Oleh: Gelar S. RamdhaniMahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Kesehatan,Seperti apakah hubungan dokter dengan pasien di zaman sekarang ? Permasalahan dalam transaksi terapeutik, identik dengan hubungan antara pasien dengan dokter dan atau dokter gigi.
Universitas Bung Hatta, Padang
Permasalahan dalam transaksi terapeutik, identik dengan hubungan antara pasien dengan dokter dan atau dokter gigi. Zaman dahulu dokter atau dokter gigi dimata pasien dianggap sebagai "dewa", hingga apapun yang dikatakanoleh dokter atau dokter gigi dianggap sebagai “benar”. Akan tetapi di zaman now, dokter atau dokter gigi dituntut untuk lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, karena saat ini sedikit saja dokter atau dokter gigi melakukan kesalahan dimata pasien, pasien zaman now berani menuntut dokter atau dokter gigi !
Sebagai warga Negara pasien memiliki hak untuk menuntut keadilan atas tidak puasnya pelayanan yang diterima, akan tetapi yang perlu kita ketahui bersama bahwa Praktik Kedokteran atau Kedokteran Gigi tidak termasuk ilmu pasti, dalam artilain setiap tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi hanya berupaya, yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu tindakan adalah Tuhan yang Maha Kuasa (inspaning verbintenis).
Menurut hukum positif di Indonesia, yaitu UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 1 menerangkan bahwa "Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan" kemudian dalam ayat 5 tercantum "Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan"
Kemudian setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi menurut Undang-undang harus dengan persetujuan pasien, artinya ketika dokter atau dokter gigi melakukan tindakan prinsipnya pasien telah menyetujui. Menurut Undang-undang praktik kedokteran ialah persetujuan tindakan bukan sebatas setuju atau tidak dilakukan tindakan melainkan pasien menyetujui pula hal-hal lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang diberikan. Seperti halnya diagnosis, tujuan tindakan, alternatif tindakan, resiko tindakan, dan prognosis (Baca UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45 ayat 3)
Polemik Pengobatan Tradisional
Penulis mempunyai pertanyaan besar, kenapa ketika ada suatu pengobatan tertentu, yang boleh dikategorikan terlalu berani menjanikan kesembuhan bahkan sampai berani pula menentukan tenggang waktu kesembuhan. Lalu pada kenyataannya sang pasien tidak mendapatkan kesembuhan seperti yang dijanjikan bahkan boleh dikatakan tambah parah, saya belum pernah mendengar di media sang pasien menuntut pengobatan tersebut? Tapi kenapa praktik kedokteran atau kedokteran gigi yang jelas-jelas dilakukan secara obyektif berdasarkan teori yang teruji, dan tanpa menjanjikan apapun hanya upaya, ketika ada kesalahan kecil saja masyarakat ramai bergunjing? Pendapat saya ini mungkin terkesan subyektif, tapi tidak apa-apa karena ini merupakan suatu pencerdasan bagi kita semua.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa yang salah siapa yang benar, saya pribadi juga tidak menutup mata dan tidak menutup telinga ada saja memang dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan tidak sesuai aturan, atau tidak memuaskan pasien. Tapi saya mohon masyarakat tidak memberikan judge secara umum, dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan smua ini karena pemerintah dalam mewujudkan kedisiplinan dalam praktik kedokteran atau kedokteran gigi, sudah mempunyai lembaga khususnya secara resmi yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), masyarakat juga tidak pelu memandang lembaga ini akan subyektif terhadap dokter atau dokter gigi ketika ada sengketa, karena anggota dari lembaga ini juga terdiri dari berbagai unsur, diluar unsur kedokteran atau kedokteran gigi. Informasi lebih lanjut seputar MKDKI bisa memngirimkan email ke mkdki@inamc.or.id atau buka website www.inamc.or.id
Bagaimana solusinya?
Inti dari permasalahan benang kusut praktik kedokteran atau kedokteran gigi sangat sederhana, yakni adanya suatu miss communication antara pasien dan dokter atau dokter gigi, jika terjalin komunikasi harmonis dan humanis antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dalam arti luasnya sang dokter mempunyai moral, empati, ilmu yang memadai, serta keterampilan yang baik, kemudian sang pasien juga mempergunakan haknya sebagai pasien dengan baik dan bijak, saya rasa permasalahan-permasalahan seperti ini tidak akan ada.
Satu lagi akar permasalahan yang terjadi dilapangan masih banyaknya masyarakat yang belum paham seputar prosedur dan Undang-undang Praktik Kedokteran, jadinya ketika terjadi sesuatu dalam praktik kedokteran atau kedokteran gigi, pasien merasa kebingungan. Sudah seyogyanya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dibantu dengan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), untuk lebih meningkatkan lagi program pencerdasan kepada masyarakat luas seputar peraturan dan Undang-undang Praktik Kedokteran, terutama seputar hak dan kewajiban seorang dokter atau dokter gigi dan hak dan kewajiban seorang pasien.
Menutup tulisan ini ingin mengutip sebuah tulisan seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yakni Prof. Dr. dr. Daldiyono, Sp.PD-KGEH dalam sebuah bukunya beliau menuliskan "Tidak dapat diramalkan apakah konflik antara pasien dan dokter akan selalu terjadi, atau kelak akan tercipta budaya kemitraan antara pasien pintar dan dokter bijak. Kita membutuhkan dokter yang tulus ingin membantu, bukan dokter yang berorientasi pada uang. Kita membutuhkan pengacara yang berhati tulus, bukan pengacara yang lihai merekayasa perkara" (mhsppsubh/2017-byt-ed)