Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Sistem Budaya (Pemerintahan Adat) Alam Minangkabau

Oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Di dalam Tambo Adat Alam Minangkabau dituturkan :

Dibalah balah patigo

Sirawik pambalah rotan

Luhak dibaginyo tigo

Adat dibaginyo Salapan

Nan Ampek tabang ka langik

Nan Ampek tingga di dunia

Nan Ampek tabang ka langik

Aso Bulan Duo Matohari

Tigo Timua Ampek Salatan

Nan Ampek tingga di dunia

Rumah Gadang Lumbuang Bapereang

Sawah Gadang Banda Buatan

Minangkabau, adalah nama alam, wilayah dari sebuah sistem hidup dan kehidupan yang memiliki institusi dengan karakter unik, khusus dan khas, yang disebut Alam Minangkabau. Kosakata Ulayat, atau ulayek, berasal dari kata wilayat, wilayah, yakni sebuah kawasan yang terdiri dari tanah bumi, langit dan segala isinya di kawasan tersebut. Sebagai sebuah kawasan atau wilayah tentu saja memiliki batas-batas wilayahnya, yang dapat dibedakan antara wilayah inti dan wilayah rantaunya. Wilayah inti daerah tersebut dibagi atas Tiga Luhak, yaitu :

1. Luhak Tanah Datar, disebut juga Luhak Nan Tuo

2. Luhak Agam, disebut juga Luhak Nan Tangah

3. Luhak Lima Puluh, disebut juga Luhak Nan Bonsu

Untuk mendapatkan keseimbangan hidup dan kehidupan, tata hubungan antar sistem yang berimbang, harmoni dan memiliki keselarasan hidup bersama, maka sistem utama, prinsip dasar kehidupan bersama itu dibagi atas dua kelarasan, disebut sebagai Laras Nan Dua, yakni :

1. Kelarasan Koto Piliang, disebut juga Lareh Nan Bunta

2. Kelarasan Bodi Caniago, disebut juga Lareh Nan Panjang.

Sistem ini dicetuskan oleh dua orang tokoh utama Adat Minangkabau, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun demikian, ada satu nagari yang tidak masuk kepada salah satu kelarasan ini, tetapi tetap memakai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kedua sistem tersebut dalam upaya penegakan hukum di Minangkabau. Nagari tersebut adalah Pariangan yang pada awalnya berasal dari satu kaum Nan Salareh Batang Bangkaweh, diungkapkan dalam bidal adatnya :

Pisang sikalek-kalek hutan

pisang timbatu nan bagatah

samo dijuluak kaduonyo

Koto Piliang inyo bukan

Bodi Caniago inyo antah

samo dipakai kaduonyo

Datuk Ketumanggungan yang pertama-tama mengatur perkara-perkara yang menyangkut hukum dan sistem kehidupan beragama dan kesantunan adat dalam hidup beraja-raja, sementara Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun dan menata Adat berkaum-kaum yang dikenal sampai sekarang sebagai Adat bersuku-suku, dengan prinsip dasar duduk sama rendah, tegak sama tinggi, putuih kato dek sepakat. Artinya segala pimpinan kaum yang disebut Penghulu Suku di tiap-tiap nagari haruslah sama hak dan kekuasaannya sama derajatnya. Dan kalau bertambah kaum dan anak buahnya boleh ditambah pula penghulunya menurut aturan dan tatacara adatnya.

Akan tetapi menurut Datuk Ketumanggungan tidaklah begitu. Melainkan pemimpin-pemimpin atau Penghulu-Penghulu itu tidaklah sama tinggi, tetapi ada tingkatnya, ada pucuknya, adapula sandi andikonya, ada tingginya ada pula rendahnya. Konsep pemikirannya adalah “bajanjang naiek batanggo turun”, ada anggo tanggonya.

Pada awalnya terjadi perbantahan antara kedua tokoh, yang memuncak menjadi konflik ideal, namun ternyata kemudian kedua tokoh tersebut sama-sama mengarifi dan menyadari keku rangan dan kelebihan masing-masing. Lalu diadakan perdamaian antara kedua tokoh pemikir sekaligus pendiri kebudayaan Minangkabau ini.

Kedua tokoh bersaudara satu ibu, lain ayah ini sepakat untuk mengakhiri konflik dan pertikaian mereka. Sumpah Sakti diadakan dalam perdamaian mereka untuk tidak melanggar aturan masing-masing, namun saling memakai keduanya. Sumpah Sakti ditandai dengan upacara simbolik meminum air keris si ganjo erah, dilanjutkan dengan sebuah tikaman keris, pada sebuah batu, yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang sehingga batu itu jadi berlubang. Dan sebuah hentakkan tongkat ke sebuah batu, yang dilakukan oleh Datuk Ketumang gungan sehingga batu itu jadi pecah.

Inilah dasar Adat yang kemudian sama-sama terpakai di Alam Minangkabau, yang dikenal sebagai Kelarasan Koto Piliang (KKP), menurut konsep Datuk Ketumanggungan dan Kelarasan Bodi Caniago (KBC), menurut konsep Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sementara Nan Salareh (se-kelarasan) Batang Bangkaweh (KBB) khusus di Pariangan Nagari Tuo, merupakan “kelarasan penyangga” yang netral antara keduanya, dipimpin oleh Datuk Sari Maharajo Nan Banego-nego, adik kandung Datuk Perpatih Nan Sabatang satu ibu satu ayah.

Meminang

Adapun yang disebut meminang pada batinnya adalah meminang Undang-Undang dan Hukum. Menuntut diadakannya Undang-Undang dan Hukum yang mengatur masyarakat banyak. Kalaupun sebelumnya ada, namun belumlah lengkap aturannya. Karena itu perlu disusun dan disempurnakan. Menurut riwayatnya, hal ini dijelaskan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dalam pertanggungan jawabnya ketika ia meminang adik kandungnya sendiri. Yang membuat semua pihak jadi terkejut. Dengan tegas Datuk Perpatih Nan Sabatang mengatakan, yang katanya dalam bahasa Indonesia :

“Adapun sebabnya denai meminang, meminang adik pada lahirnya, meminang undang-undang dengan hukum pada batinnya. Sebab, yang selama ini, sawah gadang berpematang, tetapi tidak tentu rupanya, seperti apa sawah gadang itu, seperti apa pematangnya. Gurun tandeh berbintalak, tetapi belum jelas seperti apa gurun itu. Ada bateh sempadan, apa lantak bintalaknya. Mengapa dan bagaimana, lalu dimana batas sempadan itu. Kalau berdinding rumah gadang itu, tentu ada berbilik, lalu di mana letak bilik gadang, di mana bilik dalam-nya dan di mana pula letak bilik ketek-nya ? Inggo jo Inggan (hingga–batas) sesuatu itu tidak jelas duduk dan kedudukannya, tidak ada hukum dan undang undang yang mengaturnya. Kalaupun ada, jika bertampuk tentu dapat dijinjing, dan jika bertali tentu dapat ditarik, kalau ada rupa tentu dapat dipandang dan dirasakan. Tetapi itu hanya karena bisa alah biaso, karena sudah seperti itu sejak dahulunya. Namun hukum dijatuhkan kenapa undang-undang tidak disusunkan ?.

Oleh sebab itu, marilah kita rapek-papek, bermusyawarah dan bermufakat untuk berbincang-bincang kaji lamo, kita buka tambo pusako, dikaji awal dengan akhir, disusun adat jo limbago. Adapun buek nan dahulu disempurnakan dengan adatnya, didudukkan pula sistem pusako, disempurnakan dengan waris namanya. Waris dijawek, pusako ditolong, Adat dipakai Limbago dituang, disusun pula Undang dengan Hukum, disusun dengan Rukun dan Syaratnya. Jika ada sesuatu yang akan dijalankan, haruslah jelas adat dan limbago-nya, jelas sako dan pusakonya, jelas batas sempadan nya, jelas hingga dan batasnya, jelas hukum dan undangnya. Jika ada yang salah, jelas timbangannya. Jika ada yang berhutang, jelas apa pembayarnya.

Jika hidup bertongkat budi, mati tanah tersirah, jelas duduk dan tegaknya. Jika tegak sama tinggi, jika duduk sama rendah, tentulah tinggi tidak ketinggian, tetapi tinggi karena ditinggikan, ditinggikan saranting dek bulek kato basamo. Jika bulat kato basamo, bukanlah bulat sembarang bulat, tetapi bulek aie dek pambuluh, bulek kato dek mufakat.

Jika dahulu tidak kedahuluan, tetapi dahulu karena didahulukan, didahulukan selangkah oleh yang bersama, ialah karena bulat kata bersama juga, bulat kata karena mufakat juga. Jika berbaris, berbelebas, artinya jelas barih balabehnyo. Jika ber-ukur, berjangka, jika ber-suri, berteladan, artinya jelas ukur jangkanya, jelas suri tauladannya. Jika berbungkal, berneraca, jelas bungka-naraconyo. Jika bercupak, ber gantang, jelas cupak dan gantangnya. Itulah baru dapat dikatakan, Adat diisi (dipakai) Limbago dituang, undang-undang jalan, hukum tegak sendirinya. Barulah tegak kerajaan, berdiri pemerintahan. Tuah gumelang ka langik tinggi, sati malimbak ka lawiktan, kiramaik datang dibari Tuhan.”

