by Savira Oktavia Ninggsih
Indonesia adalah negara kepulauan yang memilki wilayah laut serta wilayah pengelolaan perikanan yang luas. Menurut Kementrian Perikanan dan Kelautan (2014) Indonesia memilki daerah atau kawasan laut seluas 6,27 juta km2. Dan keseluruhannya dapat dimanfaatkan dalam sektor perikanan Indonesia. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan banyak di antara nelayan Indonesia yang mengeksploitasi sumber daya perikanan secara berlebihan atau yang disebut dengan overfishing.
Dalam konteks overfishing tersebut, Kementrian Perikanan dan Kelautan telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan alat tangkap tertentu seperti Trawl yang di atur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015. Alat-alat tangkap dimaksud dilarang karena cara pengeoperasiaanya yang sangat membahayakan tempat habitat ikan contohnya terumbu karang.
Sejak diterbitkannnya peraturan tersebut serta peraturan-peraturan sebelumnya ada sisi menarik yang patut menjadi perhatian, dimana produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan. Meskipun demikian, kenaikan produksi perikakan tersebut ada yang menduga karena masih ada nelayan menggunakan alat tangkap yang telah dilarang tersebut. Benarkah ? Secara data memang tampak ada kenaikan produksi perikanan tangkap Indonesia termasuk pada masa setelah setelah Kementrian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan peraturan larangan atas beberapa alat tangkap. Akan tetapi apakah kenaikan produksi perikanan tangkap Indonesia terus mengalami kenaikan juga sebagai dampak dari pelarangan sejumlah alat tangkap agaknya masih memerlukan suatu kajian. Untuk menganalisanya dapat dikemukakan data produksi perikanan tangkap Indonesia seperti dalam dalam tabel berikut:Dari data tersebut di atas tampak produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan itu termasuk pada masa setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan alat tangkap Trawal produksi perikanan tetap meningkat. Hal ini menunjukan pelarangan penggunaan sejumlah alat tangkap sepertinya tidak sepenuhnya berkorelasi dengan produksi perikanan. Kecuali apabila nelayan masih penggunaan alat tangkap yang dilarang digunakan masih terjadi dalam pratik penangkapan ikan seperti trawl misalnya yang trawl yang dapat merusak habit ikan-ikan di laut karena cara pengoperasiannya dengan cara mengeruk dasar perairan.Meskipun demikian, dengan asumsi nelayan masih menggunakan alat tangkap yang dilarang tentunya secara rasional mengurangi jumlah produksi perikanan apabi dikaitkan dengan dampak dari penggunaan alat tangkap yang dilarang tersebut. Bisa dipahami, bahwa trawl dalam pengoperasiannya para nelayan juga menggunakan mata jaring yang kecil akibatnya alat tangkap trawl ini membawa seluruh jenis dan ukuran ikan . Masalahnya kemudian, apakah meningkatnya produksi perikanan tangkap Indonesia itu masih perspektif overfishing ? Hal ini suatu kemungkinan lain, terutama apabila penggunaan alat tangkap yang dilarang tersebut masih terjadi yang dimungkinkan kurangnya pengawasan dari pemerintah atau pelarangan penggunaan alat tangkap tersebut tidak konsisten dalam pelaksanaannya.
Baca juga: Pelarangan Alat Tangkap Cantrang Di Kalangan Nelayan Tradisonal
Problem seperti dikemukakan di atas tentu tidak dapat dilepaskan dari pelakasanaan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang pelarangan alat tangkap seperti trawl misalnya masih suatu yang kontroversial dalam masyarakat khususnya Masyarakat nalayan. Artinya masih ada sebagian melayan yang menunjukan sikap ketidak setujuannya atas pelarangan penggunaan alat tangkap dimaksud. Selain ini ada pula pemikiran, jika alat tangkap yang dilarang di ambil oleh pemerintah lantas bagaimana cara nelayan menafkahi keluarganya. Khusunya bagi menlayan yang berketatapn hati melaut atau menangkap ikan sudah menjadi pekerjaan utama dari mereka.
Persoalan pro-kontra atas pelarangan sejumlah alat tangkap itu memang memerlukan solusi yang tepat seperti bagaimana upaya pemerintah menyediakan alat tangkap ikan baru yang lebih selektif dalam kegiatan penangkapan ikan. Akan tetapi persoalan-persolan pelarang sejumlah alat tangkap ikan, tampak masih belum dapat disimpulkan adanya suatu korelasi atau sebagai dampak positif dari pelarangan sejumlah alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.
Untuk mengukur atau melihat korelasi antara kenaikan produksi perikanan dengan penggunaan alat tangkap tentunya jika solusi yang dilakukan pemerintah dengan memberikan memberikan bantuan alat tangkap yang selekstif yang dapat menjaga kelestarian lingkung habita ikan-ikan karena memilki selektifitas yang tinggi, sudah merata dan sudah digunakan oleh semua nelayan. Pada tahapan inilah setidaknya baru dapat diukur atau tampak korelasi antara kenaikan produksi perikakan dan penggunaan alat alat tangkap. Dan pada sisi lain akan menunjukan pula akan halnya ketersediaan sumber daya ikan dengan penggunaan alat tangkap.
Jadi seandainya pemerintah mengganti alat tangkap yang telah dilarang dengan alat tangkap baru yang lebh selektif dan dapat diukur sebagai realitas kenaikan dari produksi perikanan, maka pelarangan alat tangkap tertentu tentu tidak akan menurunkan pendapatan nelayan. Kalau pun terjadi penurunan pendapatan nelayan itu pun hanya bersifat sementara. Apalagi jika memang pelarangan penggunaan sejumlah alat tangkap yang dilarang tersebut memiliki hubungan yang sangat kuat dengan produksi perikanan. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi nelayan untuk tetap menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti alat tangkap trawl misalnya, karena fakta menunjukan produksi perikanan meningkat tidak sangat erat kaitannya dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Karenanya pula nelayan memiliki harapan meningkatkan kehidupan dimasa datang yang lebih baik dengan tidak ada beban atau merasa penggantian alat yang ramah lingkungan menurunkan tingkat penghasilan mereka.
Dengan demikian, salah satu faktor adanya korelasi meningkatnya produksi perikanan Tangkap Indonesia setelah di keluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 adalah adanya konsistensi atau tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan peraturan tersebut. Kecurangan atau tidak konsistenya penggatian alat tangkap yang dilarang dengan alat tangkap baru yang lebih selektif merupakan satu faktor untuk mengukur keberhasilakan pelarangan penggunaan alat tangkap terkait dengan produksi perikanan tangkap di Indonesia. ( Savira Oktavia Ninggsih/mhs-fpik-ubh/ed-beyete)
Referensi:
Kementian Kelautan dan Perikanan 2014.Statistik Ekspor Hasil Perikanan.Kementrian Kelautan dan Perikanan.Jakarta