Keperluan pertanggungjawaban hukum yang jelas bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya merupakan kebutuhan yang esensial dalam upaya mewujudkan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yang antara lain UUPTPK Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dibentuk dan dirumuskan tanpa kehadiran (belum ada) UU administrasi pemerintahan yang menjadi dasar dan payung hukum bagi setiap tindakan dan keputusan pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Demikian salah satu kesimpulan disertasi Dr. Boy Yendra Tamin, SH. MH yang dipertahan dihadapan penguji pada Ujian Terbuka yang diberlangsung di auditorium Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Kesimpulan itu diawali dengan pemaparan Dr. Boy Yendra Tamin yang menyebutkan, pada 2016, ada 482 kasus korupsi dan umumnya berkenaan dengan penyalahgunaan kewenangan. Ini berarti kalangan pejabat pemerintahan di Indonesia menempati posisi teratas sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Kasus tindak pidana korupsi yang ditindaklanjuti penuntutan pada kisaran 1380 perkara per tahun. Sangat paradoks dengan tujuan pembentukan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Indonesia pun berada pada peringkat 88 dari 168 negara berdasarkan Transparency Internasional 2016.
Berdasarkan kenyataan ini, Boy Yendra Tamin menyatakan UU No.31 tahun 1999 dan UU NO.20 Tahun 2000 perlu direvisi. "Menurut pandangan saya, UU Tindak Pidana Korupsi sebaiknya direvisi," ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Boy Yendra Tamin di hadapan tim penguji Sidang Terbuka Disertasinya, di Auditorium Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas pada 22 Juli 2017.
Boy menegaskan meski sudah terbentuk komitmen untuk memerangi korupsi, hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Apalagi selalu saja ada persoalan yang muncul dari setiap usaha penegakan hukum tipikor.
Tak hanya itu, di kalangan ahli hukum, terdapat paerbedaan pandangan terutama seputar tafsir perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan sebagai unsur tindak pidana korupsi. Di tingkat peradilan pun silang pendapat ini terjadi. Sangat sukit membedakan kapan seorang pejabat pemerintahan melakukan perbuatan melawan hukum dan kapan dapat dikatakan penyalahgunaan kewenangan. "Masalah ini masuk ke dalam wilayah abu-abu yang memerlukan penyelesaian. Kondisi ini melahirkan keraguan di kalangan pejabat pemerintahan. Bahkan ada yang menolak jadi pimpinan proyek pemerintahan lantaran takut dituduh korupsi," ujarnya.
Dalam penelitian untuk meraih gelar doktoralnya tersebut, Boy melakukan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan pendekatan kasus. Berdasar penelitian tersebut, dia menganalisis dan melakukan pembahasan komprehensif hingga sampai pada kesimpulan perlunya pertanggungjawaban hukum yang jelas bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini sangat diperlukan untuk mewujudkan penegakan hukum tindak pidana korupsi (tipikor) yang mempunyai kepastian hukum dan berkeadilan.
Boy juga memandang menjadikan kebijakan (diskresi) sebagai objek tindak pidana korupsi yang dilatarbelakangi diskresi rentan disalahgunakan, sangat bertolak belakang dengan eksistensi dan kedudukan diskresi. Penggunaan diskresi umum terjadi dalam peradilan tindak pidana korupsi di bawah payung hukum UU No.31 tahun1999 dan UU no.20 tahun 2001.
Bahkan penentuan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sebagai tindak pidana korupsi pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya lewat pendekatan tafsir bukanlah cara yang tepat untuk mengakhiri daerah abu-abu dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Boy berhasil menjawab berbagai pertanyaan tim penguji yang terdiri dari Prof. DR. Zainul Daulay, Prof Dr Topo Santoso (penhuji eksternal), Prof. Dr. Saldi Isra, Prof. Dr. Yuliandri, Dr. Kurniawarman, Dr. Sukanda Husin, Dr. Yuslim dan Dr. Suharizal. Dia berhasil mempertahankan disertasi setebal 400 halaman itu.
Prof. Dr. Elwi Danil memuji keberhasilan Boy Yendra Tamin meraih gelar doktornya. Permasalahan hukum yang dirumuskan dan dianalisisnya telah menjadi persoalan aktual yang sering diperdebatkan baik secara akademik maupun praktik pemberantasan tipikor. Persinggungan UU Tipikor dengan Undang-undang Administrasi negara ini menjadikan, satu-satunya doktor jebolan Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Andalas yang dibimbing tiga profesor.
Keberhasilan Boy menjadi doktor ke-31 yang dihasilkan Universitas Andalas mendapat apresiasi dari Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Bung Hatta, Drs. H. Zuiyen Rais M.S . Keberhasilan Boy merupakan tambahan motivasi untuk mengembalikan kejayaan Bung Hatta yang dicanangkan kampus itu saat ini.
Diakui Zuiyen, pembelajaran hukum di Universitas Bung Hatta tentu semakin baik. Begitu juga jalan untuk membuka program doktoral di Kampus Proklamator tentu makin terbuka. Untuk mewujudkan mimpi reformasi di lembaga pendidikan tinggi itu, Zuiyen menegaskan pihaknya menyediakan anggaran Rp1.000.000.000 untuk memperbanyak doktor dan guru besar mereka.
"Ini untuk meningkatkan peran Universitas Bung Hatta sebagaimana cita-cita pendiriannya pada 1981 dulu,"ungkapnya dengan wajah cerah. (Zul Singgalang/dh-1)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
Code Parser
×