By Haikal Ramadhan
Abstrak : Korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi pada sektor swasta juga dapat mempengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara. Hal yang paling sering terjadi mengenai tindakan korupsi pada sektor swasta adalah tindakan suap atau penyuapan. Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta sebagai suatu tindak pidana korupsi. Padahal tindakan suap di sektor swasta sering terjadi di Indonesia, suap juga dapat dikatakan suatu perbuatan korupsi berdasarkan konvensi UNCAC yang diratifikasi oleh Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian adalah terdapat perbedaan mengenai ketentuan suap di dalam uu dengan uu tipikor. Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap tidak ada disebutkan unsur pejabat publik di dalam pasal mengenai suap sedangkan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ditemukan unsur pejabat publik di dalam pasal mengenai suap sehingga apabila dilihat dari bentuk skema peraturannya hendaknya dilakukan perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar juga dapat menjerat pelaku suap pada sektor swasta.
Kata kunci : Pengaturan, Tindak Pidana Suap, Sektor Swasta.
PENDAHULUAN.
Korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian negara dan badan-badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi pada sektor swasta juga dapat mempengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara. Hal yang paling sering terjadi mengenai tindakan korupsi pada sektor swasta adalah tindakan suap atau penyuapan.
Kerugian yang diakibatkan oleh tindakan suap di sektor swasta tidak hanya mengenai jumlah uang, tetapi juga menciptakan inefesiensi, memperbanyak kejahatan, memperlambat pertumbuhan dan memperburuk citra dan iklim investasi nasional secara makro. Oleh sebab itu, konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, akhirnya menganjurkan agar negara-negara seharusnya mengkriminalisasikan suap pada sektor swasta.
Berdasarkan pasal 12 dan 21 konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan korupsi (UNCAC) diatur tentang penyuapan pada sektor swasta, termasuk ke dalam tindak pidana korupsi. Meski UNCAC telah diratifikasi dengan UU Nomor 7/2006, namun pada saat ini, Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta sebagai suatu tindak pidana korupsi.
Baca juga: Tindak Pidana korupsi Dalam Dua UU Yang Pernah Berlaku di Indonesia
Dengan demikian maka setiap tindakan dan pelaku suap pada sektor swasta tidaklah dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian menjadi menarik untuk dilakukan pembahasan mengenai suatu cara melalui jalur hukum untuk menjerat para pelaku suap atau penyuapan pada sektor swasta.
PEMBAHASAN.
Pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengaturan pemidanaan terhadap suap di sektor swasta. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (selanjutnya disebut UU Suap). Pasal 2 UU Suap mengatur tentang pelaku suap aktif, dan pasal 3 mengatur pelaku suap pasif.
Pada pasal 2 Undang-Undang tentang tindak pidana suap mengatakan bahwa “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).”
Kemudian pada Pasal 3 Undang-Undang tentang tindak pidana suap mengatakan
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).”
Jika kita melihat ketentuan pada pasal 2 dan pasal 3 UU Suap tersebut, tidak ada unsur pejabat publik dalam kedua pasal tersebut. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan suap yang ada di UU Tipikor, yang mana berdasarkan sejarah perkembangannya, UU Tipikor tersebut berasal dari KUHP. Apabila ditarik dari sejarahnya, istilah korupsi memang baru ada pada saat berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16 April 1958 no. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 Tahun 1958) (staf AL No. Prt/Z.1/I/7) dan konsepsi tersebut berlanjut terus hingga Perpu No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 24/Prp/1960), lalu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yang kemudian diubah lagi menjadi UU Tipikor yang berlaku hingga sekarang. Namun ketentuan perihal suap tetap mengadopsi dan mengacu ke KUHP. Bahkan UU 31/1999 masih menyebutkan dan mengacu secara jelas ke pasal-pasal yang ada di KUHP.
Penegakan hukum pemberantasan suap sektor swasta di Indonesia masih jauh dari kata layak.
Pemerintah seolah melupakan penegakan hukum dalam pemberantasan suap di sektor swasta. Belum jelas mengapa Indonesia sedemikian mudah ‘melupakan’ ketentuan ini. Konsepsi suap seharusnya tidak saja dipandang dapat terjadi di sektor publik dan hanya dapat merugikan kepentingan publik. Absennya penegakan hukum pada suap sektor swasta mematikan ‘gairah’ masyarakat untuk berkompetisi secara sehat di berbagai sektor, sama halnya ketiadaan penegakan hukum pada suap di sektor publik, mematikan kepercayaan publik kepada para pelayan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dirinya sendiri dan mencari tahu alasan mengapa selama ini aparatur penegak hukum Indonesia tidak pernah tegas dan konsisten menghukum para pelaku suap di sektor swasta dan harus segera membuat peraturan mengenai hal ini. Hal ini karena seorang pejabat pemerintah memiliki wewenang untuk membuat keputusan dan setiap keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah, pada akhirnya adalah tanggung jawab hukum (Boy Yendra Tamin, 2018).
Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya kasus suap sektor swasta tidak hanya terjadi baru-baru ini saja. Konstruksi kasus suap di sektor swasta bahkan sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sebelum perdebatan pembuatan UU Suap tersebut pada tahun 1980. Namun kasus tersebut terjadi pada ranah perdata, tepatnya kasus Lindenbaum vs Cohen. Jika biasanya mahasiswa hukum di tiap-tiap perguruan tinggi mempelajari kasus Lindenbaum vs Cohen dalam kaitannya terhadap perbuatan melawan hukum, namun pada dasarnya kasus tersebut di saat bersamaan menggambarkan konstruksi kasus penyuapan di sektor swasta. Hal ini tergambar dari pertimbangan Hoge Raad yang menyatakan;
“Bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai sebuah perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewjaiban hukum pelakunya, atau melawan kesusilaan ataupun kehati-hatian yang sepatutnya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, terkait perlindungan pribadi atau barang orang lain. Sedangkan seseorang yang karena kesalahannya melakukan perbuatan itu, mengakibatkan timbulnya kerugian pada orang lain, diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut”
Dengan melihat pertimbangan Mahkamah Agung Belanda pada kasus tersebut, dapat dilihat bahwa konstruksi yang terjadi dalam kasus Lindenbaum vs Cohen ini juga dapat dikategorikan sebagai bribery in private sector.
Perlu diingat pula, bahwa UNCAC ‘menganjurkan’ tiap negara untuk menjadikan suap di sektor swasta ini sebagai tindak pidana (criminal offence), bukan menganjurkan tiap negara untuk menjadikan suap di sektor swasta ini masuk dalam kategori ‘korupsi’. Sehingga jika Indonesia tidak mengatur suap di sektor swasta tersebut di dalam Undang-Undang Tipikor, maka bukan berarti Indonesia tidak mengikuti atau patuh dengan pengaturan bribery in private sector yang diatur dalam UNCAC. Adanya inkonsistensi dan ambigu di dalam menerapkan tindak pidana.
Memang, hal tersebut menjadi terkesan aneh. Korupsi di sektor swasta yang secara konseptual-teoritis masuk sebagai kategori korupsi sehingga diatur dalam UNCAC, namun justru di Indonesia suap di sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi karena tidak masuk sebagai kategori korupsi di Indonesia berdasarkan UU Tipikor. Hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak sama sekali dalam penegakan peraturan tersebut. Justru tidak diaturnya ketentuan suap di sektor swasta pada UU Tipikor memiliki keterkaitan dengan aktor yang dapat melakukan pemberantasan dan penegakan ketentuan tersebut. Adanya inkosistensi dan ambiguitas di dalam penerapan elemen tindak pidana korupsi oleh pemerintah yang diakibatkan karena konsep tanggung jawab hukum yang tidak jelas yang digunakan (Boy Yendra Tamin; 2018) Mungkin hal ini yang menjadi salah satu faktor dari adanya peraturan yang terkesan aneh dalam peraturan mengenai korupsi terkhususnya suap pada sektor swasta.
Singkatnya, seringkali penegakan hukum korupsi dikaitkan hanya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga muncul pertanyaan besar, apakah KPK bisa menangani pelaku suap di sektor swasta yang diatur di UU Suap?
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) membatasi kewenangan KPK untuk hanya bisa melakukan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun secara teori suap secara umum (kepada pejabat publik maupun pada sektor swasta) masuk dalam kategori Tindak Pidana Korupsi, namun dalam hukum positif Indonesia, Tindak Pidana Korupsi adalah apa yang diatur dalam UU Tipikor.
KESIMPULAN,
Regulasi terkait masalah korupsi pada sektor swasta adalah suatu hal yang sangat mendesak dan penting untuk diatur. Hal ini demi kesinambungan perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Adanya peraturan yang adil terhadap pelaku bisnis swasta yang berusaha menyuap, bukan hanya pejabat publik melainkan juga pelaku bisnis swasta lainnya sudah saatnya untuk dibuat. Model korupsi dari sektor swasta tersebut hendaknya segera mendapat perhatian dari negara, salah satu cara untuk mengatur mengenai korupsi pada sektor swasta ini adalah dengan merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
REFERENSI
Tamin, B.Y. (2018). Discreation as to The Object of The Criminal Law of Corruption in Indonesia”. International Journal of Engineering & Technology, Vol 7, No 4.9, https://www.sciencepubco.com/index.php/ijet/article/view/20627
Tamin, B.Y. (2018). Why Does Indonesia Need A Clarity Concept of Legal Liability of Goverment Officials In Corruption Eradication Efforts. The Social Sciences vol 13 (3): 539-547
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korups