daya perikanan dan problem-prolem pencemaran. Dimensi global ini terasa semakin penting ketika pemda berencana memberdayakan nelayan kecil.

Dengan meningkatkan kemampuan nelayan kecil menjadi nelayan yang mampu bersaing dengan armada kapal besar, maka asumsinya adalah perairan laut lepas (offshore) yang menjadi sasaran. Baik optimalisasi penangkapan di perairan ZEE atau malah mampu berubah ke distant waters fisheries seperti negara-negara perikanan maju lainnya. Sementara itu, spesies ikan ekonomi penting di perairan tersebut pada umumnya tergolong sebagai highly migratory dan straddling fish stocks. Dalam konteks inilah, pengelolaan SDK dengan pendekatan global diperlukan. Menurut Luky Adrianto (Media Indonesia, 07/08/01), paling tidak ada tiga alasan pentingnya globalisasi pengelolaan kelautan ini. Pertama, secara ekologi jelas laut tidak bersekat, sehingga kekuasaan teritorial terhadap laut tidak dapat mengurangi arti pentingnya pengelolaan global. Karena faktor ekologi inilah beberapa konsep aturan untuk beberapa spesies ikan khususnya yang tergolong ke dalam straddling and highly migratory fish harus dibuat dalam skala global dan melampaui batas teritorial negara. Kasus-kasus IUU (Illegal, Unreported and unreglated) fishing dan FOC (flag of convenience) memicu pentingnya pengelolaan bersama ini. Kedua, seperti yang juga dikhawatirkan oleh Friedheim, problem excess demand dari sumber daya alam sebagai konsekuensi dari meningkatnya populasi dunia termasuk peran laut sebagai sumber protein hewani bagi peningkatan ketahanan pangan (food security) penduduk dunia tidak hanya dapat diantisipasi dalam skala nasional apalagi regional atau lokal melainkan merupakan problem global. Ketiga, isu-isu lingkungan seperti kelangkaan sumber daya perikanan, degradasi pesisir, bencana tumpahan minyak, dan lain-lain menjadikan secara fisik tidak akan optimal memberikan jasanya bagi manusia. Problem ini pun membutuhkan penyelesaian secara multilevel dari nasional, regional, hingga global.

Mencermati pengembangan SDK bagi daerah dalam konteks global itu, maka aspek hukum dan pembentukan kelembagaan menjadi sangat penting. Pengelolaan SDK bagi daerah tidak dapat lagi hanya sekedar soal kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri potensi SDK. Meskipun kewenangan itu merupakam modal dasar daerah bagi peningkatan kemampuan daerah dalam berotonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencapai dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi SDK dituntut adanya kebijakan daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal khusus dan tertentu pemda dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah dan sedapat mungkin dikembangkan dalam konteks global. Dalam konteks ini, maka kebijakan daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi perikanan dan kelautan dapat dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan undang-undang dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kebijakan Daerah dalam bidang perikanan dan kelautan tentu haruslah diarahkan kepada upaya mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka mencapai kemandirian lokal dan peningkatan kesejahteraan menuju dunia global. Dalam konteks ini kita akan dirasakan betapa penting sebetulnya pembangunan instusi (kelembagaan ) itu didalam pengelolaan SDK.

Institusi yang tumbuh atas inisiatif dan kesepakatan masyarakat, tidak jarang dipegang teguh dan mempengaruhi pola produksi dan prilaku sosial masyarakat. Di lain pihak institusi yang muncul dari kehidupan bersama masyarakat secara alamiah, biasanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan sangat sedikit berorientasi pada pencapaian tujuan-tujuan yang lebih besar.

Berbeda dengan institusi yang tumbuh dan berkembang karena dilembagakan oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah. Institusi dalam pemanfaatana dan pengelolaan perikakan dan kelautan yang dilembagakan pemerintah tidak hanya sekedar bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan memililki tujuan-tujuan yang lebih besar dan berjangka panjang.

Institusi pemanfaatan dan pengelolaaan perikakan dan kelautan yang dilembaga pemerintah memuat pengaturan, ketertiban, manajemen dan administrasi, sistem dan orientasi pasar, pengawasan, koordinasi, informasi, alokasi sumber daya, kualitas dan kuantitas produksi dan lain sebagainya.

Muatan-muatan instutisi yang dilembagakan peraturan perundang-undangan telah menempatkan potensi perikanan dan keluatan dalam wacana yang melampau batas-batas teritorial masyarakat lokal, dan dengan kemanfataan yang luas cakupannya. Meskipun demikian, sebenarnya basis utama pembangunan institusi ini tetap menomor satukan masyarakat setempat.

Dalam prakteknya, kedua alur institusi dalam pemanfataan dan pengelolaan perikan dan kelautan sebagaimana dijelaskan di atas, ia tidak terpisah secara absolut. Dalam kenyataannya kedua alur institusi dikembangkan secara simultan dan kombinasi, walaupun dalam keadaan tertentu institusi formal yang diciptakan pemerintah tidak mendapat respon dan ditentang oleh masyarakat. Tidak jarang pula institusi yang diciptakan pemerintah tidak efektif dan efisien yang dilatar belakangi banyak faktor penyebab.

Beberapa hal yang dipaparan dalam tulisan ini hanya sebuah pengantar untuk pengkajian lebih jauh mengenai aspek hukum dan kelembagaan dalam bidang pengelolaan SDK sebagai satu factor kunci bagi tercapainya dayaguna di dalam pengelolaan SDK.

*Makalah pernah disampaikan dalam Lokakarya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pesisir laut (MCRM) yang diselenggarakan Pusat kajian Mangrobe dan Kawasan Pesisir Univ.Bung Hatta bekerja sama dengan Dinas kelautan Kota Padang tanggal 21 November 2002. (Update 13/10/2016)

Kepustakaan

Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni-Bandung; 1993.Luky Adrianto, Perspektif Global Sumber Daya Kelautan, Media Indonesia, 07 Agustus 2001St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bina Cipta 1984Umar Juoro , Republika Online, 03 Juli 2002Widi Agoes Pratikto, Kompas,12 Agustus 2002Pusat Kajian Mangrove dan Kawasan Pesisir Univ.Bung Hatta, Rencana Induk dan Pengembangan Perikanan dan Kelautan Kota Padang, Januari 2002Kompas, 30 April 2001Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan DaerahRUU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau KecilUU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulai KecilUU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan DaerahPeraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Daerah

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar