By Hairul Saleh Hasibuan
Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan dengan Nomor : 130 / PUU – XII / 2015, tentang pengujian Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan tersebut dibacakan dalam Putusan Sidang Pleno Terbuka tgl 11 Januari 2017. Putusan tersebut berimplikasi hukum bahwa penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada JPU (Jaksa Penuntut Umum), Terlapor dan Pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Sprin Sidik (Surat Perintah Penyidikan).
Dilakukannya pengujian terhadap KUHAP tersebut berdasarkan surat permohonan dari Victor Santoso Tandisa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Norma Hukum yang diuji antara lain Pasal 50 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 149, dan Pasal 14 huruf i. Dalam pengujian tersebut, yang dipenuhi hanyalah Pengujian dengan Nomor Perkara 130/PUU-XII /2015, Pasal 109 ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan suatu tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.
Menurut pemohon, kalau tidak dilakukannya pengujian terhadap Pasal 109 ayat (1), hal tersebut jelas berimplikasi kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Sebab hak-hak terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal ini berimbas tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor yang juga tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Namun demikian dampak negatif terhadap dikabulkannya dari pengujian terhadap Pasal 109 ayat (1) pasti ada dan hal tersebut akan ditanggung oleh korban/pelapor. Putusan dari pengujian Pasal 109 ayat (1) tersebut mengharuskan Penyidik untuk memberikan salinan SPDP kepada JPU, Terlapor, dan Korban/pelapor. Dengan diberikannya SPDP terhadap terlapor bahwa penyidikan atas perkara yang dihadapi oleh terlapor telah dimulai, yang mana pada saat itu terhadap terlapor belum atau tidak dilakukan penahanan, kemungkinan besar terlapor tersebut dapat menghilangkan Barang Bukti ataupun mencoba untuk melarikan diri.
Sebelum dikeluarkannya Putusan MK ini, Pemberian SPDP kepada JPU merupakan keharusan bagi Penyidik dalam menangani suatu tindak pidana. Tetapi terhadap terlapor dan juga korban/pelapor tidak diberikan salinanya, namun terhadap korban/pelapor diberikan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) yang didalamnya diuraikan bahwa langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pihak Penyidik dalam menangani perkara yang dilaporkannya kepada Polri. Dengan demikian pelapor/korban mengetahui sampai sejauh mana perkembangan perkara yang dilaporkan tersebut. Terkadang pemberian SP2HP ini terlupakan, hal ini jelas berimplikasi kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Sebab hak-hak terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal ini berimbas tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor yang juga tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Dalam memproses suatu laporan yang dilaporkan oleh korban/pelapor, tidak semua terhadap terlapor dilakukan penahanan. Terhadap terlapor yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih barulah dilakukan penahanan. Penahanan tersebut berdasarkan pada Pasal 20, Pasal 21 ayat (4) huruf a. Terhadap terlapor yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun bukan tidak dapat dilakukan penahanan. Penahanan tersebut dapat dilakukan tergantung pada penilaian oleh penyidik terhadap terlapor yang mana apabila telapor tersebut diduga akan melarikan diri, dapat merusak atau menghilangkan barang bukti, dan juga mengulang kembali tindak pidana.
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 / PUU – XII / 2015 Tentang Pengujian Kuhap, Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan. MK melihat adanya keterlambatan mengirimkan SPDP dari penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut. Faktanya yang terjadi selama ini kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut MK hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Mahkamah Konstitusi “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Penerbitan SPDP dalam waktu paling lama 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan adalah hal yang positif namun dalam hal pemberian SPDP kepada terlapor yang tidak dilakukan penahanan akan sangat merugikan korban/pelapor serta juga akan menambah beban pekerjaan penyidik yang dikarenakan terlapor yang tidak dilakukan penahanan dapat melarikan diri maupun merusak barang bukti. Namun bagi terlapor yang dilakukan penahanan dapat membantunya karena dapat mengetahui bahwa perkara yang sedang dihadapinya sudah dimulai penyidikannya.* (mhss2ubh/dh1-ed)