Mengetahui Hukum Waris Islam tentang harta bersama sangat penting dalam pergaulan hukum pada suatu negara yang penduduknya mayoritas pemeluk agama Islam seperti juga halnya dengan Indonesia. Meskipun adakalanya dalam hal pengaturan harta warisan dalam masyarakat tidak seluruhnya diatur atau tunduk pada hukum waris Islam. Artinya bagi pemeluk agama Islam pada satu daerah tentu adakalanya berlaku pula hukum waris adat disamping hukum waris Islam seperti dalam masyarat adat Minangkabau misalnya.
Berkenaan dengan hukum waris Islam terkait dengan harta bersama di Indonesia dituangkan dalam hukum postif (dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam hubungan ini, Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974 menyatakan; Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Kemudian dalam berdasarkan Pasal 1 huruf KHI menegaskan bahwa harta dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama ikatan perkawinanan berlansung selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Jadi berdasarkan ketentuan UU Perkawinan tersebut jelaslah apa yang termasuk atau dipandang sebagai harta bersama. Suatu harta yang diperoleh baik oleh suami maupun istri sejak terikat hubungan perkawinanan merupakan harta bersama dan tidak menjadi soal apakah harta itu atas hasil usaha istri atau pun suami, apalagi jika hasil usaha bersama. Hal ini sekaligus menegaskan harta yang diperoleh sejak dan selama terikat dalam hubunagn perkawinan suami dan istri sama-sama berhak atas harta tersebut.
Apakah bentuk dari harta bersama itu ? Berdasarkan Pasal 91 ayat (1) KHI, harta bersama itu dapat berupa harta berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat berharga. Sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
Atas apa yang disebut sebagai harta bersama itu, maka tentu masing-masing pihak (suami/istri dan seluruh anggota keluarga) selayaknya mengetahui atau diberi tahu mana harta yang dibawa suami/istri sebelum adanya hubungan perkawinan. Mengetahu atau diberi tahu itu gunanya agar jangan sampai terjadi selengketa ketika ada keadaan yang mengikibatkan pembagian harta warisan.
Lebih jauh mengenai harta bersama bagi pemeluk agama Islam sebagaimana dituangkan dalam Kompilsi Hukum Islam (KHI) yang pasal 85.Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Kemudian ditentukan pula (Pasal 86), bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta Istri tetap menjadi harta istri dan dikuasi sepenuhnya oleh Istri dan demikian pula sebaliknya.
Meskipun demikian bisa saja terjadi bercampurnya harta suami dan istri yang dimungkin oleh kesepakatan pihak yang biasanya ditentukan dalam perjanjian perkawinan. Artinya jika suami istri membuat suatu perjanjian kawin mengenai harta mereka sebelum mengingkat tali perkawinan yang menyatukan harta mereka masing-masing maka harta bawaan masing-masing menjadi bercampur dan merupaka gerbang bagi bagi harta-harta bawaan tersebut menjadi harta bersama.
Harta bersama sebagai harta yang diperoleh sejak dan selama perkawinanan, tetapi harta bawaan dapat terjadi sebelum perkawinan dan pada masa perkawinan, misalnya harta seorang istri yang diperoleh dari orangtuanya atau hadiah yang diterima istri, maka harta-harta tersebut sesesungguhnya merupakan harta bawaan dan bukan termasuk harta bersama. Hal ini seperti ditegaskan dalam KHI, bahwa sekalipun harta bersama dalam perkawinan, tetapi bisa saja ada harta masing-masing yang bisa berupa harta bawaan sebelum perkawinan, harta warisan yang diperoleh setelah perkawinan atau bisa juga karena diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan.
Dari uraian singkat di atas jelaslah apa yang termasuk sebagai harta bersama dalam perkawinan dan merupakan suatu hal yang perlu dipahami sebelum melakukan pembagian harta warisan dalam suatu keluarga apakah karena adanya permintaan dari ahli waris atau pun karena suatu keadaan yang menharuskan adanya pembagian harta warisan.(dh1/beyete)