by Aandri saputra
Hak Menguji Mahkamah Agung Terhadap Peraturan di Bawah Undang-undang
Menurut yang dituangkan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian peraturan daerah atau peraturan perundangan-undangan yang dibuat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah peraturan dibawah Undang-undang.
Hak menguji yang di miliki oleh Mahkamah agung bukan hak menguji formil melainkan pengujian materil atau tentang isi dalam sebuah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan untuk mengetahui hak menguji yang dimiliki oleh Mahkamah Agung ada beberapa aturan yang terkait yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta peraturan yang terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Wewenang MA melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang selama ini diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi: "Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang alas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi". Wewenang tersebut dipertegas kembali dalaiu Ketetapan MPR No. IV/MPR/ I973 atau Ketetapan MPR No. lll/ MPR/1978, Pasal 11 ayat (4) menyatakan : “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang” (Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta 2003:65)
Pada tataran mahkamah agung dikenal dengan istilah judicial review, Judicial review refers to the authority of a court to review the constitutionality of legislative and executive actions. It means that a court can invalidate laws or decisions contrary to higher laws or regulations, particularly the Constitution. The term of judicial review is often used interchangeably with constitutional review. Nevertheless, judicial review has a broader meaning compared than a constitutional review. In this context, judicial review can both examine the constitutional validity of laws and regulations as well as administrative actions and decisions, while constitutional review is more specific to review the constitutionality of laws and regulations. (Jurnal Pan Mohamad Faiz, 2016:2)“judicial review mengacu pada otoritas pengadilan untuk menguji konstitusionalitas legislatif dan tindakan eksekutif. Ini berarti bahwa pengadilan dapat membatalkan undang-undang atau keputusan yang bertentangan hukum atau peraturan yang lebih tinggi, terutama Konstitusi. Istilah judicial review adalah sering digunakan bergantian dengan ulasan konstitusi. Namun demikian, judicial review memiliki luas yang berarti dibandingkan dari constitutional review. Dalam konteks ini, judicial review bisa baik menguji validitas konstitusi hukum dan peraturan serta tindakan administratif dan keputusan, sementara constitutional review lebih khusus untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan peraturan”
Judicial review sendiri berbeda dengan constitusional review, di Indonesia yang memiliki hak pengujian terhadap UU yang bertntangan dengan konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang apa bila ada permohonan maka MA akan melakukan pengujian terhadap permohonan tersebut. Sebagaimana Law No. 3 Year 2009. Article 31A paragraph (1) and (2) of Law No. 3 Year 2009 are:
(1) Legislation testing applicat-ion under the law towards the law is submitted directly by the applicant or his power to the Supreme Court and written in Indonesian;
(2) The application as referred in paragraph (1) may only be carried out by a party that considers its rights harmed by the enactment of regulations under the law, namely :(a) An individual citizen of Indonesia;(b) The unity of community law all still alive and in accordance with the development of society and the principle of the Unitary State of the Republic of Indonesia regulatedin law; or(c) Public or private legal bodies.Mechanism intrinsically has become a part of effort and process to reinforcement of lawstate principle that set the Law as the highest law juridicially. This opinion is inline with tiered norms theory stated by Hans Kelsen that relations between norms that regulate the other norms making can be called as super and subordination relations in spatial contex. (Kartono, 2016:1)
Itu artinya jika ada sebuah aturan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dapat di ajukan permohonan ke Mahkamah Agung, dan tentunya permohonan tersebut adalah tentang materi atau permohonan pengujian materil bukan formil.
Kesimpulan
Jika pandangan dalam pengujian atas peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak sesuai dengan trias politica adalah sebuah pandangan yang keliru karena eksekutif melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah adalah demi tercapainya otonomi daerah yang baik karena mengingat supaya ada check and balance antara pemerintah pusat dengan daerah, kemudian jika di kaitan dengan tugas dan hak Mahkamah Agung sangat jelas bahwa pengujian terhadap produk hukum antara eksekutif dengan lembaga peradilan ini adalah dua hal yang berbeda, Mahkamah agung berhak melakukan pengujian materil sementara eksekutif atau pemerintah pusat dan gubernur melakukan pengawasan atau pengujian formil terhadap produk hukum daerah supaya tidak terjadi kesalahan terhadap produk hukum tersebut apabila telah di undangkan.
Saran
Setelah sebuah Undang-undang maupun aturan di bawahnya di undangkan hendaknya pemerintah yang berwenang memberikan pemahaman kepada masyarakat supaya tidak ada nya kesalahan pahaman di tengah masyarakat dalam menafsirkan sebuah aturan. Sangat penting jika masyarakat merasa ada sebuah aturan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan aturan yang lebih tinggi kemudian dengan ada nya pemahaman yang di berikan oleh pemerintah, masyarakat mengerti kemana sebuah aturan tersebut harus di ajukan permohonan untuk pengujian nya.
Baca bagian sebelumnya: Pengujian Terhadap Peraturan Daerah Dan Administrative Review
Daftar Pustaka
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Jimly Asshiddiqqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Press dengan PT Syaamil Cipta Media, JakartaKrishna D, Darumurti dan Umbu Rauta, 2003. Otonomi Daerah Perkembangan pemikiran, pengaturan dan pelaksanaan, Citra Aditya, Bandung
Kartono, Negative Correlation of Difference Formulation on Legal Standing Implementation of Judicial Revief in The Supreme Court, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 16 No. 1, January 2016, Purwokerto, Law Faculty of Universitas Jenderal Soedirman.
Khelda Ayunita, Abdul Razak, Aminuddin Ilmar, Analisis Yuridis Pembatalan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Judicial Review dan Executive Review, Jurnal Fakultas Hukum 2012, Makassar, Universitas Hasanuddin,
Pan Mohamad Faiz, Legal Problems of Dualism of Judicial Revief System in Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 16 No. 2, May 2016, Australia, TC Beirne School of Law, the University of Queensland The University of Queensland, St. Lucia Campus
Quido Benyamin Ngaji, Kewenangan Pembatalan Produk Hukum Daerah Oleh Pemerintah do Tinjau Dari Perspektif UUD 1945, Jurnal Hukum Program Pascasarjana 2015, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya
Zarkasi, Pengwasan Terhadap Peraturan daerah, Jurnal Ilmu Hukum 2012