Inilah yang menjadi pintak jo pinto, Datuk Perpatih Nan Sabatang, pada zamannya. Dan usul permintaan Datuk Perpatih Nan Sabatang, secara jujur dan spontan akhirnya diterima oleh masyarakat banyak, oleh orang besar negeri pada waktu itu. Diantaranya yang terpenting adalah saudara seayah Datuk Perpatih Nan Sabatang, yakni Datuk Ketumanggungan dan Ibunya sendiri yakni Puti Indojalito, diikuti oleh mamak kandung mereka yaitu Datuk Suri Dirajo yang ikut me restui dengan senang hati. Dari hasil pertemuan pimpinan-pimpinan negeri ini akhirnya oleh Puti Indojalito, berpetuah bahwa :

”Tantangan nagari-ko, memang alah patuik pulo kironyo kito susun adaik jo limbagonyo, kito patikan undang-undang jo hukumnyo, di darek jo pasisie, taruih ka rantau hilie jo rantau mudiek”. (Tentang negeri ini memang sudah sepatutnya kita susun adat dan lembaganya, kita patikan undang-undang dan hukumnya di darat dengan pesisir terus ke rantau hilir dan rantau mudik.)

Kemudian seluruh orang besar negeri, urang basa-basa, berhimpun merancang undang, adat dan limbago. Habis hari berganti hari, tidak didapatkan sebuah keputusanpun karena silang pendapat, bertukar paham masing-masing. Akhirnya hanya dicapai satu kesepakatan bersama untuk menyerahkan kerja besar ini, merancang undang, adat dan limbago, merancang cupak dan gantang, bungka nan piawai taraju nan bagatok, kepada orang yang berdua, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Dalam kepemimpinan tokoh adat yang dua orang ini, lalu disusun dan dirancang adat dan limbago dengan didampingi Datuk Suri Dirajo yang memberikan pertimbangan-pertim bangan, menukuk mengurangi apa-apa yang telah disusun. Dasar-dasar yang menjadi landasan konsep mereka adalah barang dari yang ada sejak dahulunya, sejak dari Padang Sikulun.

Ditambah disisipi, kemudian ditimbang-timbang dan dibanding oleh Datuk Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai. Ada yang bertukar sebut dari yang ada sebelumnya, seperti misalnya : nakan dahulunya diganti dengan warih pada konsep yang kini. buek dahulunya diganti dengan sandi undang dan adat, saiyo dahulunya diganti dengan mufakat kininya.

Akhirnya setelah konsep dasar ini selesai dan ditimbang-timbang buruk baiknya, kurang cukupnya, dan direstui oleh Niniak Cati Bilang Pandai dan Datuk Suri Dirajo, kemudian oleh Datuk Nan baduo, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, lalu dilelokan disosialisasikan kepada orang ramai, kepada masyarakat banyak yang berkumpul di Padang Sikuyan-kuyan, di bawah sebatang pohon kayu, dihadapan segala basa-basa, sagalo pangulu, sagalo manti jo pandito bintaro-hulubalang, urang cadiek candokio, didanga dek urang nagari, dipaiyokan gadang ketek tuo mudo, laki-laki jo parampuan. Tidak seorangpun juga yang tinggal, yakni di saedaran gunuang Marapi nan sahiliran Batang Bangkaweh

Maka sejak saat itu sepakat orang-orang negeri terhadap apa yang telah dirancang, lalu meneguhkan Buek di Padang Sikulun, dipati dengan kebesaran Raja-Raja, ditukar Undang Tarik Balas dengan Limbago Nan Sapuluh, Undang-Undang Sambilan Pucuak.

Adapun Limbago Nan Sapuluh, terdiri dari :

1. Undang Nan Duo Puluah

2. Undang-Undang Luak Jo Rantau

3. Undang-Undang Dalam Nagari

4. Undang-Undang Nagari

5. Cupak Usali

6. Cupak Buatan

7. Kato Pusako

8. Kato Mupakek

9 Kato Daulu Ditapati

10. Kato Kudian Kato Bacari

Adapun Limbago Nan Sapuluah ini dilelokan, (disosialisasikan) disampaikan dan diundang kan jadi Undang-Undang, dengan Sembilan Pucuk-nya. “Nan duo punyo limbago, ka-ateh ciek pucuknyo” yakni : Kato Daulu Ditapati, Kato Kudian Kato Bacari. Maka yang dikatakan Undang-Undang Sembilan Pucuk, dikumpulkan atas tiga kategori besar yakni :

I. Undang Nan Ampek

1. Undang Nan Duo Puluah

2. Undang-Undang Luak Jo Rantau

3. Undang-Undang Dalam Nagari

4. Undang-Undang Nagari

II. Cupak Usali dan Cupak Buatan

5. Cupak Usali

6. Cupak Buatan

III. Kato Nan Ampek

7. Kato Pusako

8. Kato Mupakek

9. Kato Daulu Batapati, Kato Kudian Kato Bacari.

Emral Djamal Dt Rajo Mudo

Dok Salimbado

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar