Oleh Adel Wahidi
Mahasiswa Program Magister Hukum Pasca Sarjana Univ Bung HattaLembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman RI pada tahun 2018 melaporkan masih menerima pengaduan masyarakat atas dugaan maladminitrasi dalam pelayanan publik sebanyak 9446. Berdasarkan klasifikasi dugaan maladministrasi yang menempati urutan tiga terbanyak adalah; penundaan berlarut 2.351 laporan (28.45%), penyimpangan prosedur 1.799 (21.77%), dan tidak memberikan pelayanan 1.403 laporan (16.98%).
Data yang menarik adalah, laporan tersebut menunjukkan bahwa masih adanya pengaduan masyarakat yang terkait dengan diskriminasi layanan publik di Indonesia, ada 122 pengaduan masyarakat yang terkait dengan diskriminasi layanan publik, secara persentasi tanpak kecil, 1.4 persen, tapi biasanya pengaduan publik bersifat fenomena gunung es, yang dilaporkan sedikit, tapi biasanya faktanya jumlahnya besar.
Hal demikian wajar, karena ada kebiasaan masyarakat yang masih enggan melapor, belum tau cara melapor, belum kenal dengan Ombudsman dan secara umum belum tau hak-haknya dalam penyelenggaran layanan publik. Salah satu hak masyarakat adalah hak untuk komplain, masyarakat berhak komplain mana kala diperlakukan disriminatif, jadi secara regulasi sudah ada keseimbangan hak dan kewajiban, sehingga masyarakat biasa bersuara, bahkan masyarakat juga bisa mengajukan ajudikasi, ganti rugi, jika dirugikan secara meteril dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Layanan publik hak semua, tanpa pandang bulu. Layanan publik adalah hak konsitusinal masyarakat, tanpa bisa dihalangi oleh pangkat, jabatan kelas sosial, agama ataupun suku. Adalah tugas pemerintah melayani tanpa diskriminatif, tapi faktanya birokrasi masih feodal, layanan lebih cepat pada mereka yang kelas sosialnya lebih tinggi, dan tidak berpihak pada mereka yang lemah dan miskin.
Sering kali yang lemah mesti memenuhi berbagai syarat, syarat ditambah-tambah, dan dipersulit, tapi mereka yang berkelas, pejabat, kawan pejabat justru mendapatkan layanan yang lebih cepat dan mudah. Pituah minang “sarami-rami alek, anak rajo lalu juo” seperti ditempatkan secara salah dalam birokrasi. Padahal, salah satu asas pelayanan publik adalah asas “kesamaan hak” warga negara haknya sama di depan penyelenggara pelayanan publik.
Sarana Layanan
Diskriminasi juga tampak dari segi penyediaan sarana layanan bagi masyarakat yang berkebutuhan khusus (difable), saat menerima suatu layanan mereka diberikan sarana yang sama, loket yang sama, toilet yang sama, dan jenjang yang sama, sehingga layanan tidak bisa diakses. Padahal, kebutuhan difable berbeda, mereka butuh ram, rambatan, kursi roda, jalur pemandu, toilet khusus, ruang menyusui di ruangan pelayanan.Dari hasil penilaian Ombudsman terhadap pemenuhan standar pelayanan publik tahun 2018 menyebutkan bahwa, sarana layanan bagi difable paling banyak tidak disediakan. Pemerintah Kota di Indonesia misalnya hanya menyediakan 23 % saja, Pemerintah Kabupaten hanya menyediakan 26 %, dan untuk Kementerian dan Lembaga hanya menyediakan 27 persen saja.
Secara keseluruhan, kepatuhan terhadap pemenuhan komponen standar pelayanan publik, khususnya sarana layanan untuk difable masih sangat rendah, sarana layanan timpang, dan diskriminatif. Padahal, Pasal 29 UU N0 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan, bahwasalah satu komponen standar layanan yang mesti dipenuhi adalah layanan khusus untuk masyarakat yang berkebutuhan khusus.
Good Gonernance dan Partisipasi Masyarakat
Good governance adalah obat bagi bikrorasi yang diskrimintif, penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan memperhatikan aspek profesionalitas dan keterbukaan. Profesionalitas dalam arti, orang-orang dalam bikrokrasi bekerja melayani sesuai dengan standar etik profesi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bekerja melayani sesuai dengan standar pelayanan publik yang ada. Karena itulah, perlu penyelenggara pemerintahan menyusun standar etik profesi, atau disebut juga kode etik. Selaiin itu, diperlukan juga sebuah paket standar pelayanan, sehingga layanan publik untuk semua, tanpa diskirimanatif dapat dikembangkan.
Demikian juga dengan keterbukaan (open govermance), penyelenggara yang membuka diri terhadap hak masyarakat, tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Dalam meminimalisir, dan mengembangkan kesamaan hak dalam pelayanan publik, yang tidak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat, partisipasi masyarakat mesti ditingkatkan. Khusus untuk penyelenggaraan pemerintah daerah misalnya, ketentuan Pasal 3 PP No 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan daerah menyebutkan, bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui; konsultasi public, penyampaian aspirasi, rapat dengan pendapat umum, kunker, sosialisasi dan atau seminar, lokakarya, dan atau diskusi.
Regulasi lainnya, Pasal 18 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan, bahwa diantara bentuk hak atau partisipasi masyarakat adalah terlibat dalam menyesusunan standar pelayanan publik. Dan yang tak kalah penting adalah masyarakat juga berhak atau dapat berpartisipasi dalam bentuk mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Pembina penyelenggara dan Ombudsman.
Jadi dalam mewujudkan layanan publik untuk semua atau kesamaan hak dalam pelayanan masyarakat perlu diedukasi hingga mengetahui haknya untuk dilayani dengan baik, masyarakat mesti berdaya dihadapan penyelenggara, kritis dan tidak mau menerima begitu saja jika diperlakukan diskriminatif. Berani lapor itu baik.