Oleh: Boy Yendra Tamin, SH.MH
Dosen Fak Hukum Universitas Bung Hatta/AdvokatMengubah atau mengganti suatu UU hal yang lazim dilakukan pemerintahan di berbagai belahan negara dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ada banyak alasan dan pertimbangan yang diajukan, mengapa suatu UU diubah atau diganti. Meskipun secara teoritik dan empiris, suatu produk hukum yang baik itu berlaku untuk jangka lama dan tidak mudah tergerus waktu.
Itulah sebabnya, mengapa suatu produk hukum, apalagi yang derjatnya Undang-Undang, dalam pembentukkannya memerlukan pemikiran, pembahasan dan pengkajian yang matang dan mendalam atas materi yang akan diatur. Pembentukan suatu UU perlu juga mengingat masa lalu, memperhatikan masa kini dan merencanakan masa datang, sehinga dapat berlaku untuk jangka waktu lama.
Di Indonesia, ada sejumlah UU yang dibentuk cenderung sebagai produk hukum berumur pendek dan terkesan sebagai respon atas persoalan temporer. Fenomena itu juga terjadi pada undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kurun waktu yang terbilang singkat UU tentang Pemerintahan Daerah berganti atau direvisi beberapa kali. UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah boleh dikatakan sebagai UU berumur panjang dibanding UU Pemerintahan Daerah sesudahnya. Apabila UU No 5 Tahun 1974 berlaku selama 25 tahun dan berakhir dengan diundangkanya UU No 22 Tahun 1999 , namun baru berumur 5 tahun, UU No 22 Tahun 1999 harus mengakhiri perjalananya dengan diundangkanya UU No 32 Tahun 2004.
Meskipun dalam banyak kajian, konsep pemerintahan Daerah dibawah UU No 22 Tahun 1999 dipandang sebagai konsep ideal pemerintahan yang ideal, tetapi ketika umurnya satu tahunan, UU No 32 Tahun 2004 sudah mengalami perubahan, yakni dengan dikeluarkannya Perpu No 3 Tahun 2005 dan tiga tahun kemudian kembali direvisi dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2008. Dan akhirnya era Pemerintahan Daerah di bawah UU No 32 Tahun 2004 berkahir pula yang ditandai dengan diundangkannya UU No 23 Tahun 2014.
Dari perjalanan pengaturan Pemerintahan Daerah vide UU itu, maka sukar untuk ditampik, bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia masih mencari bentuknya yang sesuai. Dan apa yang sudah dirumuskan dalam UU No 23 Tahun 2014 boleh jadi belumlah final, Faktanya memang demikian, dimana dalam usianya yang relatif pendek itu, UU No 23 Tahun 2014 telah dua kali mengalami revisi, yakni; Pertama vide Perppu No 2/2014 terkait tugas dan wewenang DPRD. Kedua vide UU No 9/2015 soal tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Terlepas dari apa yang menjadi alasan dan pertimbangannya mengganti atau merevisi UU Pemerintahan Daerah dalam rentang waktu singkat suatu undang-undang, selain menyulitkan bagi pertumbuhan Pemerintahan Daerah, sekaligus berdampak pada pemenuhan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah mencapai titik maksimal tujuannya. Apakah kondsi ini akan dirasakan dan dialami pula Pemerintahan Daerah di bawah UU No 23 Tahun 2014 ? Waktulah yang akan menjawabnya,
Mengawali Implementasi UU No.23 Tahun 2014.
Tidak banyak kalangan yang membicarakan soal “ruh” UU No 23 Tahun 2014, bahkan nyaris sepi dari ruang seminar, diskusi sekalipun. Respon yang banyak menarik perhatian adalah mengenai soal urusan pemerintahan. Padahal implementasi urusan pemerintahan Daerah dalam undang-undang baru ini harus diawali dari mengenali “ruh”nya. Mengapa ? Karena apa yang menjadi urusan pemerintahan Daerah adalah bermula dari apa yang dirumuskan mengenai otonomi daerah dan di pihak lain desentralisi.
Pada UU No 32 Tahun 2004 yang dimaksudkan dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu menurut UU No 14 Tahun 2014 otonomi daerah itu adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rumusan mengenai otonomi daerah dalam kedua undang-undang itu sepintas tidak ada bedanya, namun jika dicermati dengan seksama ada perubahan makna, yakni; Otonomi Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 diselenggaran sesuatu dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan pada UU No 23 Tahun 2014 otonomi daerah diselenggarakan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia. Dari perbandingan itu, pertanyaan pentingnya adalah apa yang menjadi tolok ukur pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan ? Pertanyaan ini secara akademis tentu tidak bisa dijawab begitu saja, namun setidaknya patut menjadi catatan bagi unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Selain memahami apa yang disebut dengan otonomi daerah, perlu dipahami pula mengenai desentralisasi dalam UU yang baru itu. Menurut UU No 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara menurut UU No 23 Tahun 2014 desentralisasi diartikan sebagai penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Perbandingan dari dua konsep Desentralisasi tersebut, tampak pergeseran makna mengenai desentralisas/
Pendekatan terhadap otonomi daerah dan desentralisasi dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru, tidaklah dimaksudkan untuk mengkajinya secara teoritis, tetapi lebih sebagai langkah awal dalam memulai pengimplementasian penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca diundangkannya UU No 23 Tahun 2014. Artinya dengan konsep otonomi daerah dan desentralisasi yang dianut UU No 23 Tahun 2016 dalam mengimplementasikannya tidak semata soal teknis, tetapi sekaligus harus memahami konsepsinya. Ini menjadi penting untuk terhindar persoalan yang muncul karena kealfaan dalam memahami prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dikembangkan UU No 23 Tahun 2014. [ Bersambung ke : Klasifikasi dan kriteria Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah]