Catatan Dasril Ahmad
KEPALA Balai Bahasa Sumatra Barat, Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum menyatakan, persoalan di Indonesia selama ini rupanya orang berbahasa tidak mau berpikir, kecuali hanya meniru apa yang terjadi, apa yang didengar, dan apa yang dilihat saja, lalu menirunya dan tidak pernah memikirkan (penggunaan) bahasanya itu benar atau salah. Padahal seharusnya tidak begitu, karena bahasa itu ‘kan sudah menjadi nafas kita, yang menuntut kita berpikir cepat sebelum menggunakannya sesuai tempat dan kaidahnya.
“Yang sering saya contohkan adalah bentuk-bentuk bahasa dalam pidato dan surat, yang hampir sejak zaman doeloe, saat saya masih kecil, bahkan sebelum generasi saya, ya begitu-begitu saja. Artinya, semua orang yang berpidato dan orang yang membuat surat itu, rupanya tidak pernah memikirnya, melainkan sebelum membuat surat yang dicari adalah contoh surat yang ada. Jadi praktis surat-surat kita itu yang berbeda hanya tanggal, nama hari dan nama orangnya, yang lain kata-katanya persis copy-paste, dan tidak pernah dipikirkan,” kata Agus Sri Danardana dalam bincang-bincang singkat tentang sikap berbahasa Indonesia, di kantornya, Balai Bahasa Sumbar, di Padang, Kamis (18/5) lalu.
Dalam hal ini, Danar (panggilan akrab Agus Sri Danardana) mencontohkan bagian akhir surat yang biasanya ditulis, “Atas perhatiannya diucapkan terima kasih”. Padahal, kita sudah diajari oleh guru di bangku sekolah dulu bahwa “nya” merupakan kata ganti orang ketiga. Nah, kalau dalam pidato atau dalam surat, ungkapan “atas perhatiannya” berarti yang memperhatikan itu siapa, nggak ada orang ketiga di situ, “diucapkan terima kasih”, yang mengucapkan siapa? Jadi tidak ada yang diberi ucapan dan tidak jelas siapa yang mengucapkan.“Jadi, sering saya kalau memberi penyuluhan bahasa, berkelakar saja, ‘rupanya surat-surat kita itu bukan komunikasi antar manusia,’. Maksud saya, kenapa kita tidak pernah mau berpikir untuk menulis surat secara benar: ‘atas perhatian bapak, ibu, saudara’, ‘kan jelas. Jadi itu ‘kan sifatnya dialog, yang ada hanya orang pertama dan orang kedua. Sebetulnya hal ini hanya persoalan bahwa orang berbahasa itu tidak pernah mau memikirkan. Saya meyakini kalau kita mau berpikir sebelum berucap dan menulis, pasti kita bisa berbahasa secara tepat. Nah, mestinya dalam bahasa tulis harus lebih rapi, karena kita punya kesempatan untuk melihat dan mengecek lagi apa yang kita tulis,” jelas Danar, putera Sragen, kelahiran 23 Oktober 1959 ini, yang sejak 1988 bekerja sebagai peneliti dan penyuluh bahasa dan sastra di Pusat Bahasa, Jakarta.Tentang perilaku penggunaan bahasa asing, penulis buku “Bahasa Perilaku” (2016) ini tidak menampik bahwa perilaku seseorang terwujud pula dalam penggunaan bahasanya. Menurut Danar, dalam keseharian rupanya memang kita ini sebetulnya masih terjajah, yang terjajah itu mengagumi segala hal yang berbau asing, yang kita anggap lebih baik daripada milik kita sendiri. Oleh karena itu, orang berbahasa kalau tidak menyelip-nyelipkan kosa-kata asing itu, merasa kampungan, merasa nggak gaul, sehingga orang cenderung untuk menggunakan sebanyak mungkin kosa-kata asing yang belum tentu pula dipahaminya. “Nah, celakanya ‘kan di situ, yang belum tentu bisa dipahami itu. Penggunaan bahasa asing itu ‘kan mestinya bermanfaat untuk pengembangan kosa-kata bahasa Indonesia. Itu sebabnya, kita juga mengupayakan, biasanya yang kita serap menjadi kosa-kata bahasa Indonesia itu, ya kata-kata atau istilah asing yang memang secara konsep belum kita miliki. Namun, yang terjadi sekarang malah sebaliknya, kosa-kata asing itu tidak lagi memperkaya, tapi justru membunuh kosa kata bahasa Indonesia. Jadi idealnya, baju asing seperti itu janganlah digunakan, janganlah dipakai. Pakailah baju kita sendiri,” jelas Danar yang juga sastrawan ini, di akhir perbincangan. *** ( ditulis oleh Dasril Ahmad)