Oleh: Dr Harfiandri Dmanhuri
Universitas Bung Hatta, Padang
Informasi tentang eksploitasi terhadap penyu sang biota langka wilayah barat Indonesia sudah dimulai pada tahun 1936-1938. Melalui media koran terbitan Sumatera Tengah (Padang) yang masih tersimpan di Perpustakaan Laiden (terima kasih Kanda Prof. Surya Suryadi) yang sudah memberitakan tentang penjualan telur penyu di Kota Padang tepatnya di Pantai Muaro, dan menginfokannya kepada kami.
Pantai Muaro(a) adalah bekas jejak perdagangan telur penyu terbesar di dunia yang sudah ditutup oleh adanya gerakan FKPP Sumbar yang di SK Gubernur Sumbar (red-2015-terima kasih Pak Andry Sukmoputro BPSPL Padang).
Dari penelurusan data didapati bahwa era 1940an, tepat 1942 sudah ada perdagangan telur penyu di pantai Kota Padang. Pada 1992 dimulai penelitian tentang penyu laut (sea turtle) oleh Fakultas Perikanan (kini FPIK) Universiras Bung Hatta, bersamaan dengan dimulainya penelitian tentang kondisi ekosistem terumbu karang (coral reef) pantai barat Sumatera.
Pada 1989 publikasi tentang penyu dari pesisir selatan dilaporkan. Pada 1999, saya dengan tim mulai merintis penelitian swadaya bersama 6 orang mahasiswa tahun akhir FPIK UBH untuk meneliti tentang penyu dari segala aspek. Lima (5) orang mahasiswa saya bimbing dapat menyelesaikannya dan satu tidak dapat selesai karena sesuatu hal.
Pada 2000 saya mempublikasikan hasil penelitian tentang penyu di FMIPA Unand, juga menyampaikan hasil penelitian tentang pola jejak penyu (turtle track) di salah satu Seminar, Hotel Pangeran, Padang.
Dilanjutkan pada 2001 saya memperdalam wawasan dan keilmuan mengikuti training di Seatru UPM Terengganu (UMT) yang berlokasi di Pulau Redang, Malaysia.
Pada tahun yang sama memulai kegiatan konservasi penyu dengan DKP Padang Pariaman (ketika belum mekar & ada Kota Pariaman) kami bersama wakil bupati melepaskan tukik penyu hasil uji coba penetasan di Pulau Pieh yang dilepaskan di 3 pulau utama Kota Pariaman saat ini.
Hasil survei lapangan, wawancara, diskusi dan analisis tentang penyu dan apek budaya Sumatera Barat kami sampaikan juga pada seminar di ITS. Pada 2002 belum ada lagi publikasi pariwisata Kota Padang yang berbau eksploitasi terselubung terhadap telur penyu.
Hal itu menjadi kajian kami untuk menjelaskan ke Dinas Pariwisata Kota Padang terus menerus bahwa promosinya paradoksal dengan kegiatan konservasi yang kami lakukan.
Tidak diwilayah Sumatera dan Jawa saja, pada 2002 saya membawakan satu makalah pada KONAS Perikanan III di Bali tentang upaya konservasi penyu di Sumatera Barat. Pada tahun 2002 juga kami mengedukasi staf DKP Kota Padang untuk dapat paham tentang pentingnya konservasi Penyu (Kadis Pak Dr. Arnis Arbain). Dalam tahun yang sama saya juga melakukan presentasi di Univ.UNRI tentang penyu Sumatera Barat.
Dua ribu tiga (2003) kami melakukan penelitian tentang habitat peneluran, penetasan dan pemeliharaan. Juga melakukan penyuluhan bagi pedagang telur penyu dengan teman FH UBH (Dr. Uning dan Pak Suparman Khan).
Pada 2004, karena banyaknya publikasi dan pemberitaan dimedia tentang upaya perlindungan penyu. Maka DKP Pesisil Selatan waktu itu menginisiasi upaya penyelamatan terhadap biota langka penyu (Kadis Pak Yosmeri). Dari data analisis kami menunjukan bahwa sumber telur penyu yang diperdagangkan di Pantai Muara Padang dulunya, sebanyak 45 % berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan.
Pada 2005 mulai dilakukan pembangunan fasilitas penangkaran penyu di Pulau Karabak Ketek. Sebagai tim perencana aspek biekologi penyu adalah dari FPIK UBH (saya sebagai LS/PIC) dan perencanaan bangunannya oleh tim FT Arsitektur UBH.
Selain pada level lokal kami juga memperkenalkan tentang teknologi penetasan penyu melalui internasional poster. Kami juga mendapat hibah penelitian dari Kopertis X (LLDIKTI Wil X) tentang biologi habitat penyu dan kami melakukan survei tentang potensi penyu di Pulau Telur Pasaman Barat.
Ini adalah beberapa catatan penting dari tahunan peristiwa yang masih ada dalam memori kami. Sedangkan untuk rentang 2006-2010, akan kami turunkan dalam catatan kami berikutnya. Tunggu laporannya.
Hastag #alamkonservasi kami juga yang memperkenalkan dan memviralkannya melalui medsos, sehingga bagi kaum konservasi penyu, bahwa salam konservasi adalah bagian dari salam untuk menjaga konsistensi hati dan upaya menyelamatkan penyu di muka bumi (Tabing, 21 Juli 2019, hd/UBH).