Oleh: Zul Fadli, S.H., M.Kn.
Penulis adalah Notaris dan Founder Lingkar KenotariatanBerdasarkan Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, hukum positif mengenai perjanjian kawin mengalami perubahan. Salah satu perubahan yang signifikan, perjanjian kawin bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan. Perubahan norma Pasal 29 ayat (1) ini sangat membantu dan menguntungkan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak bisa memiliki tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan karena telah menikah dengan Warga Negara Asing (WNA).
Saat WNI menikah dengan WNA, maka menurut Pasal 35 UU 1/1974, terjadi kepemilikan harta secara besama-sama antara suami dan istri yang diperoleh selama perkawinan, kecuali hadiah dan warisan. Artinya ketika WNI yang menikah dengan WNA lalu membeli tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, terjadi kepemilikan bersama antara WNI dan WNA. Sementara itu, Regulasi Pertanahan di Indonesia melarang WNA memiliki tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan (lihat Pasal 21 dan 26, 30, 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraria).
Dengan diubahnya norma waktu pembuatan perjanjian kawin, yakni selama dalam ikatan perkawinan, maka WNI yang menikah dengan WNA bisa membuat perjanjian kawin kapan saja: baik sebelum, disaat, maupun selama dalam ikatan perkawinan, sehingga hak WNI untuk memiliki tanah dengan status hak apapun tidak terhalang lagi karena terjadinya persatuan harta dengan pasangan kawin WNA. Jika WNI telah terlanjur kawin dengan WNA namun sebelumnya tidak membuat perjanjian kawin, maka perjanjian kawin itu bisa dibuat dalam masa ikatan perkawinan.
Pemanfaatan pembuatan perjanjian kawin dalam masa ikatan perkawinan tentunya juga bisa dimanfaatkan oleh seluruh pihak, termasuk juga WNI yang menikah dengan WNI. Misalkan seorang pengusaha yang menjadi terhambat urusan bisnisnya jika setiap melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan persetujuan dari pasangan kawinnya, maka perjanjian kawin dengan klausul pemisahan mutlak harta dalam perkawinan juga bisa menjadi solusi sepanjang disepakati oleh keduabelah pihak.
Perubahan selanjutnya, MK memunculkan alternatif pengesahan perjanjian kawin oleh Notaris. Sebelumnya, pengesahan perjanjian kawin hanya dapat dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, namun melalui Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 perjanjian kawin juga bisa disahkan oleh notaris.
Frasa “... perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan ...” yang tetera pada Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 menjadi landasan pendapat bagi sebagian kalangan Notaris perlunya dilakukan pencatatan perjanjian kawin. Sebenarnya pengesahan dan pencatatan merupakan dua hal yang berbeda, UU 1/1974 bukan tidak mengenal istilah pencatatan, mari kita simak isi Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”.
Pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975). Pada ketentuan tersebut diatur Perkawinan yang dilangsukan menurut agama Islam dicatat oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan pencatatan bagi yang melangsungkan perkawinan agama dan kepercayaannya selain Islam di lakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil.
Kemudian, Pasal 60 ayat (2) UU 1/1974: “Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.”.
Pasal 61 ayat (1) UU 1/1974: “Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.”. Lalu, Pasal 61 ayat (3) UU 1/1974: “Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.”.
Jadi perintah dan istilah pencatatan hanya ada pada perkawinan, bukan pada perjanjian kawin. Perjanjian kawin hanya butuh disahkan oleh pegawai pencatat perkawin. Jika dalam praktiknya ditambahkan dengan pencatatan oleh pegawai pencatat perkawinan, hal itu bukanlah menjadi dasar untuk menentukan kewajiban pencatatan dan mengikat atau tidaknya suatu perjanjian kawin.
Sebagian praktisi hukum, sepertinya masih terjebak pada Pasal 152 KUHPerdata yang memerintahkan adanya pencatatan/pendaftaran perjanjian kawin, “Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang menyimpang dari harta-bersama menurut undang-undang, seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada pengadilan negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu dilangsungkan, atau kepaniteraan di mana akta perkawinan itu didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri.” Padahal ketentuan tesebut sudah dicabut oleh Pasal 66 juncto Pasal 29 UU 1/1974.
Selanjutnya, pengesahan perjanjian kawin setelah putusan MK, seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, tidak hanya monopoli dari pegawai pencatat perkawinan, pengesahan perjanjian kawin juga bisa dilakukan oleh Notaris. Ini adalah norma baru yang tentunya dipandang progresif oleh sebagian kalangan. Masyarakat yang membutuhkan perjanjian kawin tidak harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, akan tetapi memiliki alternatif lain, yakni Notaris.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah Notaris melakukan pengesahan perjanjian kawin? Banyak istilah pengesahan yang muncul dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentah Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Dari istilah pengesahan, mengesahkan maupun disahkan yang ada pada UUJN bisa kita pahami seperti apa pengesahan perjanjian kawin oleh Notaris: 1). Pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN: mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 2). Pasal 15 ayat (2) huruf d UUJN: melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. 3). Pasal 48 ayat (2) UUJN: Perubahan isi akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Kemudian, 4). Pasal 50 ayat (2) UUJN: Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 5). Pasal 61 ayat (1) UUJN: Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya, menyampaikan secara tertulis salinan yang telah disahkannya dari daftar akta dan daftar lain yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari pada bulan berikutnya kepada Majelis Pengawas Daerah.
Dalam hal menjalankan kewenangan Pasal 15 ayat (2), notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan. Untuk surat dibawah tangan yang lazim disebut akta di bawah tangan yang dilegalisasi, dalam kewenangan ini notaris hanya mengesahkan tanda tangan para pihak. Jika Notaris ingin mengesahkan keseluruhan perjanjian kawin maka pengesahannya dengan dituangkan ke dalam akta Notaris.
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bentuk dan tata caranya ditentunkan oleh UUJN. Jika akta di bawah tangan yang dilegalisasi Notaris hanya mengesahkan tanda tangan para pihak, maka dengan dituangkan kedalam akta Notaris mulai dari kepala akta hingga seluruh tanda tangan para pihak maupun saksi disahkan oleh Notaris selaku pejabat umum yang mewakili negara dalam ranah hukum privat.
Dengan telah dituangkan ke dalam akta Notaris, tidak perlu lagi adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan, baik di Kantor Urusan Agama bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, maupun di Kantor Catatan Sipil bagi yang melangsukan perkawinan menurut agama dan kepercayaanya selain Islam.
Mungkin ada yang bertanya, bukannya perjanjian kawin lazimnya dituangkan ke dalam akta notaris, kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan? Memang sebelum Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 hanya pegawai pencatat perkawinan yang berwenang mengesahkan perjanjian kawin, mau tidak mau akta notaris tentang perjanjian kawin pun mesti disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun dengan adanya Putusan MK tentang Perjanjian Kawin, maka tidak perlu lagi adanya pengesahan pegawai pencatatan perkawinan jika perjanjian kawin telah dituangkan ke dalam akta Notaris. [ Bagian sebelumnya: Perjanjian Kawin Tidak Perlu Dicatatkan]
Diselesaikan di Jambi, 11 Februari 2017