Sejarah penamaan (toponim) Pulau Bakat Binuang, Pulau Kecil Gugus MentawaiBy Dr. Harfiandri Damanhuri
Dosen Universitas Bung Hatta, Padang
Toponim pulau, kawasan, biota akuatik-daratan, suku, uma (rumah), sumber daya hayati yang terdapat dalam kawasan hutan di gugusan Kepulauan Mentawai diambil dari nama-nama yang berasal dari nama tumbuhan, nama hewan, nama air/sungai, nama pohon, nama dari aktifitas mereka yang berinteraksi secara harmonis dengan alam sekitar dan sekeliling lingkungan mereka.
Salah satunya adalah toponim Pulau Bakatmeinuang atau Pulau Bakat Menuang (Direktori Pulau, KKP, 2013). Akan tetapi ketika kita eja lagi dan diulang berkali-kali oleh masyarakat lokal, pulau ini disebutkan dengan nama Pulau Bakat Binuang yang artinya bekas tunggul kayu yang tumbang.
Yang unik seharusnya jika itu dianggap bekas tunggul pohon kayu yang tumbang seharusnya nama pulau ini adalah Pulau Tongo Binuang
Sejarah penamaan (toponim) Pulau Bakat Binuang diambil dari nama sebuah batang pohon kayu yang sangat besar. Di mana dahulunya di daratan bagian tengah Pulau Sikakap, tumbuhlah sebuah pohon kayu besar yang menjulang tinggi.
Saking tingginya pohon tersebut, dengan ranting dan dedaunannya yang rimbun, mengakibatkan pancaran sinar matahari tidak sampai jatuh ke daratan kawasan sekitar pantai Muko-Muko, Utara Bengkulu yang berbatasan dengan bagian selatan dari Pulau Sanding. Posisi Pulau Sanding di bagian ujung selatan, perbatasan antara Perairan Laut Mentawai dengan Perairan Laut Bengkulu Utara
Karena tinggi, besar dan rindangnya pohon tersebut, sehingga diatas pohon tersebut terdapat banyak sarang burung. Salah satunya adalah sarang Burung Garuda, yang kepakkan sayapnya dapat menutupi beberapa Uma Mentawai di bagian kawasan pesisir Pulau Sikakap.
Pertumbuhan pohon yang luar biasa dan tidak seperti biasanya, membuat masyarakat mulai berfikir dan bermusyawarah. Karena pohon besar ini sudah menganggu aktifitas masyarakat dibawahnya. Juga membuat masyarakat menjadi was-was, akan amarah dari pohon besar tersebut. Ini merupakan bagian dari Kepercayaan Aratsibulungan.
Dari hasil musyawarah masyarakat lokal, maka diputuskan pohon besar tersebut harus ditebang. Sebeleum penabangan dilakukan ritual, dilanjutkan dengan menebang secara bersama-sama. Selama berbulan-bulan, baik siang maupun malam. Akhirnya pohon besar tersebut tumbang yang mengakibatkan Pulau Sikakap yang dahulunya satu kesatuan menjadi putus. Terbelah dibagian tengah, mengakibatkan pulau menjadi dua bagian.
Pohon yang besar tersebut "rebah", maka dengan cepat air laut mengalir menutupi bekas pulau yang terbelah menjadi dua bagian akibat tumbangnya pohon kayu Bakat Binuang.
Aliran air yang mengalir deras, lama kelamaan membentuk sebuah badan air laut. Menjadi sebuah selat yang sempit, yang membelah Pulau Pagai menjadi dua bagian yaitu Pulau Pagai bagian Utara dan Pulau Pagai bagian Selatan.
Bekas tunggul dari kayu yang tumbang tersebut menjadi sebuah pulau yang indah dan sejuk ketika dipadang dari tepi Pelabuhan Sikakap, ketika senja menjelang datang, akan masuk keperaduannya.
Pulau yang terbentuk dan berproses dari bahan tunggul kayu yang besar ini, mengalami pelapukkan dan menjadi tanah humus yang subur yang ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi hutan dan rumputan.
Gundunkan tanah yang membentuk sebuah pulau (massa tanah) yang tidak tenggelam, apa bila terjadi pasang surut. Di bagian barat Pulau Bakat Binuang terhampir pasir putih yang halus, merupakan lokasi pendaratan dan persarangan terutama dari jenis penyu hijau (Chelonia mydas).
Saat ini Pulau Bakat Binuang sudah menjadi lahan perkebunan yang ditanami oleh masyarakat sekitar Teluk Sikakap. Terutama menanam pohon cengkeh yang pernah menjadi komoditi utama masyarakat, Pulau Pagai sejak era kolonial Belanda dahulunya.
Semoga kedepan Pulau Bakat Binuang ini dapat dikembangkan kembali, sebagai pulau penghasil komoditi cengkeh yang tumbuh dan berkembang dari salah satu pulau kecil Mentawai, yang merupakan bagian dari gerakan konservasi pulau kecil, konservasi penyu dan ekosistem terkait dalam menyelamatkan pulau kecil dari aktifitas yang tidak ramah lingkungan.
Semoga, salam konservasi dari pantai barat Samudera Hindia (hd, Nov 2017)