catatan Harfiandri Damanhuri
Di suatu hari dalam kegiatan menyelamatkan Pulau Siberut menjadi sebuah pulau dengan tagline 'Pulau Hijau, Masyarakatnya Sejahtera' kami bertemu dalam sebuah forum yang diselengarakan oleh Taman Nasional Siberut. Pak Toto dari Taman Nasional Siberut bercerita banyak tentang kawasannya yang memiliki luas yang dilindungi 4.480 km2 (403.000 ha) menyimpan hutan hujan basah yang unik dengan 4 primata endemik yang hidupnya sangat tergantung akan pohon sebagai sumber makanan dan sebagai habitat tempat tinggalnya.
TNS juga memiliki pantai yang bersih, alami dan sepi yang menjadi kawasan peneluran banyak jenis penyu. Salah satunya adalah lokasi pendaratan penyu belimbing yang merupakan penyu terbesar dari penyu hijau, penyu sisik dan penyu lekang. Pusat Data Informasi Penyu Indonesia yang berpusat di UBH juga telah memberikan kontribusi penelitian, pemikiran terhadap kawasan pendaratan penyu di pantai barat Sagulubbek lingkup TNS.
Sampai saat ini Pak Ridho dan Pak Rusdi terus berupaya menyelamatkan telur-telur penyu yang biasa menjadi sasaran masyarakat lokal. Tidak hanya telur, daging penyupun dikonsumsi olah masyarakat Mentawai. Walaupun mengkonsumsi daging penyu beresiko terhadap kematian dan melanggar UU LH/UU KKP. Kawasan pantai dalam areal Taman Nasional Siberut juga akan menyediakan dan.menyiapkan okasi pusat penelitian dan pendataan permanen pendaratan penyu didalam wilayah TNS.
Hutan TNS dengan biota endemiknya Joja, Bokkai, Bilau dan Simakabu menjadi perhatian serius Bung Feri dari Kalaweit yang sudah malang-melintang dalam menyelamatkan Siamang-Simpai. Kalaweit mulai aktif di Sumbar sejak 2003 dengan pusat penangkaran monyet sebelum dilepasliarkan pertama sekali di Pulau Marak. Sejak lima tahunan belakang pusat penangkarannya sudah berpindah ke Nagari Supayang Kab.Solok. Dalam pertemuan tersebut banyak pihak yang ikut membantu dan mendukung program dari TNS agar perlindungan hutan disebuah pulau dengan budaya dan masyarakatnya tidak menjadi penghambat tumbuhnya ekonomi kreatif dari keberadaan TN tersebut.
TNS menyadiakan tempat bagi banyak flora dan biota endemik, langka yang sangat kompleks. TNS juga lokasi pusat ilmu pengetahuan, budaya kehidupan masyarakat lokalnya yang hormoni dengan alam yang sudah ada dan terbentuk secara alami oleh masyarakatnya sejak mereka menginjakkan kakinya di bumi Sekerei. Dari konsidi lingkungan mereka hidup, mereka banyak belajar menjadikan alam sebagai guru yang tidak banyak bicara, tidak banyak tuntutan dan complain, akan tetapi dapat memberikan informasi, wawasan dan pembelajaran dari tanda-tanda alam yang disampaikannya kepada kita dan kitapun dapat rasakan dan pahami. Itu filosofi dari alam takambang jadi guru. Trio konservasi yang bertemu dalam mematangkan ide-ide dan gagasan tentang membangun dan menyelamatkan Kepulauan Mentawai akan keberadaan Hutan Hujan Basah dan Biota dan Flora Endemik dan Langka sudah dirintis sejak 1980.
Semoga Pulau Suberut dengan hutan, pantai dan biota tidak akan pernah hilang. Ia akan abadi dalam habitat dengan jejak yang ditinggalkan (penyu) dan bunyi yang dilantunkan (siamang) ditengah hutan yang menyejukan dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang ikut berkonstribusi dengan kearifan mereka menjaga alamnya. Kapanpun kita dapat kesana melihat keseimbangan alam, flora dan fauna serta budaya unik dari manusia pedalaman secara lengkap dan teratur mengikuti kaedah alam yang sudah diciptakan oleh yang kuasa secara bijaksana, adil dan seimbang. Sehingga Pulau Siberut tetap lestari dan berkelanjutan dengan segala fenomena, potensi dan budaya masyarakat yang unik, ditengah hiruk pikuk upaya untuk mengeksploitasi hutannya secara terus menerus dan masif dengan berbagai cara dan strategi. Mari kita jaga Bumi Sekerai. Salam Konservasi (catatan Harfiandri Damanhuri - .07.10.16)