Catatan Dr. Badrul Mustafa, DEA
Rasanya tidak ada orang Minang yang tidak mengenal lagu Teluk Bayur yang dinyanyikan oleh Erni Johan. Meskipun lagu itu mulai dipopulerkan awal tahun 1960-an, tapi ia melegenda sampai kini, sehingga anak-anak sekarang juga cukup kenal dengan lagu tersebut. Mungkin ia mendengar lagu tersebut diputar sebagai nostalgia oleh orangtuanya, atau didengarnya dari radio. Bahkan generasi yang hidup tahun 1960-an (semua suku) di seluruh tanah air juga mengenal lagu Teluk Bayur ini. Ini dikarenakan saat itu belum ada radio amatir, belum ada kaset, apalagi video. Pemancar televisi juga tunggal, yakni TVRI. Jadi melalui pemancar radio dan televisi yang tunggal ini, yang ditangkap oleh seluruh masyarakat di tanah air apa saja lagu yang hit di jakarta, tentulah juga dikenal dan disukai pula oleh seluruh masyarakat. Termasuk lagu-lagu daerah. Lagu-lagu Minang lama seperti Ayam den Lapeh, si Nona, Kampuang nan Jauah di Mato dll tidak saja disukai oleh orang Minang tapi juga di seluruh nusantara. Sebab lagu-lagu ini diputar oleh RRI di seluruh nusantara. Juga oleh TVRI.
Karena tidak ada saluran lain, semua lagu yang diperdengarkan atau ditayangkan oleh RRI/TVRI menjadi konsumsi seluruh masyarakat di tanah air. Demikian juga dengan lagu-lagu daerah Sunda, Batak, Jawa, Bugis, dlsb. Lagu Sunda Pileuleuyan, Teungteuingeun, Hayo Batur, Neng Geulis juga menjadi akrab di telinga suku lain. Lagu Angin Mamiri dari Makassar, Ampar-ampar pisang dari Kalimantan, Oo Ina Nikeke dari Sulawesi Utara dll juga menjadi lagu kesukaan seluruh masyarakat.
Kembali ke Lagu Teluk Bayur oleh Erni Johan, lagu ini menggambarkan seseorang yang akan meninggalkan tanah Minang untuk merantau, yang dilepas di pelabuhan Teluk Bayur. Di situ ada rasa sedih dan juga ada harapan untuk bertemu lagi suatu saat nanti. Lagu ini kemudian menjadi "lagu wajib" yang diputar setiap kapal penumpang mulai berangkat meninggalkan pelabuhan. Saya berkali-kali naik kapal penumpang milik PT Pelni ini sejak merantau tahun 1975. Mulai dari KM Batanghari yang tidak terlalu besar, KM Bengawan yang juga sekelas ukurannya dengan KM Batanghari, KM Tampomas yang lebih besar (namun kemudian terbakar di Masalembo), sampai kepada kapal yang besar/modern dan nyaman seperti KM Kerinci, KM Kambuna, KM Lambelu, dan KM Lawit. Semua kapal ini pernah melayani trayek Teluk Bayur-Tanjung Priok p/p.
Setiap kapal ini akan berangkat, setelah “klakson” kapal yang keras itu selesai dibunyikan sebagai tanda kapal akan berangkat, maka lagu yang berjudul teluk Bayur itu diputar berulang-ulang sampai kapal cukup jauh meninggalkan dermaga.
Sekarang di Teluk Bayur sudah tidak terdengar lagi lagu itu diputar oleh pelabuhan atau oleh kapal yang akan berangkat. Sebab, sejak awal reformasi PT Pelni praktis tidak lagi melayani penumpang dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok dan begitu juga sebaliknya. Jarak yang tanggung menyebabkan kapal penumpang kalah bersaing dengan pesawat terbang. (Catatan: di zaman Orde Baru tiket pesawat terbang sangat mahal karena ada praktek monopoli. Di zaman reformasi ketika pihak swasta bebas berinvestasi di bisnis transportasi udara, harga tiket menjadi lebih terjangkau). Dengan jalan darat (lintas Sumatra) yang relatif bagus dan lancar menyebabkan kapal laut juga kalah bersaing dengan bus.
Akibatnya, di pelabuhan Teluk Bayur sekarang hanya ada kapal barang yang melayani ekspor-impor. Sejak dulu sampai kini belum pernah keberangkatan kapal barang diiringi oleh lagu Teluk Bayur. Karena lagu ini terkait dengan penumpang/orang, bukan barang.
Akan lucu jadinya, atau tidak matching kalau keberangkatan semen, batu bara, atau rempah-rempah diiringi oleh lagu Teluk Bayur. Mungkinkah suatu saat nanti PT Pelni dapat menyediakan lagi kapal penumpang yang bagus dan nyaman dengan harga tiket yang cukup murah untuk melayani trayek Teluk Bayur – Tanjung Priok? *
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×