Oleh Maqomam Mahmuda
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Univ Bung Hatta PadangPerekonomian yang pesat telah menghasilkan beragam jenis dan variasi barang dan/atau jasa., hal ini sangat menguntungkan konsumen dengan berbagai ragam variatif barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Tetapi kondisi ini menempatkan kedudukan konsumen terhadap produsen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang besar. Ketidakberdayaan ini pada umumnya karena produsen selalu berlindung di balik standard contract atau perjanjian baku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hubungan produsen dan konsumen sejatinya merupakan hubungan timbal-balik, tetapi terkadang banyak sekali terjadi potensi akal-akalan oleh produsen yang akhirnya merugikan pihak konsumen. Untuk itulah sebagai seorang konsumen yang cerdas dan paham hukum, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sudah diatur dalam undang-undang, yaitu Undang undang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari kemajuan teknologi dan industri ternyata memperkuat perbedaan antara pola masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Masyarakat tradisional memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen masih secara sederhana, dimana konsumen dan produsen bisa bertatap muka secara langsung, sedangkan masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya.
Perlindungan konsumen memiliki hubungan yang erat dengan globalisasi ekonomi, dengan konsekuensi bahwa semua barang yang berasal dari negara lain dapat masuk ke Indonesia, dimana barang tersebut tidak saja berkualitas rendah akan tetapi juga dapat membahayakan konsumen. Padahal sesungguhnya setiap perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial (corporate social responsibility), yaitu kepedulian moral perusahaan terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari untung atau rugi perusahaan.Pengaturan perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktivitas pelaku usaha, tetapi justru diharapkan dapat mendorong iklim dan persaingan usaha yang sehat melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen, kendati demikian beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata “consumer” yaitu sebagai pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan dan sebagainya [4]/ Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan konsumen adalah setiap orang yang memakai “barang dan/atau jasa” yang tersedia dalam masyarakat” baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.
Jadi pengertian konsumen dapat dibedakan dalam tiga batasan yaitu :
Konsumen komersial (commercial consummer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan /atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan /jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
- Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa yang digunakan untuk memperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.
- Konsumen akhir (ultimate consummer/end), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali atau menarik keuntungan kembali.
Intervensi Pemerintah sangat dibutuhkan dalam pembangunan demi untuk menegakkan dan menetapkan peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi. Dalam hal pentingnya intervensi pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen, yakni:
Dalam masyarakat modern, produsen menawarkan berbagai jenis produk yang diproduksi secara massal. Hasil produksi dengan cara massal dan teknologi canggih potensial bagi munculnya resiko produk cacat, dan tidak memenuhi standar bahkan berbahaya yang dapat merugikan konsumen.
Hubungan antara konsumen dan produsen berada pada posisi yang tidak seimbang.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Undang-undang ini bukan anti terhadap produsen tetapi malah sebaliknya merupakan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal. Karena perlindungan konsumen adalah merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia.Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap pemakai dan /atau pengguna barang dan /jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
Dalam Islam, konsumen yang mengkomsumsi barang dan/atau jasa merupakan manifestasi zikir atas nama Allah SWT, karena batasan-batasan yang diberikan Islam kepada konsumen untuk tidak mengkomsumsi barang dan/atau jasa yang haram agar konsumen selamat baik di dunia maupun akhirat. Bagi seorang muslim, makanan dan minuman erat kaitannya dengan ibadah dan berpengaruh pada perusahaan, karena akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap produk haram dengan label halal. Hilangnya kepercayaan publik akan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk perusahaan tersebut.
Produsen dalam islam berkaitan erat dengan pekerjaan, yaitu suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan mengeluarkan seluruh potensinya untuk mencapai tujuan tertentu. Islam tidak mengatur hak-hak konsumen secara berurutan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, namun Islam melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan yang curang dan menyesatkan, serta memberikan hak atas keselamatan dan kesehatan, hak untuk memilih, hak untuk mendapat lingkungan yang sehat, hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa dan hak untuk mendapatkan ganti rugi.
Konsumen Indonesia mayoritas muslim, maka sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa yang merupakan haknya, bukan malah menjadi korban dari praktik perdagangan yang tidak fair. Hal ini terbukti dengan banyaknya temuan produk yang menggunakan zat haram atau proses dan tujuan produksinya yang haram.
Menurut ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar yaitu :
a. Prinsip kebenaran
Prinsip ini mengatur agar konsumen dalam menggunakan barang dan atau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat, proses produksi, distribusi hingga tujuan mengkosumsi barang dan atau/jasa tersebut.
b. Prinsip kebersihan
Konsumen berdasarkan ajaran islam harus mengkosumsi barang dan /jasa yang bersih, baik, tidak kotor, serta tidak bercampur dengan najis, karena bisa membawa kemudaratan duniawi dan ukhrawi.
c. Prinsip kesederhanaan
Islam memberikan standarisasi bagi konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkosumsi barang dan/atau jasa serta mengekang hawa nafsu dari keinginan yang berlebihan.
d. Prinsip kemashlahatan
Islam membolehkan konsumen untuk menggunakan barang dan/jasa selama barang dan/jasa tersebut memberikan kebaikan serta kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Di samping itu islam juga membolehkan konsumen untuk mengomsumsi barang dan/jasa yang haram jika dalam keadaan tertentu (darurat) atau kondisi terpaksa, selama tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.
e. Prinsip Moralita atau akhlak
Seorang muslin diharuskan untuk menyebut nama Allah sebelum melakukan sesuatu dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah melakukan sesuatu. Islam mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur, zikir dan pikir serta mengenyampingkan sifat-sifat tercela dalam mengkosumsi barang dan/jasa.
Di Indonesia dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.