by Ibnu Hajar
Di Indonesia peningkatan pelayanan publik menjadi kebutuhan yang mendesak agar kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Tonggak reformasi yang dimulai Tahun1998 adalah titik awal yang penting untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan pengembangan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi satu tugas bagi setiap pemerintahan di daerah. Terlebih lagi pelayanan publik menjadi primadona bagi daerah-daerah guna menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya. Berbagai terobosan kebijakanpun gencar dilakukan demi dan untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Agus Dwiyanto, Pelayanan Publik selama ini telah menjadi ranah di mana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi langsung dengan pihak non pemerintah. Dalam ranah ini telah terjadi perjuangan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warga, dan baik atau buruknya dalam pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat. Ini sekaligus membuktikan, jika terjadi perubahan signifikan dalam pelayanan publik dengan sendirinya manfaat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat [1].
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, dan cerdas tentang mana yang harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, dan menambah sumber aset publik melalui investasi publik dengan tidak membebani masyarakat. Semestinya pelayanan merespon pada kepentingan dan kebutuhan publik, dengan mengubah paradigma dari pelayanan yang sifatnya sentralistik menuju ke pelayanan yang memberikan unsur kepuasan.
Menurut survey yang dilakukan Universitas Gadjah Mada secara umum stakeholder menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh yang diharapkan dan masih memiliki kelemahan yang diantaranya adalah [2]:
Kurang responsif . Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas sampai pada tingkatan pertanggungjawaban instansi.
- Kurang inovatif. Berbagai macam informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat menjadi terlambat atau bahkan tidak sampai.
- Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan jauh dari jangkauan masyarakat.
- Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan yang lainnya sangat kurang koordinasi.
- Birokratis.
- Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat.
- Tidak efisien, berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan.
Sejak bergulirnya reformasi upaya penataan, pembaruan, dan pembenahan budaya penyelenggaraan pemerintahan terus dilakukan. Kebijakan ini dilakukan untuk mengubah citra aparatur yang sebelumnya dipandang lamban (karena birokrasi yang panjang) dan tidak transparan. Selanjutnya selain mengubah citra aparatur dan dilakukannya efisiensi birokrasi, langkah berikutnya untuk mewujudkan good governance pelayanan publik adalah adanya efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Secara sederhana efektivitas dapat diartikan sebagai tepat sasaran yang juga lebih diarahkan pada aspek kebijakan artinya program pembangunan yang akan dan sedang dijalankan ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat yang benar-benar diperlukan guna meningkatkan produktivitas rakyat sehingga berdampak pada meningkatnya investasi publik dalam bidang sosial dan ekonomi. Konsep mengenai efektivitas tidak bisa dilepaskan dari teori sistem, yang antara lain [3]:
Bahwa kriteria efektivitas harus mengambarkan seluruh siklus input-proses-output.
- Bahwa kriteria efektivitas harus menggambarkan hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungan yang lebih besar.
Selanjutnya, selain efektivitas hal yang kedua adalah adanya efisiensi, karena lebih melekat pada upaya organisasi pemerintah untuk menghemat sumber daya publik yang dititipkan padanya. Efisiensi juga menunjukkan pada rasio minimal antara input dan output. Input yang kecil diikuti dengan output yang besar merupakan kondisi yang diharapkan.
Efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam pelaksanaan pelayanan publik. Sedangkan efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang, maupun misi organisasi. Efektivitas adalah ukuran bagaimana suatu kualitas, suatu output itu dihasilkan melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, bagaimana mencapai outcome yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan publik tentunya keterlibatan dan kerjasama semua stakeholder dalam hal ini pemerintah, masyarakat dan pihak swasta harus ditumbuhkembangkan secara berkesinambungan, sehingga pada akhirnya diharapkan praktik pelayanan publik dapat memenuhi nilai-nilai yang diisyaratkan dalam implementasi good governance.
Sejalan dengan komitmen nasional untuk melakukan transformasi dan reformasi di segala bidang, di Indonesia dituntut untuk dapat membentuk kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat secara nyata yang terlibat dalam berbagai kolaborasi dalam segala bidang, antara lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, pengendalian program pembangunan dan pelayanan publik, serta pengelolaan bersama prasarana dan sarana publik. Pemerintah tengah berada pada batas kapasitas kinerja, dimana setiap penambahan beban baru pelaksanaan pemerintahan, maka hal ini akan berarti mengurangi kemampuan dan kapasitas kinerja pemerintah pada bidang lainnya. Proses demokratisasi politik dan pemerintahan tidak hanya menuntut profesionalisme serta tingginya kinerja aparatur dalam pelayanan publik, tetapi secara fundamental menuntut terwujudnya kepemerintahan yang baik, bersih, bebas, korupsi, kolusi, nepotisme.
Lembaga Admisitrasi Negara mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada : (1). Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. (2). Pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif, efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional [4].
Orientasi pertama, mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti [5] :
Legitimacy (keabsahan)
- Accountability (Akuntabilitas)
- Securing of human right (Pengamanan hak asasi manusia)
- Autonomy and devolution of power and assurance of civilian control (Otonomi dan devolusi kekuasaan dan jaminan kontrol sipil)
Dalam United Nations Development Programme (UNDP) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek pelaksanaan kepemerintahan yang baik meliputi :
- Participation (Partisipasi). Setiap orang atau warga masyarakat, laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
- Rule of Law(Aturan Hukum). Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia.
- Transparency (Transparansi). Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.
- Responsiveness (Daya Tanggap). Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
- Consensus Orientation (Berorientasi Konsesus). Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
- Equity (Berkeadilan). Pemerintahan yang baik akan memberi kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
- Effectiveness and Efficiency (Efektivitas dan Efisiensi). Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang sesuai kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia.
- Accountability (Akuntabilitas). Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders).
- Strategic Vision (Visi Strategis). Para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
- Akuntabilitas. Adanya kewajibang bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
- Transparansi. Kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik ditingkat pusat maupun daerah.
- Keterbukaan. Menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintahan yang dinilai tidak transparan.
- Aturan Hukum. Kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.
Endnoot:
[1] Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, hlm. 83[2] Ibid. hlm. 85. [3] Ibid. hlm. 86. [4] Sedarmayanti, 2004, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Mandar Maju, Bandung, hlm. 42. [5] Ibid. hlm. 49-50. [6] Ibid. hlm. 43-44.Daftar Pustaka
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik, Nuansa CendekiaSedarmayanti, 2004, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik). Mandar Maju, Bandung