Oleh Muhammad Ikhlas, SH
Mahasiswa Program Magister Hukum Pascasarjan Univ Bung Hatta
Bahwa falsafah Minangkabau “Bulek Aia Dek Pambuluah Bulek Kato Dek Mupakaik Nan Bulek Samo Kito Golongkan Nan Picak Samo Kito Layangkan” mengandung Arti bahwa kata sepakat itu pada intinya didapat dari hasil perundingan dalam musyawarah. Selain itu berdasarkan Pepatah petitih minang tersebut dapat juga kita tafsirkan sebagai berikut :
- Bahwa pada dasarnya cara pergaulan orang minang tersebut ialah Pergaulan bermasyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi, dimana segala sesuatu Persoalan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat;
- Bahwa orang minang memperioritaskan atau mengedepankan penyelesaian permasalahan dengan jalan damai dan kepala dingin untuk kemaslahatan bersama para pihak;
- Bahwa pepatah petitih tersebut merupakan salah satu bentuk asas hukum perjanjian (merupakan bagian dari hukum Perikatan ) dalam hukum Keperdataan bagi masyarakat adat munangkabau, dimana kata sepakat itu hanya didapat dari hasil perundingan para pihak;
- Bahwa dahulunya orang minang telah menyadari segala sesuatu kejadian alam ini telah diatur oleh Allah Swt. Dan Allah Swt. Telah menetapkan hukumnya yang berlaku untuk sekalian alam, dimana antara hukum yang satu saling kait mengkait dan dukung mendukung dengan hukum yang lain, tidak ada yang berlainan. Hal ini telah dicermati oleh para pendahulu orang Minangkabau dengan membaca kejadian yang ada dialam ini, dimana Allah Swt. Telah menetapkan perumpamaan-perumpaman dalam setiap kejadian atau peristiwa di Alam ini sebagai pelajaran dan pedoman bagi khalifahnya di permukaan bumi ini (yaitu manusia) agar memikirkannya dan menjadikan sebagai pedoman dalam kehidupan setiap individu, baik untuk masing-masing pribadi maupun dalam pergaulan bermasyarakat. Seperti perumpamaan partikel-partikel air yang begitu banyak jika tidak ditampung oleh suatu wadah maka masing-masing partikel air itu tidak akan terkumpul menjadi suatu bentuk yang dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh makhluk ciptaan tuhan. Nah aartikel-partikel tadi juga diumpamakan dengan banyaknya atau beragamnya pendapat atau kepentingan masing-masing pihak yang hanya dapat disatukan dengan suatu wadah yang dikenal dengan musyawarah, dimana setiap kepentingan tersebut selalu dapat dirundingkan bersama untuk mencapai bentuk kesepakatan yang padu bagi para pihak.
Bahwa jika kita cermati lebih detail lagi, dalam falsafah “Bulek Aia Dek Pambuluah Bulek Kato Dek Mupakaik Nan Bulek Samo Kito Golongkan Nan Picak Samo Kito Layangkan”;” tersebut terdapat perumpamaan antara dua bentuk benda unsur dari alam dengan dua bentuk benda dari manusia, yaitu air = Kata-kata (buah fikir) dan pembuluh (Bambu) = Mufakat (Musyawarah) artinya disini bahwa setiap kata-kata (buah fikir) yang disampaikan oleh masing-masing pihak hendaklah seperti air yang menyejukan dan Jernih (artinya Jelas atau faham pokok persoalan atau bersifat positif tanpa adanya unsur negatif seperti amarah, curiga, kata cacian, hinaan, akal bulus, Dll.) serta tidak kaku atau keras kepala namun dapat melebur bersama, dan diwadahi dengan musyawarah yang diibaratkan seperti Pembuluh (Bambu) yang mana jika dilihat ialah wadah yang lurus (Jelas Alurnya) serta wadah atau Penambung yang bagus serta sejuk didalamnya dan jika di isi air diatasnya tidak akan mendidih ketika dipanaskan. Ini mengandung makna bahwa hendaknya musyawarah tersebut mempunyai suatu alur yang jelas kedepan untuk mencapai suatu hasil kesepakatan yang dijalankan bersama dengan suasana perundingan yang sejuk dan damai terjaga dari amarah dan emosional para pihak serta terhindar dari hasutan pihak ketiga yang memanaskan situasi perundingan para pihak tersebut, maka disanalah baru akam tercapai hasil dari kesepakatan bersama tersebut selama pelaksanaan kesepakatan tersebut dijalankan bersama dan terlindung dari pengaruh pihak luar.
Makna dari “Nan Bulek Samo Kito Golongkan Nan Picak Samo Kito Layangkan” Mengandung makna bahwa apapun bentuk hasil kesepakatan tersebut harus dilaksanakan bersama. Cara pelaksanaan kesepakatan itu tergantung dari bentuk hasil kesepakatan yang disepakati tersebut. Disisni dapat kita fahami bahwa segala sesuatu bentuk Permasalahan yang dihadapi oleh orang Minangkabau haruslah selalu diselesaiakan secara Musyawarah, apabila tercapai kesepakatan bagaimana pun juga bentuk kesepakatan tersebut tetap harus dilaksanakan bersama menggunakan cara tertentu tergantung bagaimana bentuk kesepakatannya. Artinya disini bahwa falsafah “Bulek Aia Dek Pambuluah Bulek Kato Dek Mupakaik Nan Bulek Samo Kito Golongkan Nan Picak Samo Kito Layangkan” menjadi Asas Hukum Adat yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat minangkaabau, bukan saja mengenai cara penyelesaian permasalahan untuk mencapai kesepakatan namun juga termasuk pelaksanaan hasil kesepakan bersama tersebut. (Mhd. Ikhlas)