Oleh ; Yeni Susanti
Mahasiswa Magister Hukum Pasca Sarjana Bung Hatta Padang
Falsafah budaya adat Minangkabau sangat menarik dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Falsafah yang sangat terkenal dan sudah sering didengar publik "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang artinya adat bersendi kepada agama, agama bersendi pada Al qur’an. dari falsafah tersebut agama yang dimaksud adalah agama Islam dan al qur’an merupakan hukum tertinggi yang mengatur dalam ajaran adat Minangkabau. Dari makna yang ada tergambar bahwasanya adat dan agama saling bergandeng dan saling sejalan.
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dalam hal ini yang paling sering menjadi sorotan dan kajian dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yaitu kawin sapasukuan, pembagian harta warisan, dan garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal).
Kawin sasuku dalam adat minangkabau masih menjadi masalah yang besar. Kosekuensi yang harus ditanggung jika terjadinya hal ini dapat dikeluarkan dari kampung. Namun dalam agama Islam yang dilarang sebenarnya adalah perkawinan berdasarkan pertalian darah yang tertuang dalam firman allah (surat An-Nisa ayat 23) : diharamkan atas kemu dian mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, anak-anak perempuan dari sudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara yang perempuan. Bagi mereka yang menjalin cinta sapasukuan akan menentang dan gigih untuk memperjuangkan cinta mereka karena merasa tidak dilarang oleh agama. Hukum perkawinan pun sudah jelas diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan berlaku untuk semua rakyat Indonesia.
Dalam urusan pembagian harta warisan di Minangkabau menjadi pemahaman yang berbeda, ada yang berpendapat bahwa harta pusako diturunkan kepada anak perempuan dan laki-laki tidak mendapat bagian dalam hal hak waris hal ini berbeda dengan ajaran agama islam dimana dalam hal bagian harta waris laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Perlu kita kaji lagi ke belakang dalam adat Minangkabau harta pusako itu ada 2 (dua) yaitu harta Pusako tinggi yang merupakan harta yang dimiliki secara bersama-sama secara turun-temurun seperti : sawah, ladang, rumah, dll. Harta pusako tinggi memang itu diturunkan kepada pihak perempuan (garis keturunan ibu). Adalagi namanya harta Pusako Randah yang merupakan harta pencaharian bersama yang boleh dimiliki secara individual menurut ajaran agama Islam, ini yang dikatakan harta warisan yang diatur menurut syariat Islam.
Namun dalam suatu daerah di Minangkabau terkadang tetap menyamakan harta Pusako Randah dengan harta Pusako tinggi, bisa kita lihat ketika dala suatu keluarga ketika orang tuanya meninggal dunia rumah yang merupakan hasil pencaharian kedua orang tua selalu jatuh kepada anak perempuan karena anak-anak mereka merupakan cucu mereka yang akan melanjutkan usaha/pencaharian mereka
Permasalahan lainnya yang tak kalah uniknya untuk dikaji yaitu garis keturunan yang berasal dari garis ibu (matrilineal). Dalam adat Minangkabau setiap anak-anakyang lahir mengikuti suku ibunya, jika kembali kita ke topik awal tentang syarak basandi kitabullah, hal ini mungkin tidak melenceng dari ajaran agama islam karena yang diturunkan berdasarkan garis Ibu (Matrilineal) adalah suku, karena hal itu tidak ada diatur dalam Al quran. Namun sistim Matrilineal banyak masyarakat Minangkabau yang tidak memahami itu, mereka beranggapan suku, harta, dan anak tetap diatur berdasarkan garis keturunan ibu. Hal ini terjadi pada diri saya, saya adalah anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara. Saya memiliki seorang anak perempuan dan saudara laki-laki saya memiliki dua orang anak 1 perempuan dan 1 laki-laki. Kalau kita kaji dalam ajaran Islam anak dari saudara laki-laki saya sebenarnya itulah cucu dari orang tua saya, namun ternyata tidak. Sistim Matrilineal sangat dipakai dalam keluarga kami, dimana perlakuan terhadap anak saya terasa berlebih dibanding anak saudara dari laki-laki saya baik dari kasih sayang, keinginan dan lebih dimanjakan. Mungkin kasus ini tidak hanya terjadi dengan saya, masyarakat di Minangkabau lainnya pasti juga merasakan hal yang demikian.
Dalam sistem matrilineal lain yang mungkin sering kita lihat adalah jika seorang perempuan dan laki-laki sudah berumah tangga, laki-laki cenderung tinggal di rumah perempuan dan posisinya cenderung lebih sebagai tamu. Sistim martrilineal lainnya yang terjadi pada suatu kasus yang pernah saya lihat, seorang perempuan yang sudah menikah dan ditinggal mati oleh suami biasanya cenderung kembali ke rumah orang tuanya, namun jika orang tuanya meninggal si perempuan lebih memilih tinggal dengan saudara perempuannya yang sudah berumah tangga dibanding saudara laki-lakinya yang sudah berkeluargai. Jika hal ini kita kaji dalam Islam seorang perempuan yang tinggal satu rumah dengan kakak ipar apakah ini tidak berdosa, karena kakak iparnya bukanlah mahram bagi adik iparnya. Tetapi sebaliknya jika kita balik perempuan yang ditinggal oleh suaminya itu tinggal dengan kakak laki-lakinya mungkin tidak jadi masalah kan, karena yang di dalam rumah tersebut adalah mahramnya. Mungkin inilah yang syarak berdasarkan agama Islam.
Dari permasalahan yang sering terjadi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Adat, agama Islam dan al’quran itu sudah sesuai dengan falsafah yang dipegang, namun terkadang kurangnya pemahaman masyarakat Minangkabau tentang sistim Matrilineal menyebabkan terjadinya kesenjangan sehingga ada anggapan orang Minangkabau tidak selaras lagi dengan falsafah yang dianut yaitu Adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah***