Oleh Adi Warman
Tradisi “Ngantok Behauh” adalah mengantar beras menjelang bulan puasa dari “Anak Betino” atau anak buah dari tengganai yang menjadi ninik mamak pada suatu suku Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dari sudut pandang modern antikorupsi, kebiasaan ini bisa diartikan sebagai suatu pemberian hadiah atau dalam kata lain Gratifikasi dari suatu kelompok masyarakat kepada pemimpinnya, atau dalam istilah dahulu berupa pemungutan upeti atau pajak dari seseorang atau rakyat kepada rajanya.
Dalam sudut pandang modern antikorupsi saat ini, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai suatu bentuk Gratifikasi yang memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain yang berhubungan dengan kewenangannya/jabatannya. Namun, dalam perspektif sosial moral perilaku, hal tersebut merupakan “rasa penghormatan” dari Anak Betino atau masyarakat terhadap Ninik Mamak/Tengganai atau pemimpinnya. Karena selama ini Ninik Mamak/Tengganai telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengurus Anak Betino atau rakyatnya/masyarakatnya tanpa mengharapkan imbalan atau gaji yang memang jabatan Tengganai/Ninik Mamak adalah pekerjaan tanpa imbalan dan gaji.
Ngantok Behauh atau mengantar beras menjelang bulan puasa, disamping sebagai penghormatan kepada pemimpinnya juga untuk menjalin tali silaturahmi antara masyarakat dengan pemimpinnya tersebut. Karena untuk menyambut ”Bulan baik, bulan berkah” yaitu bulan suci Ramadhan, tentunya antara masyarakat dan pemimpinnya selama pergaulan, “tersinggung diwaktu naik, terpapah diwaktu turun” pasti terdapat perbedaan pandangan dan persepsi terhadap suatu masalah yang dihadapi dalam suatu kaum atau suku tersebut selama setahun yang berlalu. Hal ini juga akan menguatkan ikatan persaudaraan dari pemimpin terhadap masyarakatnya.
Kebiasaan adat ini, juga bukan dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang dalam satu suku/kaum, tetapi seluruh anggota suku/kaum memberikan beras ke Ninik Mamak/Tengganai. Bisa diperkirakan berapa jumlah beras yang diterima oleh Ninik Mamak/Tengganai tersebut. Kebiasaan ini dilakukan satu kali dalam setahun menjelang bulan Ramadhan. Hal ini, juga perlu digaris bawahi bukan sebagai “pemaksaan atau pungutan”, akan tetapi adalah keikhlasan dari anak buah kepada pemimpinnya.
Pada kebiasaan adat “Ngantok Behauh” ke “Ninik Mamak/Tengganai” bukanlah suatu bentuk Gratifikasi karena “Ninik Mamak/Tengganai” bukanlah seorang penyelenggara negara yang digaji oleh pemerintah, walaupun secara samar bisa dikategorikan sebagai “Pejabat Publik” namun dalam lingkup adat kemasyarakatan. Struktur kepemimpinan adat ini bukanlah hal baru dalam masyarakat, tetapi merupakan suatu struktur adat yang telah berlangsung secara turun temurun sejak dahulu sampai saat ini. Dan kebiasaan adat seperti ini harus perlu dilestarikan dalam kehidupan masyarakat sekarang ini.
Rakyat atau masyarakat atau dalam istilah anak buah dari “Ninik Mamak/Tengganai” bahu membahu membantu pemimpinnya karena pemimpin mereka juga ikhlas tanpa pamrih dan gaji dalam mengurus anak buah atau masyarakatnya tersebut. Disamping silaturahmi dalam kebiasaan adat tersebut untuk mendekatkan hubungan baik antar anak buah atau masyarakat kepada pemimpinnya.
Kebiasaan adat seperti ini memang perlu dilestarikan yang telah berlangsung secara turun temurun sejak dahulu. Kebiasaan ini juga dalam perspektif modern, akan rancu bila dianggap atau dikategorikan sebagai suatu tindakan gratifikasi atau penyuapan terhadap pejabat publik adat yang notabene menyamaratakan struktur adat dengan struktur bernegara pada saat ini.
Kesimpulannya adalah tidak bisa disamakan tradisi “Ngantok Behauh” sebagai suatu tindakan yang dikategorikan gratifikasi atau kategori penyuapan dengan perspektif modern yang berlaku saat ini. Pengertian korupsi, gratifikasi dan penyuapanpun samar atau tidak terdefinisikan secara jelas, tetapi hanya mendefinisikan tindakan pidananya yang masuk kategori melawan hukum terkait korupsi dan gratifikasi.***(ed.dh1)
Penulis: Mahiswa Program Magistes Hukum Pascasarjana Universitas Bung Hatta