Oleh: Syafitri Yuliani
Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta
Perkembangan teknologi bukanlah hal yang asing untuk diperdengarkan. Bahkan saat ini, perkembangannya telah menyentuh salah satu aspek penting dalam kehidupan, yaitu bidang kesehatan. Penggunaan smartphone dalam mengakses internet untuk mendapatkan berbagai informasi sudah menjadi hal yang biasa untuk dilakukan bagi masyarakat. Tidak hanya untuk mencari informasi, smartphone juga dapat digunakan untuk melakukan pemesanan obat- obatan, membuat janti temu dokter, juga melakukan konsultasi kesehatan secara online. Tentunya konsultasi ini tidak akan memerlukan waktu yang banyak, bahkan relatif lebih cepat dilakukan, karena pasien tidak diharuskan untuk mengantre terlebih dahulu. Selain itu, konsultasi secara online juga memiliki biaya yang lebih terjangkau, serta dapat diakses kapanpun dan di manapun oleh para penggunanya. Hal ini membuat banyak dokter yang membuka praktik tidak hanya secara offline atau tatap muka langsung, namun juga secara online melalui aplikasi yang tersedia.
Dengan begitu banyak kemudahan yang ditawarkan ini akan membuat para penggunanya tergiur dengan berbagai keuntungan. Namun teknologi dapat berperan seperti pisau bermata dua yang juga dapat memberikan kerugian bagi pengguna jika tidak dapat menyikapinya dengan bijaksana. Saat ini, para pengguna internet dapat berperan sebagai siapa saja, juga mengunggah konten apapun yang mereka inginkan. Sehingga dalam hal ini, dapat memunculkan berbagai permasalahan, seperti ketidakjelasan kontrak terapeutik, munculnya dokteroid, berkurangnya rasa percaya antara pasien dan dokter, serta berbagai permasalahan lain yang dapat muncul dalam penggunaan layanan kesehatan berbasis online ini.
Berdasarkan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa seorang dokter yang menjalankan praktik harus telah memenuhi persyaratan dan mendapatkan bukti berupa Surat Izin Praktik (SIP) untuk dapat berpraktik di fasilitas kesehatan1. Dijelaskan juga bahwa seorang dokter hanya diperbolehkan untuk memiliki praktik paling banyak di tiga tempat berbeda. Sementara pada kenyataannya, seorang dokter tidak memiliki tempat praktik yang terbatas pada kegiatan praktiknya secara online.
Dalam proses layanan konsultasi kesehatan berbasis online terkadang muncul pertanyaan siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi hal yang merugikan pasien, seperti salah diagnosis atau salah pemberian terapi farmakologis? Apakah hal ini akan ditanggung oleh dokter bersangkutan atau ditanggung oleh penyedia layanan jasa? Serta berbagai pertanyaan lainnya yang akan muncul.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat konsultasi dengan dokter dapat dilakukan secara jarak jauh, tanpa bertatap muka langsung, melalui internet. Dalam istilah medis, konsultasi didefinisikan sebagai perundingan layanan kesehatan untuk mencari penyebab timbulnya suatu penyakit dan menentukan cara pengobatannya 3 . Dengan berkembangnya konsultasi kesehatan berbasis online di Indonesia, dengan kelebihan biaya yang lebih terjangkau, cepat, mudah dan dapat dilakukan di mana saja, membuatnya diminati oleh masyarakat luas.
Layanan konsultasi kesehatan berbasis online tidak hanya dapat dilakukan melalui fitur chat dan komentar di media sosial saja, bahkan sekarang dapat dilakukan dengan melakukan audio call ataupun video call melalui platform yang telah disediakan4. Pada masa maraknya pandemi COVID-19, layanan konsultasi ini menjadi sangat populer karena kemudahan yang ditawarkannya. Pasien tidak harus pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga penularan COVID-19 pun dapat dikurangi5.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dijelaskan bahwa telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Pada kegiatan ini, pelayanan telemedicine dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin Praktik (SIP) di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) penyelenggara, kemudian Fasyankes akan mendokumentasikan pelayanan telemedicine dalam rekam medis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku6.
Merujuk pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, praktik kedokteran dapat dilakukan melalui tatap muka secara langsung dan/atau melalui aplikasi atau sistem elektronik, dengan tetap menjaga prinsip kerahasiaan pasien. Dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran melalui telemedicine pun harus tetap mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan7.
Perlindungan hukum adalah hak yang dimiliki setiap manusia untuk dapat dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang yang tidak sesuai aturan hukum, sehingga muncullah ketertiban dalam hidup berwarga dan bernegara. Prinsip aegroti salus lex suprema yang berarti bahwa keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi, membuat tiap pasien berhak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan atas dirinya dari pelayanan kesehatan yang didapat. Pada layanan kesehatan berbasis online ini, keselamatan pasien erat hubungannya dengan efektivitas pelaksanaan layanan kesehatan yang diberikan.
Menurut Surat Edaran Menteri Kesehatan RI No. HK.02.01/Menkes/303/2020 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), ditegaskan bahwa dokter yang menuliskan resep pada telemedicine harus dapat bertanggung jawab terhadap isi dan dampak yang ditimbulkan dari obat yang dituliskannya. Obat golongan narkotika dan psikotropika tidak diperbolehkan untuk diberikan melalui resep elektronik8.
Perlindungan pasien merupakan salah satu hal yang paling krusial dalam pelayanan konsultasi kesehatan berbasis online. Dengan demikian, diperlukan pengembangan regulasi yang lebih kuat mengenai pelaksanaan telemedicine tersebut. Selain itu juga, diperlukan pihak yang dapat membantu dalam pengembangan layanan serta mengawasi kegiatan pelayanan konsultasi kesehatan berbasis online sehingga tidak akan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Refrensi:
1UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran’, Aturan Praktik Kedokteran, 2004, 157–80.
2 Jonaedi Efendi and Johny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris (Depok: Prenadamedia Group, 2018).
3 ‘Konsultasi’ <https://kbbi.web.id/konsultasi>.
4 S Frade and H Rodrigues, ‘Benefits, Challenges and Impact of Teleconsultation -a Literature Review.
Studies in Health Technology and Informatics’, Studies in Health Technology and Informatics, 2013
<http://europepmc.org/article/MED/23920931>.
5 L. M. Koonin and others, ‘Trends in the Use of Telehealth During the Emergence of the COVID-19 Pandemic —United States’, Morbidity and Mortality Weekly Report, 2020<https://doi.org/10.15585/mmwr.mm6943a3>.
6 Kementerian Kesehatan RI, ‘Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.01/Menkes/303/2020 Tahun 2020’, Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), 2016 (2020), 2–5.
7 Konsil Kedokteran Indonesia KKI, ‘Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Kewenangan Klinis Dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Indonesia’, 2020, 1–5.
8 Kementerian Kesehatan RI.