Oleh: Rahmat Taufik
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta
Apakah anda mengetahui, bahwasanya setiap bulan Oktober diperingati sebagai Bulan Peduli Kanker Payudara (Breast Cancer Awareness Month) ? Ya, bulan Oktober sudah diperingati sebagai Bulan Peduli Kanker Payudara sejak tahun 1985. Berbagai gerakan dan kampanye yang identik dengan pita merah muda ini telah mulai dilakukan oleh Asosiasi Kanker Amerika dalam rangka menanggulangi kanker payudara sejak tahun tersebut. Dan saat itu, isu tentang kanker payudara sudah tersebar luaskan di berbagai negara dan sudah banyak aksi nyata untuk menanggulangi kanker payudara yang masih belum tuntas sampai sekarang.
Menurut catatan GLOBOCAN (Global Burden of Cancer) tahun 2020, kejadian baru kanker di dunia meningkat menjadi 19,2 juta jiwa dengan tingkat kematian sebanyak 9,9 juta jiwa. Sedangkan kasus kanker payudara sendiri di seluruh dunia menempati urutan pertama kejadian kanker dengan sekitar 2,3 juta kasus baru dengan 680 ribu kematian. Sementara di Indonesia sendiri, terdapat kasus baru kanker payudara mendekati angka 66,000 dengan tingkat kematian lebih dari 22,000 jiwa.
Pengendalian kanker payudara merupakan salah satu komitmen global, regional maupun nasional. Di tingkat global, WHO (World Health Organization), sebagai organisasi kesehatn tertinggi dunia, telah menerbitkan suatu resolusi dalam pencegahan dan pengendalian kanker payudara. Hal ini diperkuat dengan United Nations Summit, suatu deklarasi politik untuk melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular (PTM) termasuk didalamnya kanker payudara. Di tingkat regional, negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) juga telah melakukan komitmen bersama dalam pengendalian kanker payudara yang dikomunikasikan dalam ASEAN Task Force on Non Communicable Disease.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri ?
Ada dua hal dasar yang menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia seputaran kanker payudara. Pertama, sebagai negara yang bergerak dari negara berkembang menuju negara maju, Indonesia tengah menghadapi fenomena yang disebut “double burden of disease”, dimana angka penyakit menular (seperti TBC, malaria dan lain-lain) masih banyak, ditambah dengan mulainya peningkatan angka penyakit tidak menular, termasuk kanker. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang baru-baru ini dilakukan, mencatat angka untuk penyakit tidak menular, termasuk kanker payudar, adalah sebesar 60%.
Permasalahan dasar yang kedua adalah, penduduk Indonesia ketika sudah terkena kanker payudara, sebagian besar datang berobat ke fasilitas kesehatan sudah dalam stadium lanjut. Dalam melakukan pengobatan terhadap kanker payudara ini, kita sebagai praktisi kesehatan jauh lebih mudah dan mendapatkan hasil yang lebih baik, ketika pasien datang berobat dalam keadaan stadium dini dibandingkan ketika sudah stadium lanjut.
Karena itulah, upaya pengendalian kanker payudara telah menjadi prioritas utama di Kementrian Kesehatan dan akan terus diperkuat. Upaya yang telah dilakukan bermula dari pencegahan, deteksi dini (skrining), diagnosis dan pengobatn, hingga perawatan paliatif termasuk juga riset/penelitian, surveilans serta dukungan bagi pasien/survivor kanker. Pengendalian dilakukan secara bertahap sesuai dengan besaran masalah, dengan mengutamakan upaya pencegahan dan deteksi dini, sesuai dengan sumber daya yang tersedia.
Upaya pencegahan dilakukan melalui kegiatan pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) dengan kegiatan promosi dan konseling. Sampai sekarang, telah terdapat lebih dari 15.000 Posbindu yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara itu, upaya promosi pengendalian faktor risiko juga dilakukan melalui kampanye kesehatan, baik melalui media cetak maupun elektronik, agar masyarakat mempunyai gaya hidup sehat yang disebut dengan CERDIK yang merupakan kependekan dari Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Diet gizi sehat seimbang, Istirahat cukup dan Kelola stress.
Untuk kanker payudara, cek kesehatan secara berkalanya adalah melalui deteksi dini (skrining) dengan dua metode. Pertama dengan mengkampanyekan dan mengajarkan SADARI (Periksa Payudara Sendiri) kepada individu pribadi. Perempuan Indonesia, terutama yang usia produktif harus membiasakan memerika payudaranya sendiri secara berkala. Selain itu, mereka juga harus mengetahui kapan waktunya, bagaimana caranya dan tahu langkah apa yang harus diambil jika ditemukan kelainan ketika melakukan SADARI. Metode yang kedua adalah melatih petugas kesehatan di Puskesmas untuk bisa SADANIS (Periksa Payudara Secara Klinis). Jika ditemukan kelainan, maka petugas terlatih tadi sudah tahu langkah apa yang akan dilakukan, yaitu pasien akan dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan serta pengobatan yang tepat dan sesuai dengan kondisi pasien saat itu.
Di Puskesmas, program deteksi dini terhadap kanker payudara ini telah dimulai dan ditetapkan menjadi program Nasional pada tanggal 21 April 2008 oleh ibu negara saat itu, Ibu Ani Yudhono dan diperkuat kembali oleh ibu negara pemerintahan selanjutnya, Ibu Iriana Jokowi pada tanggal 21 April 2015. Dengan adanya program deteksi dini, diharapkan kedepannya individu masyarakat lebih peduli terhadap kondisi kesehatan payudaranya dan segera datang berobat dalam keadaan stadium awal. Tujuan akhirnya adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat kanker payudara.
Keberhasilan program pencegahan dan pengendalian kanker ini harus didukung oleh semua pihak. Dengan melibatkan semua unsur lintas program, sektor pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, rekan-rekan media baik cetak maupun elektronik serta masyarakat sendiri. Dukungan dari semua pihak sangat diharapkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit kanker. Dengan demikian, harapan hidup pasien kanker payudara dapat ditingkatkan sembari angka kematian akibat kanker payudara dapat diturunkan. Semoga.