Oleh : Adel Wahidi
Program Magister Hukum Pascasarjana Univ Bung Hatta“Biar kehendak tidak didapat, asal tanya berjawab” (Bia kandak indak dapek, asa tanyo lai bajawek) pituah klasik Minangkabau ini saya kenal pertama kali dari datuk saya di kampung, Nagari Salimpaung Kabupaten Datar, beliau tetua adat nama nama Bustami, gelar adat Malin Pono. Jabatan adat yang beliau pikul adalah Pegawai Suku, sejenis Sekretaris Jendral yang bertugas mengkoordinasikan dan mengelola kepentingan para penghulu dan kaumnya di Suku Chaniago yang jumlahnya penghulunya 32 orang. Sengketa sako, pusako dan perselisihan antar dan dalam kaum penyelesaiannya melalui beliau. Diantara kemampuan yang harus dimiliki adalah piawai dalam berunding, tau dan paham adat Minangkabau, manajemen konflik, berwibawa dan bijaksana, setidaknya itu yang saya lihat dalam diri beliau.
Dalam pergaulan masyarakat dan dalam posisi sebagai tetua adat, maka kepekaan terhadap “kehendak” (kandak) atau persoalan anggota kaum sangat penting dimiliki, demikian juga dalam memberikan jawaban atau informasi yang dibutuhkan masyarakat, keahliannya dalam menangani keluhan, pertikaian, mengusai dan menjaga arus informasi sangat menentukan tatanan hidup anggota kaum. Jadi dapat dikatakan, tidak ada kusut yang tak dapat diselesaikan, dan penyelesaiannya terasa adil, dan tidak menimbulkan “riak” atau masalah baru di kemudian hari. Dapat disimpukan bahwa filosofi bia kandak indak dapek, asa tanyo bajawek adalah cara/nilai baik dalam kehidupan masyarakat, yang kalau di bawa kepada kehidupan sekarang disebut dengan prilaku anti koruptif. Prilaku yang ditandai dengan keterbukaan dalam mengelolaa keluhan, dan tidak menjadi pribadi yang tertutup.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan “kehendak” (kandak), dapat diartikan sebagai ekspektasi atau pengaduan masyarakat terhadap suatu urusan/layanan pemerintah. Ekspektasi masyarakat sering melebihi kemampuan dari penyelenggaraan pemerintah. Misalnya masyarakat ingin sekolah dan layanan kesehatan gratis tanpa mengeluar uang satu rupiahpun, masyarakat ingin jalan sampai ke pintu rumahnya diaspal. Pengaduan memberi petanda bahwa sebuah layanan sudah sampai dan dirasakan oleh masyarakat, hanya saja masyarakat belum puas, pengaduan adalah peringatan dini (early warning system) bahwa telah terjadi atau ada potensi penyimpangan pelayananan pemerintahan.
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik junto Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Publik mewajibkan Unit Penyelenggara Pelayanan Publik (UPP) mengelola aduan masyarakat secara internal, artinya UPP diminta untuk peka terhadap aduan masyarakat, tidak boleh abai, apalagi menutup telinga, mesti terbuka dan menjawab semua keluhan masyarakat. Kepekaan terhadap pengaduan, juga dapat diartikan anti koruptif.
Jika tidak ditangani secara internal, maka secara eksternal, Negara juga mendirikan lembaga yang bertugas mengelola pengaduan publik, disebut dengan Ombudsman Republik Indonesia, dibentuk berdasarkan Undang-Undang 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, tugas pokoknya adalah menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Miliki Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggran pendapatan dan belanja daerah.
Pada intinya Ombudsman adalah mengawasi prilaku koruptif dalam pelayanan publik. Bentuknya dapat berupa perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Bentuk-bentuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.
Khusus di Sumatera Barat, Ombudsman Republik Indonesia dibentuk pertama kali pada tanggal 8 Oktober 2012. Sejak itu statistik laporan masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan publik ke Ombudsman Perwakilan menunjukkan terus meningkat, sampai dengan tahun 2018 Ombudsman secara total telah diterima laporan/pengaduan masyarakat sebanyak 1727. Hal ini menandakan prilaku koruptif masih jamak dalam penyelenggaraan pemerintahan, saluran aduan internal di UPP tersumbat, tidak bekerja dengan baik, dan tidak mampu menyelesaikan pengaduan masyarakat. Padahal, kalau mau berkaca pada filosofi tetua adat di kampung dahulu, prilaku anti koruptif sudah lama diajarkan dengan cara peka terhadap pengaduan dan terbuka terhadap segala informasi, kandak bialah indak dapek, asa tanyo bajawek.