Oleh : Dr Boy Yendra Tamin, SH.,MH
Dulu ada pendapat yang menyatakan begini; pemerintah wajib menciptakan suasana yang bebas agar setiap warga masyarakat dapat menggunakan hak berserikat dan berpendapat. Tesis ini muncul dengan latar belakang adanya iklim yang tidak kondusif pada era Orde Baru, dimana warga masyarakat “takut” untuk mengimplementasikan haknya mengeluarkan pendapat atau menyampaikan kritik secara bebas. Meskipun, perasaan bebas dari rasa takut itu telah memperoleh pengakuan internasional sebagai Hak Asasi Manusia.
Pendapat di atas mungkin sudah basi, jika kita cermati prilaku public pada era pasca reformasi. Pada era Reformasi kondisinya sangat beda, warga masyarakat tampaknya tidak lagi diluputi rasa takut untuk menyapaikan pendapatnya. Bahkan sering juga terlihat sudah kelewatan dan mengabaikan etika dan moral. Meskipun dilain pihak dipahami pula, bahwa kebebasan berpendapat itu sebagai bagian dari penegakkan demokrasi.
Jika memang kebebasan berpendapat ditempatkan sebagai penegak demokrasi, maka orang tidak boleh melupakan sisi terang dan gelap dari demokrasi. Kita paham betul, bahwa demokrasi adalah sistem politik yang sangat buruk, tetapi dari sekian banyak sistem yang buruk itu, demokrasi adalah yang sangat lumayan, karena bisa mengoreksi dari dirinya sendiri, sebab dalam arti sendiri ada built analization untuk self connetion. Itu terbuka (open ended). Dan demokrasi Barat, kelemahannya ialah hanya berhenti kepada prosedur tidak kepada tujuan yang kurang lebih bersifat intristik. Prosedurnya demokratis, tapi apanya itu tidak pernah dijawab. Karena itulah salah satu ekses dari demokrasi adalah kebebasan menyatakan pendapat yang kemudian mempunyai ekses misalnya tidak mungkinnya pemerintah demokratis untuk melarang literatur seperti a susila. Hal itu tidak mungkin karena dibela sebagai ekspresi menyatakan kebebasan pendapat.
Jadi prosedur menjadi lebih penting dari pada tujuan, pada hal kalau dilihat dari tujuan, apa manfaatnya p-rno, dan jelas sekali itu merugikan tapi toh orang-orang Barat say away untuk mengatakan itu buruk. Bahkan dibela sebagai suatu ujud dari kebebasan menyatakan kebebasan pendapat. Dan kalau kita perhatikan indikator-indikator yang menjadi “penyumbat’ kebebasan menyatakan pendapat seperti pelarangan, perizinan, mekanisme peraturan perundang-- agaknya kebebasan berpendapat sebagai nuansa dari demokrasi prosedural.
Prosedurnya (suasananya) demokratis tapi maknanya apa, itu tidak pernah persoalkan. Disinilah letak kuncinya, apabila orang ingin membicarakan kebebasan berpendapat di Indonesia sebagai ekses dari demokrasi. Dalam konteks ini kita sepakat bila demokratisasi tidak dapat ditahan kehadirannya. Namun ada hal yang harus diingat, otoriterisme kita dewasa ini bukanlah otoriterisme yang bersifat hakiki. Bukan suatu otoriterisme yang ditopang ideologi yang otoriter, sebagaimana otoriterisme Eropa Timur, yang ditopang dan dinafasi oleh suatu ideologi yang hakiki otoriter. Kalau mau dikatakan otoriter, sampai sekarang ini lebih merupakan gaya pemerintahan. Kalau demikian halnya, saya kira adalah tidak cukup alasan bagi kita untuk mengatakan imple-mentasi kebebasan berpendapat memerlukan kebebasan dari rasa takut, tanpa menjelaskan rasa takut terhadap apa.
