Di Indonesia banyak jenis dan bentuk peraturan dan salah satunya adalah Peraturan Desa (Peraturan Nagari di Sumatera Barat). Ada pun yang dimaksud dengan Peraturan Desa itu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Semasa berlakunya UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Desa (Peraturan Nagari) termasuk ke dalam salah satu dari jenis dari apa yang disebut dengan Peraturan Daerah. Namun setelah berlakunya UU No 12 Tahun 2011, maka Peraturan Desa tidak lagi termasuk dalam kategori Peraturan Daerah atau tidak lagi dalam lingkup apa yang disebut dengan jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan.
Meskipun Peraturan Desa (Peraturan Nagari di Sumatera Barat) tidak lagi ditempatkan sebagai jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan, tetapi keberadaan Peraturan Desa tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kedudukan Peraturan Desa atau Peraturan Nagari di Sumatera Barat serupa itu sama halnya dengan keberadaan peraturan lainnya selain yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011.
Kedudukan Peraturan Desa seperti dikemukakan di atas adalah atas dasar dari ketentuan Pasal 8 UU 12 Tahun 2011 yang menyebutkan:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan olehMajelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dari ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tersebut, maka jelas peraturan desa sebagai peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa (atau Walinagari di Sumatera Barat)bersama Badan Permusyarawatan Desa merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dan dikeluarkannya Peraturan Desa dari jenis dan hirarakhi Peraturan perundang-undangan secara harfiah tidak mengurangi makna keberadaan Peraturan Desa, tetapi dari perspektif kajian akademik tentu pengeluaran Peraturan Desa dari jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan menarik untuk disimak. Dimana sebelumnya ada pemikiran dan kajian yang mendalam sehingga Peraturan Desa masuk sebagai jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan sebagaimana adanya pada UU No 10 Tahun 2004, tetapi kemudian vide UU No 12 Tahun 2011 kebijakan hukum itu “mentahkan” lagi dengan mengeluarkan Peraturan Desa dari jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan. Atas kebijakan pembentuk undang-undang itu, maka pertanyaan akademisnya, mengapa dan apa pertimbangan teknis dan filofis sehingga Peraturan Desa dikeluarkan dari jenis dan hirarkhis Peraturan Perundang-undangan.
Secara eksplisit dalam UU No 12 Tahun 2011 tidak ditemukan secara khusus alasan mengapa peraturan desa dikeluarkan dari jenis dan hirakhi peraturan perundang-undangan, namun tentu para pembentuk undang-undang tentu memiliki alasan dan pertimbangan sendiri mengenai pengeluaran Peraturan Desa dari hirarkhi peraturan perundang-undangan. Lepas dari soal apa yang menjadi pertimbangan pengeluaran Peaturan Desa sebagai jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan itu, satu hal yang menarik untuk dikaji adalah keberadaan Peraturan Desa dengan peraturan lainnya adalah berkaitan dengan apa yang disebut dengan Otonomi Desa dan Desa (Nagari di Sumatera Barat) sebagai unit pemerintahan terendah yang otonom.
Sebagaimana disebutkan UU Desa, bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kedudukan Desa yang demikian, maka proses dan prosedur pembuatan dan pembentukan Peraturan Desa yang dibuat Kepala Desa bersama dengan Badan Permusyawatan Desa layaknya pembentukan Peraturan Daerah yang dibuat oleh Kepala Daerah bersama dengan DPRD. Dari sisi keberadaan Desa itu, menurut hemat kita semestinya Peraturan Desa tetap berada dalam jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan.
Apalagi jika dipahami keberadaaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis dan berdasarkan Pasal 55 UU Desa, Fungsi BPD terkait pembentukan Peraturan Desa adalah :
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; danc. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.Fungsi BPD tersebut juga tercermin dari hak anggota BPD untuk mengajukan usul rancangan Peraturan Desa. Jadi, peran BPD dalam pembentukan Peraturan Desa adalah sebagai pengusul rancangan Peraturan Desa serta sebagai mitra Kepala Desa dalam membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa. Dan dari aspek kelembagaan dan mekanisme pembentukan Peraturan Desa pada prinsipnya seperti adanya mekanisme pembentukan Peraturan Daerah, dan karenanya ada baiknya Peraturan Desa atau dengan nama lain seperti Peraturan Nagari di Sumatera Barat dimaksukan kembali ke dalam jenis dan hirarkhi peraturan Perundang-undangan (Boy Yendra Tamin)