Catatan Deby Purnama Sari
Alat tangkap ikan yang disebut dengan pukat tarik belakangan atau setidaknya sejak tahun 2015 oleh Kementrian kelautan dan perikanan dilarang untuk digunakan. Jenis alat penangkapan ikan pukat tarik adalah kelompok alat penangkapan ikan berkantong (cod-end) tanpa alat pembuka mulut jaring, pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan (schooling) ikan dan menariknya ke kapal yang sedang berhenti/berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (Kep/06/Men/2010).
Sebelumnya pengunaan alat tangkap pukat tarik tidak termasuk alat tangkap ikan yang dilarang dengan dasar hukum pengoperasiannya adalah :
- Pasal 31 ayat (1) huruf d. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
- Pasal 16 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Pukat ikan hanya diizinkan pengoperasiannya di Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Cina Selatan, ZEEI Laut Arafura, ZEEI Samudera Hindia, dan ZEEI Selat Malaka. (Mulyana 2012).
Namun pada tanggal 9 Januari 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Maksud diterbitkannya Permen Kelautan dan Perikanan No. 02 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik adalah untuk menghentikan sementara penggunaan alat penangkapan ikan yang dianggap merusak lingkungan agar SDI tidak punah. Tujuannya adalah untuk memulihkan kembali sumberdaya ikan yang telah berkurang/rusak sampai pada akhirnya dapat dimanfaatkan kembali secara optimal.
Larang dimaksud terang saja ini menimbulkan beragam komentar dari berbagai pihak, termasuk protes keras oleh nelayan dari beberapa daerah di Indonesia. Sisi baiknya sebagian masyarakat menerima kebijakan tersebut karena dapat mengurangi rusaknya ekosistem alam laut. Dan disisi lain peraturan ini dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil khususnya bagi nelayan tradisional yang umumnya menggunakan pukat tarik dalam penangkapan ikan.
Di Sumatera Barat saja misalnya, pada tahun 2010 jumlah alat tangkap pukat tarik yang digunakan oleh nelayan tradisional adalah 66.282 unit (BPS Sumbar 2010). Disepanjang daerah pesisir yang ada di Sumatera Barat, rata rata nelayan masih menggunakan alat tangkap payang, pukat pantai dan dogol yang termasuk kedalam golongan pukat tarik.
Lalu bagaimana dengan kelanjutan hidup mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan dari pukat tarik. Jika pemerintah memberikan kebijakan beserta dengan solusi nyata yang berdampak baik bagi kesejahteraan nelayan itu pasti akan direspon dengan baik oleh masyarakat nelayan. Namun jika hanya kebijakan saja yang dikeluarkan tanpa diiringi solusi seperti pengganti pekerjaan atau alat tangkap yang dapat digunakan, apa yang harus dilakukan oleh para nelayan. Ini justru semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat nelayan dan menambah tingkat kemiskinan di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, dapatkah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 ini dijadikan solusi untuk tetap menjaga kelestarian laut dengan pelarangan alat tangkap yang dianggap tidak ramah lingkungan ini?. Seharusnya sebelum diterapkannya kebijakan atas Permen Kelautan dan Perikanan perlu ada kajian mendalam untuk mengantisipasi penolakan dari nelayan yang selama ini masih menggunakan alat tangkap tersebut. Untuk itu perlu solusi yang baik untuk mengatasi pergantian alat tangkap yang dilarang oleh KKP. Membuat sebuah kebijakan tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus melihat kondisi dahulu, bagaimana dampaknya untuk masa sekarang dan masa yang akan datang tentang kondisi yang akan diatur dalam sebuah kebijakan.
Diberlakukakanya Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 akan berdampak langsung seperti: Puluhan ribu nelayan bersama rumah tangga perikanan akan kehilangan pekerjaan dan unit usaha bisnis di bidang perikanan tangkap. Ini semakin meningkatkan angka pengangguran di Indonesia dan semakin tingginya tingkat angka kemiskinan untuk masyarakat nelayan. Dan akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Sebelum ditetapkan kebijakan harus disosialisasikan secara merata sehingga semua pihak tahu tentang kebijakan apa yang telah dibuat. Kebijakan mengenai pengembalian stok sumberdaya laut ( konservasi ) seharusnya diberikan durasi atau waktu berlakunya kebijakan tersebut jika terlalu lama maka nelayan dan pelaku usaha perikanan akan mengalami kerugian, berlakukan seperti kebijakan moratorium yang didalamnya terdapat lamanya moratorium itu berlaku. Dan jika peraturan ini memang tidak dapat diubah lagi, setidaknya pemerintah memberikan solusi nyata terhadap masyarakat nelayan seperti pemberian bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan, mengingat banyaknya nelayan kecil di Indonesia yang tidak memungkinkan bagi mereka secara spontan mengganti alat tangkap yang biasa mereka gunakan dengan dana pribadi.
Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan ini tanpa dibarengi dengan peningkatan untuk kelanjutan hidup nelayan kecil, maka kebijakan ini tentu saja tidak dapat dijadikan solusi. Ini sama saja dengan mengatasi masalah tanpa solusi dan malah menimbulkan masalah baru yang harus dipecahkan. Sejak penetapan keputusan tersebut, belum ada kelanjutan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi bagaimana mengatasi masalah pelarangan alat tangkap ini. Apa nelayan harus berhenti menangkap sesuai dengan keputusan pemerintah?. Lalu bagaimana dengan kehidupan keluarga mereka?. Ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi dan sikap sosial masyarakat. Dan akan tingginya tingkat kriminalitas untuk mencari makan.
Sumber bacaan:
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat, 2010. Statistik Perikanan Tangkap 2010. Padang : Badan Pusat Statistik.Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.06/MEN/2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.Mulyana, R. 2012. Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu Di WPP Laut Arafura. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen- Kp/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.