Kebebasan menyatakan pendapat --diakui atau tidak-- tidak ditentukan oleh kondisi phikologis. Melainkan ditentukan oleh kepentingan nyata dari masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, implementasi dari kebebasan mengeluarkan pendapat tidak ditentukan oleh adanya suasana bebas dari rasa takut. Bukankah sudah menjadi pengetahuan kita, bahwa manusia mampu menyesuaikan diri, dan daya penyesuaian ini adalah kemampuan untuk mengubah dan mengembangkan kekuatan pikirannya. Selama manusia menetap di atas planit ini, tirani, kekejaman, dan pengekangan apapun yang mereka hadapi, mereka tetap dan harus tetap berfikir. Esensi dari pemahaman ini adalah, kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan suatu hal yang dinamik.
Apabila suatu warga masyarakat sampai pada suatu tingkat penilaian bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat diperlukan bagi perujudan kepentingan-kepentingan mereka yang nyata, yang setiap saat mereka rasakan, maka dengan sendirinya mereka akan tergerak untuk melakukan ikhtiar guna mewujudkan hak kebebasan menyatakan pendapat. Jika hak untuk mengeluarkan pendapat secara bebas itu dipahami sebagai suatu dasar untuk berperan serta dalam proses peng-ambilan keputusan, dan dipahami pula jika hak tersebut tidak digunakan dapat merugikan ke-pentingan para warga, maka dengan sendirinya mereka para warga masyarakat tersebut akan berusaha untuk menggunakan haknya itu.
Dari konsepsi pemikiran di atas, maka sukar untuk dipahami jalan pikiran yang menginginkan agar peraturan perundang-undangan hendaknya menciptakan suatu kondisi kebebasan dari rasa takut bagi warga masyarakat yang ingin menggunakan atas kebebasan berpendapat. Lagi pula ada argumentasi yang mengatakan bahwa orang harus dikekang, agar ia berbuat bebas. Bagi ahli hukum, hukum memberikan pengekangan tersebut.
Jadi, efektivitas pelaksanaan hak bebas menyatakan pendapat secara bebas tidak semata-mata tergantung pada kelayakan mekanisme dan prosedur-prosedur hukum. Efektifitas pelaksanaan kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai hak konstitusional sangat tergantung pada kelayakan sumberdaya politik yang harus dipunyai oleh warga masyarakat, yang memang menginginkan hak konstitusionalnya dipenuhi oleh negara (Abdul Hakim.G;1988)
Hakikat dari premis di atas, implementasi kebebasan berpendapat tidak berakar pada rasa takut, melainkan berakar pada; adanya pengetahuan dan pemahaman para warga masyarakat terhadap hak-hak konstitusional mereka yang telah secara jelas diakui dalam UUD; hak bebas menyatakan pendapat itu dipandang dan dirasakan warga masyarakat sebagai sesuatu yang esensial untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka; adanya prosedur hukum yang memadai yang diperlukan guna menuntut agak hak konstitusional itu tetap dihormati; adanya kecakapan dari warga masyarakat untuk memperjuangkan dan mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat secara bebas; dan adanya sumber daya politik yang memadai yang diperlukan warga masyarakat guna memperjuangkan hak mereka untuk menyatakan pendapat secara bebas.
Berfikir Kritis.
Kebebasan untuk menyampaikan kritik sama pentingnya dengan kebebasan menyampaikan kritik dalam sebuah negara yang menyatakan dirinya negara demokratis. Meskipun begitu, apakah benar bahwa berfikir secara kritis berangkat dari adanya suatu kelemahan hasil pemikiran orang lain, sehingga seringkali berakibat buruk pada dirinya. Dalam keadaan demikian ini kritik menjadi tidak sehat dan dapat menimbulkan akibat yang tidak baik serta menjadikan seseorang takut melancarkan suatu kritik.
Pemahaman (asumsi ?) di atas, agaknya harus dikembalikan kepada apa itu “berfikir”. Secara umum, maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berfikir. Dan defenisi yang paling umum dari berfikir adalah perkembangan idea dan konsep. Pemikiran keilmuan akan sangat berbeda dengan pemikiran biasa.
Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berfikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berfikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu, dalam hal ini, adalah pengetahuan. Dengan demikian “berfikir kritis” itu sebenarnya adalah berfikir secara keilmuan. Bagi kalangan awam “berfikir kritis” itu seringkali kali dilihat dalam kontelasi berfikir biasa yang kadang kala memang melahirkan konflik, kegelisahan atau pun ketidak mengertian terhadap sesuatu.
Jika wilayah kerja dari “berfikir kritis” dikenal dengan baik, maka tidak cukup alasan suatu kritik yang dilancarkan akan menimbulkan akibat yang tidak baik bagi diri orang yang melakukannya. Masalah tentu akan lain, apa yang semula disangka sebagai “kritik”, tetapi sebenarnya “kritik” yang terkonsepsi dalam apa yang disebut “tundingan” dengan segala dimensinya.
Mengenal dengan baik dimana wilayah “berfikir kritis”, sekaligus akan menjelaskan batas antara kritik dan penghinaan atau pun kebencian. Dengan demikian, berarti kebebasan menyampaikan kritik dalam konstelasi berfikir kritis, bukanlah sesuatu yang tanpa batas. Batas dari kebebasan menyampaikan kritik itu secara ketetanegaraan ialah tujuan nasional.
Di sisi lain George Kenan (1968;10) mengungkapkan, bahwa setiap kebebasan dari suatu berarti kebebasan pada sesuatu. Dan mengingat realita kita merupakan realita yang kompleks, dimana pertentangan nilai tidak pernah absen, maka tidak ada kemajuan kearah suatu tujuan khusus, bahkan pada pencarian kenikmatan pun tidak, yang secara lansung menyatakan pengorbanan tujuan-tujuan lainnya. Dengan alasan ini kebebasan hanya dapat dirumuskan hanya berkenaan dengan kewajiban, pengekangan dan pengorbanan yang diterima. Sebagai suatu konsep kebebasan tersebut hanya ada dalam hubungan dengan hal yang lainnya yang perumusannya kebalikannya; dan hal lain tersebut berarti janji/komitmen, tugas, pengekangan diri.
Terminologi dari berfikir kritis dalam konteks batas-batas kebebasan menyampaikan kritik di Indonesia parameternya tidak dicarikan dalam demokrasi yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat yang betumpu pada paham induvidualisme --manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka-- Ia boleh berbuat apa saja sesuka hatinya, asal jangan mengganggu keamanan orang lain. Terminologi kebebasan menyampaikan kritik di masyarakat kita parameternya dicari dalam demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat yang berdasarkan rasa bersama “kolektiviteit”.
Selain itu, secara proporsional kebebasan menyampaikan kritik tidak dapat dilepaskan dari apa yang yang dinamakan kepekaan. Dalam konteks ini harus dipenuhi adanya kesediaan untuk memahami perkembangan yang berlansung. Dengan kesedian yang demikian, akan dipahami apa yang ada dalam diri kita adalah the real reality, tetapi orang lain juga punya konsep tentang the real reality.
Dengan demikian untuk mengimplementasikan kebebasan menyatakan pendapat dan menyampaikan kritik, tidak sepenuhnya ditentukan atau didukung oleh ada atau tidak adanya rasa bebas dari rasa takut. Malainkan lebih dimungkinkan oleh terpenuhinya prasyarat; yakni “keterbukaan” secara timbal balik. Keterbukaan --apakah reflektif atau partisipatif-- itu tidak semata-mata didorong niat baik, tetapi yang tidak kalah penting adalah bersendikan skill untuk refleksi dan penyidikan. Dengan begitu, orang tidak perlu takut menyampaikan pendapatnya atau menyampaikan kritik karena memang rasional dan tentunya disertai dengan rasa tanggung jawab serta etika. *
* Boy Yendra Tamin, SH.,MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×