Oleh : Emral Djamal Dt Rajo Mudo.
Manusia Minangkabau sekarang, menyebut adat-nya sebagai produk kebudayaan yang tersusun rapi, utuh dan sempurna (samparono) dalam “wujud ideal” yang dinamakan “bija” atau “bijo”, atau “padi nan satampang banieh” yang apabila ditanam, dipelihara, disiram, dan disiangi, benih itu akan tumbuh subur. Seumpama benih padi yang disemai dan ditanam di sawah, akhirnya akan memproduksi padi yang bernas.
Dalam tradisi pelajarannya dinamakan “kaji bijo”. Apakah itu kaji “bijo diri”, “bijo agamo”, atau “bijo nagari”, prinsip hukumnya sama, ter gantung wawasan dan cakrawala pemikiran seseorang, seperti ungkapan adat mengatakan :“walau sagadang bijo labu, bumi jo langik ado di dalam.”
Kosakata “padi” kemudian menjadi simbol utama untuk menyebut sikap pribadi orang-orang berilmu, dengan ungkapan “bagaikan ilmu padi, makin berisi semakin runduk.” Demikian pula dengan Adat Alam Minangkabau itu dalam wujud idealnya diibaratkan sebagai “ilmu padi” yakni “padi satampang banieh makanan anak tigo Luak”. “Ilmu padi” yang seharusnya dipelajari oleh anak nagari dalam Luak Nan Tigo, yang kemudian ditanak jadi nasi sebagai makanan sehari-hari. Bahkan disimpan dalam lumbung untuk persediaan di musim paceklik (musim lapa, musim kemarau) : “Padi serumpun rindang buat santapan di kemarau panjang”.
Apa yang dimaksud dengan “makanan” disini, adalah kombinasi antara “praktek ilmu-ilmu kebaikan dunia, pengalaman dalam alam, dan amalan lahir batin sebagai ilmu simpanan, sesuai dengan petunjuk dan tuntunan agama yang diyakininya” dilakukan seorang manusia Minangkabau dalam “wilayah alam” (kosmos) Luhak Nan Tigo, dengan batasan dan ruang lingkup berdasarkan aturan-aturan adat (U-HAAM) yang “dijunjung bak kumalo, ditanai bak mangkuto“ maksudnya dimuliakan bagaikan cahaya kemala, dihormati dengan segala disiplin ilmu dengan kehati-hatian bagaikan membawa sebuah mahkota yang berharga”. Lalu di syi’arkan dan di rayakan kepada dan oleh anak negeri sendiri memancarkan “sumarak nagari.” (semarak negeri) “mancewang ka langik tinggi, cahayonyo lapeh ka lawiktan.”
Sikap itu tidak hanya sebutan, buah pembicaraan atau orasi pidato saja, tetapi betul-betul berlaku, dan diberlakukan dalam prilaku diri sendiri sehingga diharapkan kelak mampu mewujudkan citra pribadi yang berwatak, mulia dan terpuji, bagi siapa saja yang “membumikan” nilai-nilai ajarannya. Artinya menjunjung nilai-nilai kemuliaan setinggi-tinggi langit, dan memancangkan tonggaknya sedalam-dalam bumi, ka ateh ta-ambun jantan, ka bawah ta-kasiek bulan, untuk menegakkannya di atas bumi, atau setidak-tidaknya di bumi negeri sendiri, di tanah kejadian diri. Dalam pidato adat disebut sebagai “tanah wilayah rasul”. Inilah ungkapan titah adat :Junjunglah langit, tegaklah di bumi. Demikian juga maksud pepatah adat : dimana bumi dipijak di sana langit di junjung Atau dalam bentuk nasehat mande-mande Minangkabau.
“Kok waang pai marantau, mandi dibaruah-baruah, bakato dibawah-bawah, jagolah laku jo kurenah, jaan sagalo dimamah, jaan sagalo dirancah, haragoi nagari urang, nak nyo mulie nagari awak. Muliekan nan tuo, hormati kawan samo gadang, sayangi nan ketek, kasihi urang nan banyak, kasieh sarato jo nagari.”
Atau dalam bentuk sekarang misalnya : “kok kalian pai ba-kemah, jagolah pantang-larang kampuang urang, turuti pantang nan tuo hormati tampek nan balarangan, nak salamaik pulang pai, naknyo mulie kampuang awak.” Atau yang lebih kecil dan tegas lagi adalah ungkapan : “kasihlah akan orang, kasihlah akan negeri”.
Inilah contoh nilai-nilai aturan adat yang diambil dari hukum alam, yakni hukum fisika yang menyatakan “aksi sama dengan reaksi. Setiap ada aksi pasti ada reaksi, akibat baik atau akibat buruk, dan aksi yang berakibat baiklah yang dicari. Dalam ajaran agama-agama khususnya agama Islam ada suruhan untuk mengerjakan sesuatu yang memiliki nilai baik, yakni berakibat baik kepada diri sendiri dan orang lain. Bukan perbuatan yang buruk, kotor, merusak, makar, ingkar atau mungkar, karena akan berakibat buruk pula kepada badan diri, keluarga dan nagari. (hukum sabab musabab).
Oleh karena itu, ada larangan untuk tidak berbuat buruk, karena berakibat buruk pula untuk diri sendiri dan orang lain. Bahkan diancam dengan hukuman berat apabila “pantang larang” itu dikerjakan juga.
Penerapan sistim hukum yang keras, juga berakibat tidak baik, penerapan sistem hukum yang lemah, hanya tinggal di mulut saja juga berakibat tidak baik Perbuatan buruk dibalas dengan perbuatan yang sama, artinya “memukul dipukul”, “menghina dihina”, “membunuh dibunuh”, “mencuri dipotong tangan atau kakinya”, juga tidak baik.
Inilah awal kritik pemikiran “hukum tarik balas” yang dicetuskan Datuk Ketamanggungan, yang kemudian berlanjut dengan “protes keras” oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, setelah beliau pulang dari rantau pengembaraannya. Karena bagaimanapun juga sistim hukum tarik balas” dapat memicu konflik berkepanjangan, pembalasan dendam yang berlarut-larut (kata setengah orang, dendam tujuh turunan). Karena itu “ junjunglah bak kemala, tanailah U-HAAM itu bak mahkota”. Pesan adat dan syarak mengatakan “karajokan suruah hantikan larang.”
Salimbado Grup : Silat dan Pusat Kajian Tradisi Alam Minangkabau ,Sumatera Barat