Orang-orang Minangkabau, sejak awal perjalanan sejarah purbanya telah menjadikan Gunung Merapi sebagai pusat kelahiran, kehidupan, dan perkembangan kebudayaan mereka (Tampuk Pulau Paco). Dan menganggap nenek moyang mereka turun dari Gunung Merapi tersebut. Bahkan banyak penduduk pantai, baik di Pesisir Barat maupun di Pesisir Timur bahkan di seberangnya, meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan orang-orang Gunung Merapi, di pusat Melayu Minangkabau. (Emral, Jurnal Sastra Bung Hatta, 2000).
Gunung Merapi sampai sekarang masih merupakan simbol yang tetap hidup untuk menyebut pusat kebudayaan Alam Minangkabau dan Rantaunya. Dan merupakan simbol pemersatu budaya bagi masyarakat daerahnya yang hidup baik di sekitar pegunungan yang wilayahnya terbagi atas Luak Tanah Datar sebagai Luak Nan Tuo, Luak Agam sebagai Luak Nan Tangah dan Luak Limopuluh sebagai Luak Nan Bongsu, dan ketiganya disebut Luak Nan Tigo, maupun sampai ke jajarannya di Rantau.
Ini dapat dibuktikan dengan berbagai ranji silsilah keluarga, ranji kaum, suku, nagari, dan asal-usul berbagai kerajaan-kerajaan rantaunya. Setidak-tidaknya mereka mempunyai hubungan pertalian kekeluargaan secara adat dan budaya, karena beberapa nama nenek moyang mereka telah terputus-putus dalam catatan ranji silsilahnya sehingga tidak diketahui lagi. Namun jelas masih dapat ditelusuri bahwa nenek moyang mereka diyakini tentulah berasal dari lereng gunung Merapi apabila komunitas keturunan tersebut masih memelihara nama suku dan gelar-gelar pusaka adat yang diwarisinya.
Sebuah keterangan lain berasal dari sebuah buku “Khutub Khasanah” yang ditulis pada sekitar awal abad ke 1 M, yang sekarang masih tersimpan di gedung Arca, Kairo menyebutkan adanya sebuah negeri pada sebuah pulau di bawah angin dimana wilayahnya merupakan perlintasan katulistiwa, terkenal dengan orang-orangnya ahli syair yang tinggi mutunya.
Syair yang dimaksud adalah puisi-puisi tradisional Minangkabau yang berbentuk mamang, bidal, gurindam, pantun, pepatah-petitih, mantra-mantra (manto-minang) dan lain-lain sebagainya, ternyata sampai sekarang masih diwarisi sebagai karya sastra tradisi yang unik, walaupun banyak yang belum bisa diungkapkan atau diinventarisasikan.
Syair dari India, berasal dari abad ke 3 SM menyebut kan bahwa di sebelah timur di jajaran bukit yang berbaris-baris, terdapat sebuah negeri yang dijuluki Trikuta Nilaya, artinya Negeri Tiga Gunung. Salah satu puncaknya ialah Bukit Manduro yang diucapkan oleh lidah orang Minang kabau yang menjadi puncak Gunung Merapi. Manduro.
Manduro digunakan untuk menyebut nama gunung Merapi secara keseluruhan. yang berasal dari kosakata Mahendra, lengkapnya Mahendragiri, artinya Gunung Maha Indra. Artinya tempat bersemayamnya Sang Dewata Maha Indra. Tetapi juga berdasarkan kepercayaan di masa itu penduduknya memiliki nama lain yang dipakai untuk menyebut gunung Marapi dengan nama Mahameru. Bahkan masih dipakai sampai abad ke 13 M seperti yang tertulis pada prasasti Saruaso.
Sementara puncak lainnya disebut Bukit Siguntang guntang Marapi, yang sebelum nama Marapi muncul, puncak itu disebut Bukit Seguntang-guntang Mahameru.
Pada awalnya lereng sekitar gunung Merapi hanya merupakan sebuah perkampungan tempat perulangan raja-raja dan tempat tinggal para pertapa yang melakukan ibadah ritual bagi pemujaan para Dewa dari tempat-tempat yang tinggi. Ini dapat dibuktikan dengan berbagai jejak peninggalan sejarah seperti ditemukannya nama-nama Biaro (Biara), Sitapuang (stupa), Galanggang Awa (galanggang dewa) dan lain-lainnya di bahu utara Gunung Merapi (dalam wilayah Luak Agam). Bahkan sebuah sungai yang berhulu dari gunung ini kemudian mengalir ke pesisir timur masuk ke provinsi Riau, terus kelautan diberi nama Batang Indragiri, artinya sungai yang batang alirannya berasal dari Gunung (Maha) Indra. (by Emral Djamal)
Naskah Sumber : “ Tambo Alam “Bungka Nan Piawai”
Emral, Jurnal Sastra Bung Hatta, 2000Koleksi Salin Ulang : Salimbado GroupMedia Warisan : Pusat Kajian Budaya Silat Dan Tradisi Di Alam Minangkabau – Sumatera Barat.