Oleh Maqomam Mahmuda
Tidak dapat dipungkiri, maraknya pemalsuan obat dan jamu berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pelaku pemalsuan obat dan jamu seakan-akan tidak menghiraukan akibat yang ditimbulkan dari tindakan pemalsuan yang mereka lakukan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemalsuan obat antara lain :
a. Perkembangan Teknologi
Canggihnya pemalsuan obat dan jamu tidak terlepas pula dari kemajuan industri grafis, melihat perkembangan teknologi grafis tersebut berupa fotokopi warna, hologram, dan hires scanner, yang membuat produk palsu sulit dibedakan dengan aslinya.b. Keinginan mendapatkan keuntungan
Praktik pemalsuan dan peredaran obat dan jamu illegal/palsu sepenuhnya dimotivasi oleh “kerakusan” dan kepentingan bisnis atau keinginan mendapatkan keuntungan semata. Bagi pemalsu obat dan jamu, memalsukan, mengedarkan, atau menjual obat dan jamu palsu merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dengan risiko yang relatif minim. Ini juga alasan mengapa yang paling banyak dipalsukan adalah obat-obat bermerek internasional yang umumnya mahal dan fast move (cepat laku). Maraknya pemalsuan dan perdagangan obat di indonesia menurut Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak, juga dilatari pertimbangan membuat obat palsu jauh lebih murah ketimbang mengembangkan sendiri obat originiter atau memproduksi obat paralelnya. Sebagai gambaran, untuk mengembangkan satu jenis obat saja, diperlukan dana investasi untuk riset sekitar 800 juta dollar AS hingga 1,2 miliar dollar AS. Pertimbangan mahalnya ongkos distribusi juga harus ditanggung dan beban pajak seperti pajak pertambahan nilai 10 persen. Sama halnya seperti pembuatan obat yang berasal dari obat-obat kadaluarsa juga akan diperoleh keuntungan yang besar jika obat-obat tersebut diedarkan ke masyarakat. Sehingga dapat dikatakan perlu biaya yang besar untuk membuat produk obat yang original dibandingkan dengan obat yang tidak diregristrasi dan juga pada kasus pendaurulangan obat dari obat “sampah”.
Masih tingginya peredaran obat dan jamu palsu di Indonesia karena lemahnya kontrol dari pemerintah dalam memberikan sanksi kepada pelaku pemalsu obat dan jamu, serta pelaku terapi tradisional. Selain pengontrolan yang lemah, pemerintah juga tidak memperbaiki regulasi obat. Pola industri farmasi tidak dikelola dengan benar sehingga perkembangannya melebihi kebutuhan obat di Indonesia. Penegakan hukum dalam soal obat illegal/palsu ini, juga sangat lemah., sanksi yang dijatuhkan pengadilan untuk pelaku pemalsuan obat, sangat ringan. Misalnya, hukuman percobaan selama dua bulan atau denda beberapa ratus ribu rupiah. Padahal, omzet penjualan obat palsu itu sangat besar. Sanksi yang ringan tidak menimbulkan efek jera, sanksi hukum yang ringan ini cukup mengherankan. Sebab, sanksi pemalsu obat menurut Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen Tahun 1999 sebenarnya lumayan berat. Pelaku diancam pidana maksimal lima tahun dan denda Rp 2 milyar. Sedangkan menururt UU Kesehatan Tahun 1992, pemalsu bisa dikenai kurungan penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta .
Alur Peredaran Obat dan Jamu Palsu (bercampur dengan zat kimia)
Biasanya, obat-obatan yang berasal dari industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), seharusnya tidak boleh langsung sampai ke tangan klinik, dokter, mantri, toko obat dan pribadi. Pemutihan disini artinya, obat-obat yang tidak memiliki izin edar diberikan kepada industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF , dimana oleh industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF obat-obat tersebut dibuatkan izin edar sehingga seolah-olah memang sejak awal memiliki izin edar, kemudian obat-obat ini diedarkan ke apotek dan rumah sakit, obat inilah yang disebut obat palsu. Peredaran obat illegal/palsu juga terjadi jika seseorang atau pribadi yang tidak berwenang dalam mendistribusikan obat, mengedarkan obat ke rumah sakit .Sementara, yang disebut jamu jamuan palsu adalah, jamu jamuan tersebut sesungguhnya telah mencampur produknya dengan zat zat kimiawi yang dosis dan takarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam komposisi di kemasannya tidak dicantumkan zat kimia tersebut. Dan kemudian jamu tersebut, tidak mempunyai izin resmi dari pemerintah. Alur edarnya pun biasanya tidak melalui jalur yang resmi. Diedarkan hanya melalui distributor dan marketing yang mendatangi langsung toko jamu dan toko obat [bagian sebelumnya: Bagian Pertama, Bagian Kedua, Bagian Ketiga I bersambung ke bagian kelima]